“Loh, mana minuman lo? Nggak jadi pesen? Ngapain aja lo berdua?” heran Tissa memicingkan matanya melihat ke Dean terlebih dahulu yang datang kemudian ke Jihan yang tidak membawa apa-apa. Tadinya Jihan hendak memesan minum kemudian ingat, kan kalau nyeruput otomatis bakalan buka masker. Aib Jihan ketahuan dong.
“Lagi nggak pengen minum. Tadi habis minum banyak. Gue kan bawa air mineral,” tunjuk Jihan ke samping tas ranselnya yang terdapat botol Tupperware kesayangan Bunda.
Tissa hanya diam, mengamati Jihan. Sedang Kanaya sendiri sibuk ngobrol dengan Ikbal.
“Sayang, mau ikut kan? Temen-temen sih rencana mau ke Jawa. Karena kita kan dah biasa ke Bandung, Bali, Lombok.”
“Emang Jogja bukan Jawa?” tanya Kanaya heran.
“Iya, ya. Kenapa kalau orang sana mau pulang kampung bilangnya pulang ke Jawa ya? Orang Jawa Barat pulang kampung nggak bilang, eh aku mau pulang ke Sunda.”
Mereka berdua kemudian tertawa berdua. Beneran serasa dunia milik mereka berdua. Tissa, Jihan dan Dean cuman numpang napas doang.
“Ada acara apa ke Jogja?”
“Itu, Tis. Anak Teknik mau jalan-jalan sebagai bentuk syukur udah mulai skripsi. Jadi mau seneng-seneng dulu, tersiksa kemudian,” balas Dean karena sepertinya Ikbal dan Kanaya masih sibuk saling bercanda.
“Wa, asyik tuh. Mang boleh ajak orang luar?”
“Jelas bolehlah. Lha itu Ikbal ngajak Kanaya.”
“Kalau lo ngajak siapa?” tanya Tissa langsung ke Dean.
“Nggak ada.”
“Alyssa.”
Tissa mengerutkan keningnya mendengar jawaban berbeda di saat yang bersamaan. Dean mendengus kecil, sedang Jihan memilih untuk melengos. “Nggak ada yang gue ajak,” ujar Dean memperjelas keputusannya.
“Oh, ya. Omong-omong tentang Alyssa, gue tadi lihat doi lewat meja ini. Lo nggak ketemu De?” sahut Ikbal akhirnya gabung ke obrolan mereka.
“Ketemu kok, dia duluan yang nyapa gue tadi. Hari Minggu rencananya gue mau ke rumahnya,” jawab Dean lalu menyeruput minumannya.
“Mau balikan lagi lo?!” seru Ikbal bersemangat. Dean membalas dengan gelengan kepala dan lambaian tangan.
“Oh pantesan Jihan bilang lo mau ajak Alyssa. Kesempatan bagus tuh buat balikan, nggak mau lo manfaatin?”
Dean memilih mengabaikan pertanyaan Tissa dan membuka handphonenya. Memilih untuk bermain game melanjutkan battle yang sempat dia tinggalkan.
Jihan malah sibuk dengan pikirannya sendiri. Bukannya kesempatan bagus ya kalau Bagas ikut dan dia juga? Seharusnya Bagas sekalian ngenalin dia sebagai pacarnya. Mereka sudah jalan cukup bulan untuk mengagetkan semuanya. Kecuali Dean sih yang udah nebak duluan Jihan dan Bagas pacaran.
“Anak Teknik semua ikut ya?” tanya Jihan ke Ikbal.
“Lebih ke circle kita aja sih, circle manusia bodo amat. Yang lain sok-sok an rajin. Mau mikir skripsi langsung.”
Circle Ikbal ya? Termasuk Bagas juga dong. Asyik gue mengajukan diri untuk ikut, ah.
“Gue boleh ikutan nggak?” tanya Jihan lagi yang spontan mendapat balasan serupa raut muka yang kebingungan.
“Lo lagi nggak ngigo kan? Lo yakin mau ikut?” tanya Kanaya masih nggak percaya.
“Ya kalo Jihan mau ikut. Gue ikut juga deh, tadinya gue males ikut. Dua bulan lalu habis dari Jogja juga,” tambah Kanaya.
Mendengar itu, Jihan langsung merasa nggak enakan. “Eh, lo tadinya nggak mau ikut ya? Gue pikir lo mau ikut. Yaudah deh, gue nggak jadi mengajukan diri. Perempuan sendiri dong gue.”
Dean menggumam pelan, “emang lo perempuan?”
“Heh! Gue denger ya lo ngomong apaan! Mau gue buktiin gue cewek tulen?” sungut Jihan.
“Caranya?” tantang Dean.
“LO KAN DAH PERNAH LIAT GUE…”
…pake gaun di rumah lo dan lo nyium gue.
Jihan nggak mampu melanjutkan kata-katanya dan balas menatap temannya satu persatu karena mereka kini memasang telinga dan mata menanti jawaban komplit Jihan. Tingkat kekepoan mereka meningkat kalau Dean dan Jihan udah berantem.
“Pernah ngeliat lo kenapa? Ngapain? Dimana?” serobot Tissa berusaha menginterogasi Jihan yang kini berusaha membisu menyadari kebodohannya. Jihan melirik ke Dean dan berusaha menyenggol sepatu Dean. Tapi laki-laki itu sama sekali tidak merasa terusik. Justru kedua sudut bibirnya terangkat dan matanya melirik jenaka.
“Li-at gu-e…” Jihan berusaha memutar otaknya memikirkan apa alasan yang pas karena pandangan mata mereka memaksa Jihan untuk segera membalas.
“Liat gue…Istigfar! Iya Istigfar liat cowok ganteng. Itu tandanya gue cewek kan?”
“Kalau cowok liat cowok ganteng, bukannya ada yang istigfar juga ya?” tanya Kanaya masih bingung dengan jawaban Jihan.
Jihan mulai putar otak lagi. “Kalau cowok liat cowok ganteng bilangnya pasti aww gyancengnyaaa dese ih, gitu,” jawab Jihan dengan muka datar dan lempeng tanpa merasa bersalah dengan alasannya.
“Nih anak kebanyakan makan gorengan sih, berminyak kan otaknya,” kesal Tissa yang justru membuat tertawa yang lain. Dean sendiri malah tertawa paling kencang. Kaki Jihan langsung menendang sepatu Dean membuat Dean mengaduh. Jihan sendiri tidak tahu mengapa posisi duduk mereka berubah. Tissa pindah duduk mendekati Kanaya dan Ikbal saat Jihan tiba, menyisakan dirinya yang harus duduk di dekat Dean.
“Kenapa De?” heran Ikbal masih memegangi perutnya yang tertawa karena tingkah Jihan.
“Ditendang Jihan, aduh sakit banget ini. Tulang gue retak langsung. Nggak bisa, gue mau minta visum ajalah. Biar gue buat bukti ke Bunda,” ujar Dean berusaha nge-drama.
“Eh tunggu, tunggu! Lo kenal sama Bunda?” tanya Tissa tiba-tiba membuat Dean langsung membeku. Kini giliran Jihan yang tertawa dalam hati dan mengucap serapah ‘rasain’ berkali kali yang tidak dia ungkapkan.
“Kenal dong, gue sama Jihan berantem juga dengan restu Bunda,” jawab Dean dengan kalem mampu membuat Jihan membelalakkan matanya.
“Kapan lo kenalan sama Bunda? Bunda nggak pernah cerita tuh ada cowok namanya Dean main ke rumah.”
Ikbal dan Kanaya kini gantian sebagai pendengar perdebatan dan interogasi antara Tissa-Dean-dan Jihan.
“Bunda dan Jihan yang main ke rumah gue.”
“Lo jangan ngadi-ngadi ya?!”
“Betul! Jangan ngadi-ngadi lo!” ujar Jihan mengompori Tissa agar marah-marah ke Dean.
“Gue nggak ngada-ngada. Waktu itu nyokap gue ada acara arisan dan cateringnya pesen ke Bunda. Yang anter Bunda dan Jihan. Iya kan, Han? Lo. Ingat. Kejadian. Itu. Kan?”
Setiap penekanan kata dalam ucapannya membuat Jihan menelan ludah dan mengangguk pelan.
“Loh gimana sih lo, Han. Tadi bilangnya ngadi-ngadi. Lama-lama gue jadiin adonan kue beras, lo!” kesal Tissa karena Jihan malah plin-plan. Yang tadinya ikut memarahi Dean kini malah membela Dean. Jihan hanya bisa meringis dan mengelus lehernya yang tidak kaku. Jihan mengucapkan maaf tanpa suara dan mengingat resiko yang akan diterima kalau dirinya tidak membela Dean. Sekarang saja terkait Bunda dan Dean yang sudah saling kenal aja, mereka sudah tahu. Meski Jihan merasa masih beruntung, Dean nggak cerita perihal dia yang udah nganter Jihan malam-malam ambil motor di kampus, atau malah kejadian di kamar Dean. Jihan bergidik ngeri. Sepertinya terlalu banyak rahasia yang dia sembunyikan dari teman-temannya.
Atau seharusnya dia jujur dari awal? Kalau jujur, bakalan kehilangan teman nggak dia? Sebuah kejadian di masa lalu menghantam pemikiran Jihan. Nggak, dia nggak mau jujur tentang hal ini. Jihan nggak mau kehilangan untuk kesekian kalinya.