Kanaya

1365 Kata
    Jihan menatap nanar handphonenya. Sampai pulang ke rumah, masih saja Bagas belum bisa dia hubungi. Tasnya dia buang ke atas tempat tidur, membuat Bunda yang sengaja mengikutinya masuk ke kamar hanya bisa menggeleng pelan. Jihan sendiri tidak tahu kalau ada Bunda di belakangnya. Pikirannya sibuk dan juga rasanya malas untuk berinteraksi dengan siapapun.     “Han, Bunda sama Budhe beliin bakmi rebus dulu sana gih, Bunda lagi nggak bisa masak. Nggak tau ini badan Bunda pegel semua. Kamu bisa kan beliin buat Bunda dan Budhe?”     Jihan langsung menoleh dan terjengit karena kaget ada Bunda yang sudah ada di belakangnya. “Ya ampun, Bunda. Bunda ngangetin Jihan. Kalau sampai Jihan kenapa-napa gimana. Ini jantung dah mau copot,” tukas Jihan yang membuat Bunda tertawa.     “Lebay kamu. Usia kesehatan jantungmu sama Bunda dah mau mendekati ajal mah Bunda. Masih muda yang bikin mau copot paling karena bercermin kelakuan sendiri.”     “Eh kok tepat sasaran gini,” ujar Jihan berbuah cengiran di wajah Bunda.     “Kamu kenapa? Kayak punya banyak masalah? Mikirin utang negara aja nggak, kayak bebannya dah kayak digantungi seratus monyet.”     Jihan merebahkan badannya ke Kasur dan mulai menatap nanar plafon kamarnya.     “Kalau orang lagi suka tuh rasa khawatirnya meningkat tajam ya, Bund. Jadi inget dulu Bunda suka nungguin ayah yang pulang kerja selalu malam. Inget gimana Bunda mondar mandir depan pintu, nggak mau tidur duluan. Makan aja terkadang pengennya nungguin ayah. Nemenin aku makan cuma satu sendok trus udah. Ini pacar Jihan nggak bisa Jihan hubungi seharian aja, Jihan dah khawatir. Jangan-jangan diculik Taliban dianya.”     “Hus, ngomong apa kamu. Sana beliin dulu Bunda dan Budhe makan. Bentar lagi udah jam makan Budhe dan waktunya minum obat.”     Jihan mengangguk dan memutuskan mengganti pakaiannya meski Bunda masih ada di dalam kamar sedang mengamatinya. Namanya ibu dan anak perempuan, nggak ada malu-malunya emang.     “Yaudah, Jihan beliin dulu ya, Bund.”     Bergegas, Jihan meninggalkan rumah dan menuju ke warung bakmi Jawa yang ada di pinggir jalan. Jihan memainkan handphonenya setelah memesan tiga porsi bakmi rebus untuk mereka bertiga. Hingga akhirnya Jihan tersenyum sumringah melihat ada nama Bagas di layar handphonenya.     “Halo?” ujar Jihan sangat bersemangat.     “Hai, sayang. Maaf ya gue baru bisa ngehubungi lo. HP gue ketinggalan dan gue lupa nge charge juga. Jadi tadi susah banget nyariinnya. Gue kira ketinggalan semalam pas main ke rumah temen.”     “Ya ampun, gue sneneg banget, Gas. Lo bisa hubungin gue. Gue tadi beneran nyariin lo. Gue mau cerita-cerita dan minta pendapat lo.”     “Tentang?” terdengar nada mengantuk di ujung sana tapi Jihan tidak menghiraukannya.     “Gue masuk kualifikasi beasiswa ke korea selatan! Beneran gue seseneng itu! Tapi masih proses review ulang. Gue nggak boleh turun nilainya atau bikin masalah yang membuat pengajuan beasiswa gue ditolak.”     Jihan mengernyitkan kening karena tidak mendengar suara apapun. Bahkan antusiaspun tak ada.     “Lo tidur ya?”      “Ha? Enggak, gue dari tadi nyimak kok lo bilang lo dapat beasiswa.”     Sepertinya Jihan merasa dia salah karena menceritakan hal ini kepada Bagas. Ekspektasinya terlalu tinggi membuatnya merasa kecewa.     “Oh, baguslah lo nyimak. Eh gue tutup ya, pesenan makanan gue dah jadi. Makasih ya dah ngabarin dan ngasih tahu kalau lo baik baik aja. Met sore,” ucap Jihan bahkan tidak memperdulikan ada tanggapan atau balasan dari Bagas. Jihan menutup hubungan telpon tanpa menunggu respon dari Bagas.     “Mengecewakan,” bisik Jihan.                                                                         **     “Udah nonton Start up? Lo tim mana? Ji pyong apa Do san?”     “Gue Han Ji Pyong forevahhhh!”     “Eh gue mah Do san, lo kenapa Han suka sama Ji Pyong?”     “Karena dia aslinya juga berjuang loh. Tambahan lagi gue selalu kena SLS. Second Lead Syndrome.” Kanaya tertawa dengan pilihan Jihan. Mereka sedang membicarakan terkait drama yang akhir-akhir ini mereka tonton. Jihan memang selalu ketinggalan. Saat orang-orang sudah nonton series terbaru Hometown Cha Cha Cha. Jihan masih saja dengan drama paling popular tahun lalu. Kanaya sendiri juga suka k-drama jadi mereka satu frekuensi, apalagi sekarang hanya ada mereka berdua di kelas, sehabis mengikuti kelas bahasa Perancis. Tissa sendiri nggak ada kabar. Mungkin dirinya sedang sakit atau memilih untuk membolos karena Tissa sudah bosan belajar bahasa Prancis.     “Sebenernya nggak cuma karena dalam filmnya dia berjuang juga sih, kadangkala aku ngerasa kalau Han Ji Pyong itu gemesin. Sikapnya yang kadang kadang sok nggak peduli atau galak tapi dibalik itu dia cowok warm. Pujaan wanita nggak sih?”     Jihan memandang fana sambil memuja membayangkan sosok artis yang saat ini jadi idolanya     “Trus nih gue lebih suka kakaknya Dalmi, si Injae. Menurutku dia tuh lebih berkelas. Dalmi lebih ke faktor luck. Ngimpi aja dianya.”     “Apa salahnya bermimpi?” ucap Jihan menatap Kanaya sebal. Kanaya yang dari tadi memilih Do san kok bisa bisanya suka Injae. Kan Do san sama sama punya mimpi.     “Dari keempat orang itu, cuman Dal mi aja loh yang nggak punya privilege. Lo pikir deh, bangkit dari keterpurukan, trus berusaha keras demi pembuktian. Thats a dream.” Jihan nggak mau kalah dong dengan Kanaya.     “Ya faktor luck, pikir deh, sekolah sampai sma doang, trus tetiba jadi CEO. Thats why we called it ‘luck’,” terang Kanaya berapi api.     “Nggak tiba tiba itu maemunah!” kesal Jihan kemudian kembali lagi memusatkan perhatiannya ke papan yang berisikan tugas mereka minggu depan setelah tadi Kanaya menyeretnya untuk mendekat dan membicarakan tentang film yang akhir-akhir ini mereka tonton.     “Ah dia mah besarin mimpinya aja,” kilah Kanaya lalu ikut kembali memusatkan perhatiannya ke papan serta menyalinnya ke catatan. Jihan dan Kanaya satu tipe dalam mencatat. Mereka lebih suka menulis daripada memfoto dengan gadget tapi nggak pernah dilihat lagi. Karena dengan menulis ulang mereka akan lebih mudah mengingat apa saja yang sudah mereka pelajari. Jihan kemudian memilih diam. Perdebatan di antara mereka memang sudah sering terjadi. Tapi memang nggak pernah memicu pertengkaran. Karena meski mereka terkesan adu otot saat berdebat, nggak pernah mereka masukin ke hati.       Apa salahnya bermimpi? Bermimpi nggak membuat kita jadi lekas kaya emang, tapi bermimpi bisa membuat kita termotivasi dengan tujuan utama kita. Apalagi mimpi itu gratis. Mumpung gratis, banyakin bermimpi nggak masalah kan?     “Gue malah pengen kayak Dal mi, nggak punya priviledge apa apa tapi bisa sukses nantinya,” ujar Jihan sembari menulis. Jihan tahu, Kanaya pasti menoleh dan tidak membalas apa-apa. Dia tahu Jihan sering bercerita bagaimana strugglenya hidup. Dengan Bunda, dengan Budhe, dengan ayahnya yang sampai sekarang tidak ada kabar sama sekali. Jihan kehilangan sosok laki-laki dalam hidupnya.     Orang tuanya memberi nama Jihan dengan nama panjang Jihan, Ariesta Jihan Mahesa. Nama yang cantik tapi Jihan sendiri kelakuannya Ajaib. Anak tunggal dari keluarga sederhana dibanding dengan saudara ayah dan ibunya yang sebagian besar berprofesi sebagai pengusaha dan pegawa negeri sipil. Orang tuanya sendiri hanyalah wiraswasta. Keliatan nggak bedanya?     Yup, jumlah yang mereka terima, kenyamanan yang mereka dapatkan berbeda jauh dengan Jihan dan keluarganya. Jauhnya dah kayak hubungan Jihan dengan jodohnya kelak. Tak tertebak.     “Han, lo nanti mau nggak ngikut gue?” tanya Kanaya pelan.     “Kemana?”     “Ngikutin Ikbal.”     Jihan langsung kaget, “eh serius lo? Ikbal ngapain sampai mau lo ikutin?”     Kanaya meletakkan bolpoinnya dan menaruh jari telunjuknya di bibir.     “Sstt, jangan kenceng-kenceng. Masih ada banyak orang di kelas. Gue nggak tahu, kayaknya ada yang Ikbal sembunyiin dari gue. Beberapa kali dia berbohong. Katanya habis dari rumah sodaranya. Dua jam kemudian gue tanya habis dari rumah temennya. Gue konfirmasi ulang, panik dong dianya. Padahal bisa aja kan ya saudara dianggep temen jadinya kepikirannya juga temen aja,” ujar Kanaya membuat Jihan geleng-geleng kepala.     “Mana ada!” sembur Jihan membuat Kanaya cengengesan.     “Ya makanya itu gue mau ngikutin Ikbal hari ini. Gue dapat info, mereka mau nongkrong tapi jauh dari senin. Katanya perbatasan deket Jakarta Barat.”     “Busyet, ngapain mereka jauh-jauh nongkrong kesana? Udah enak deket planet Bekasi gini.”     “Mau ya?” ajak Kanaya.     “Mau ajak Tissa juga nggak?”     Kanaya terdiam. “Gue bakal ceritain lo sesuatu tapi nanti. Sementara kita nggak usah bilang sama Tissa dulu ya?”     Jihan mengangguk pelan masih kebingungan dengan maksud Kanaya.     “Jadi mau kapan?’ tanya Jihan.     “Habis ini kita langsung gerilya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN