Tapi rencana tinggallah rencana. Jihan dan Kanaya saling pandang karena justru mereka kini terdampar di café almameter. Mereka tadinya hendak beli minuman untuk mereka seruput di mobil Kanaya. Baru juga sampai di counter bar, nama Jihan dan Kanaya diteriakkan oleh Tissa. Begitu menoleh sudah ada Bagas, Dean dan tentu saja Ikbal.
“Sorry, ya. Gue dah males belajar bahasa prancis dasar. Gue aja les udah B1, masak balik belajar ke A1,” ujar Tissa setengah merajuk membayangkan harus belajar dari awal. Ibaratnya jenjang Pendidikan. A1 itu pemula banget alias pelajaran anak TK sedang B1 udah mediate alias pelajaran anak SMA. Jadi mana mau Tissa belajar lagi dari awal.
“Belajar bahasa prancis itu tantangan banget loh, sama kek bahasa arab, banyak qolqolahnya,” sahut Dean.
“Ha? Apa itu qolqolah?” heran Tissa kemudian memandang Dean.
“Mau gue ajarin nggak Tis?” tanya Jihan, temannya lalu menoleh ke arahnya.
“Mau dong! Itu bikin gue jadi bisa aksen bahasa prancis yang ngena di hati kan?” Jihan mengangguk cepat.
“Yaudah, ayok ditiruin, Ashadu…”
Otomatis semua yang disitu tertawa termasuk Jihan dan Tissa.
“Eh lo kira gue nggak tau apa? Mohon maaf nggak semudah itu halimah,” sungut Tissa. Jihan tertawa puas. Kanaya menyenggol lengan Jihan. Mereka saling tatap dan memberikan kode. Tadi saat mereka mau bergabung, Kanaya sempat membisikkan sesuatu kepadanya.
“Kita ikut mereka nongkrong dulu aja, bilang aja tadi gue mau antar lo pulang.”
Dan Jihan menyetujui meski bakalan jadi tanda tanya. Karena dia sendiri bawa motor.
“Eh lo tau nggak yang lagi happening banget di kampus sebelah. Ada dosen yang terkenal banget disiplinnya, gantengnya, idola kaum muda tapi ketahuan hompipa alaiyum gambreng,” ujar Kanaya membuka percakapan kembali.
“Gue tahu, itu mah dosen kelas umum di kampus gue. Gue pernah belajar pas semester 5 sama beliau,” ujar Dean menimpali.
“Ketahuannya nggak sengaja juga. Gara-gara mau setel video buat pratikum di kelas malah salah setel video bxb dong,” Bagas ikutan ngerumpi akhirnya.
“Bxb?” tanya Jihan bingung.
“Boy and boy, sayang,” balas Bagas tidak memperdulikan semua mata yang disitu menoleh kaget padanya. Jihan hanya manggut-manggut sambil masih memikirkan maksudnya lelaki dengan lelaki itu bagaimana. Tidak sadar bahwa Bagas baru saja memanggilnya sayang.
“Han…”
“Apa?” bingung Jihan saat Kanaya memanggil namanya. Bagas sendiri langsung diam. Tidak tahu apakah menyesali sudah keceplosan untuk memanggil nama Jihan menjadi sayang atau itu memang kesengajaan yang dia buat.
“Nevermind,” tukas Kanaya karena merasa memang Jihan nggak sadar udah dipanggil sayang oleh Bagas.
“Trus gimana yang boy tadi?” tanya Jihan akhirnya nggak sabaran.
“Ya nggak ada yang nyangka. Penggemar garis kerasnya aja dah banyak. Banyak yang masih denial, berharap dosen itu normal. Lagian kurang kerjaan banget bawa video p***o ke kampus. Dibedain kek, diberi nama file di harddisk kek,” kata Ikbal membantu menjelaskan.
“Pengalaman ya?” ledek Dean.
“Emang lo kagak?” semprot Ikbal sambil menutup telinga Kanaya agar pacarnya tidak mendengar lebih banyak terkait aibnya.
“Pantesan di akun Ignya dia paling banyak yang follow shirtless semua. Bahkan satu-satunya musisi yang dia ikutin cuman Sam Smith, tau kan Sam Smith itu…” ujar Tissa sengaja mengantungkan kalimatnya karena tahu paling juga teman-temannya sadar apa yang dia maksud. Tissa memandang satu persatu mata teman-temannya sambil memastikan hingga pandangan matanya bertemu dengan mata Jihan yang tampak membulat dan berkedip berkali-kali.
“…item?” jawab Jihan dengan polosnya yang membuat teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Dean sampai memegangi perutnya dan mencubit kedua pipi Jihan karena gemas dengan keluguan gadis itu. Jihan langsung menampar kecil tangan Dean karena pipinya terkoyak dengan sukses, rona merahpun muncul di pipi. Jihan menjulurkan lidahnya, saat gantian Dean yang kesakitan ditabok oleh gadis itu. Kejadian itu tidak luput dari mata Bagas. Bagas lalu menyuruh Ikbal untuk pindah posisi agar dirinya bisa duduk tepat di sebelah Jihan. Kini Jihan diapit oleh Bagas dan Dean.
“Sakit?” tanya Bagas terlihat khawatir kemudian mengelus pelan pipi Jihan. Gadis itu kaget lalu memundurkan wajahnya agar Bagas menghentikan elusannya. Lagi-lagi pandangan mata teman-temannya membuat Jihan risih.
“Nggak, gue baik-baik aja,” tolak Jihan halus. Jihan sendiri mulai malas menanggapi Bagas. Sejak tanggapan Bagas yang tidak terlalu bersemangat, Jihan pun melakukan hal yang sama. Mereka sempat bertemu sekali di rumah Bagas, tapi karena Bagas menunjukkan ketertarikannya hanya saat menyentuh dirinya, Jihan mulai benar-benar membatasi dirinya untuk bertemu dengan pacarnya. Mulai memikirkan ulang perasaan dan pikirannya. Setiap melihat Bunda yang kelelahan mengurus catering dan juga memenuhi segala kebutuhan dirinya dan Budhe membuat dirinya tidak punya energi lebih lagi untuk banyak berdebat dengan Bagas.
Suasana rikuh terasa, Jihan langsung berdeham dan melanjutkan lagi pernyataannya.
“Iya item kan bener? Salah gue dimana?” tanya Jihan masih merasa bahwa jawabannya sudah tepat. Dean yang pertama kali menyemburkan tawanya baru diikuti oleh yang lain. Bagas sendiri hanya menyandarkan punggungnya ke sofa. Wajahnya terlihat tidak bersahabat.
“Itu Will Smith!” kesal Kanaya sekaligus gemas. Tawanya masih belum berhenti.
“Oh beda ya, kapan Will Smith tumpengan ganti nama jadi Sam Smith?”
“Beda, Han. Lo ah! Gue kekep di ketiak gue baru tahu rasa,” ujar Dean masih menggelengkan kepalanya. Takjub dengan kepolosan Jihan yang tidak ada tandingannya.
“Gue haus nih kebanyakan ketawa, Bagas, temenin yuk beli minum,” ajak Tissa dengan suara manjanya. Tanpa banyak bicara, Bagas langsung berdiri dan menemani Tissa memesan minuman. Jihan melirik sejenak melihat bagaimana Tissa bergelayut di badan Bagas saat dirinya sedang melihat menu minuman yang terpasang di atas counter bar. Dan yang membuat Jihan terkejut, Bagas menelusupkan tangannya ke pinggang Tissa kemudian sepersekian detik langsung dia tarik. Jihan langsung mengerjapkan matanya dan kembali menghadap ke temannya. Jihan ngerasa, itu bukan tanpa sengaja tapi seperti kebiasaan. Tapi Tissa?
“Lo kenapa?” tanya Dean khawatir. Entah ingatan Jihan langsung melayang saat dia SMA. Ada alasan kenapa dia nggak pernah bilang kalau dia suka dengan seorang cowok di depan teman-temannya. Karena selain tidak diterima tetapi Jihan juga merasa dipermalukan oleh teman sekelasnya.
Seorang gadis sedang termenung di bangku taman sekolah, tampak asyik memainkan kakinya dan bersenandung pelan dan juga celingukan ke sebuah ruangan di dekat situ hingga akhirnya dia melihat kedatangan seorang gadis lain beserta dua cowok di sebelahnya, gadis itu langsung riang dan berdiri menghampiri mereka
“Farah, apa rapat OSIS-nya udah selesai?” tanya Jihan dengan riang masih memainkan kakinya.
“Iya, lo nungguin gue ya? Padahal gue lama loh meetingnya. Makasih ya dah mau nungguin, maaf kalau lama,” kata Farah sayang terhadap sahabat karibnya itu
“Enggak, gue juga tadi asyik baca buku, jadi nggak bosenin juga nungguin lo kelar rapat.” Lalu Jihan menatap ke arah Reyhan dan Keenan. Kakak tingkat mereka yang kebetulan juga berada di OSIS sama dengan Farah. Sejak Farah masuk OSIS memang kedua cowok ini udah bak pengawal pribadi yang kemana-mana musti dikawal. Hal ini sudah berlangsung setahun. Karena Jihan teman dekat Farah, Jihan jadi juga menghabiskan waktu dengan mereka bertiga.
“Kak, kalian mau langsung pulang?” tanya Jihan dengan riang.
“Tentu aja. Hari juga sudah beranjak sore. Kalian juga pasti dicari oleh orang tua kalian,” jawab Reyhan.
“Ayo cepetan, udara makin dingin aja nih. Padahal hujannya dah tadi siang. Tumben-tumbenan aja ini udaranya dingin. Gue nggak pengen kalian sakit, terutama lo,” kata Keenan sambil menyentuh hidung Farah, gadis itu hanya tersenyum menanggapinya, lalu dia memandang Reyhan tanpa sebab dan semakin tersenyum sedang Jihan yang menyaksikan itu hanya bisa menghela nafas pelan. Suatu kesalahan memang ketika menunggu Farah selesai rapat, Jihan sempat menunggu di kelas. Mereka berdua duduk bersebelahan, saat itulah Jihan penasaran dengan buku yang ditaruh di laci. Saat dibukanya langsung ke halaman paling tengah, saat itulah Jihan menampakkan wajah tidak percayanya. Bagaimana bisa? Padahal Farah selama ini tahu rahasianya. Dengan cepat dikembalikan buku kecil itu dan dirinya bergegas ke luar kelas dan memutuskan menunggu di taman sekolah sambil menikmati pemandangan sekitar dan berdoa apa yang tadi dia lihat bisa dia lupakan.
“Gue pikir kita pisahnya di sini ya? Gue sama Keenan arahnya berlawanan dengan kalian berdua. Atau mau kami temenin sampai rumah?” tawar Reyhan melirik sepintas ke Farah. Padahal tinggal bilang aja anter Farah doang, jangan Jihan juga dilibatkan padahal paling juga nggak mau anterin pulang.
“Nggak usah, Kak. Masih jam segini, masih rame juga kok,” ujar Farah tersenyum simpul.
“Baiklah kalau gitu, hati-hati ya kalian di jalan,” ujar Reyhan masih tidak bisa melepaskan pandangannya dari Farah. Tiba-tiba Jihan merasa menjadi titisan nyamuk yang siap dikeplak kapan saja.
“Iyaaa!!!” jawab Farah dan Jihan bersamaan, mereka berdua lalu mulai berjalan menuju halte bus, Jihan sesekali melihat ke arah belakang, ke arah Keenan pergi, punggungnya masih terlihat lalu dia menghela nafas pelan kemudian memandang ke arah Farah
“Lo beruntung banget ya? sungguh beruntung…” kata Jihan lirih, Farah yang tadinya sedang fokus berjalan lalu memandang heran pada Jihan.
“Gimana, Han?”
“lo itu beruntung banget, Far. Diperhatiin sama dua cowok yang Subhanallah ketampanannya melewati garis khatulistiwa. Cowok-cowok yang tampan, baik hati, berkarisma dan tajir. Lo tau kan Far? Gue dari awal suka banget sama Keenan, tapi keknya gue masuk golongan makhluk tak kasat mata makanya nggak pernah dilihat sama Keenan,” sedih Jihan. Farah lalu mengelus pelan rambut Jihan
“Lo kan paham gue sukanya sama siapa, Han. Hati gue terpaku ke siapa. Gue nggak bakalan lah saingan sama lo. Ngapain saingan sama temen sendiri. Gue juga nggak mau berantem sama lo. Kak Keenan bagi gue cuman gue anggap sebagai kakak aja,” kata Farah menenangkan Jihan yang langsung terlihat riang.
“Beneran nih?” Jihan lalu tersenyum-senyum sendiri
“Kayaknya gue bakalan nyatain perasaan gue ke kak Keenan deh.” Perkataan Jihan mengagetkan Farah
“He? Serius? Lo berani mau ngomong ke kak Keenan? Beneran?” Farah seakan tidak percaya dengan kata-kata Jihan, selama ini dia menganggap Jihan hanya iseng suka dan tidak ada tanda-tanda usaha Jihan mendekati Keenan.
“Kok lo kaget sih, nggak suka ya gue nyatain rasa suka gue ke Kak Keenan?” ucap Jihan dengan nada sedih. Padahal tadi baru saja Jihan mendengar sendiri Farah bilang bahwa dia hanya menganggap Keenan sebagai sosok kakak.
“Eng, enggak gitu Han maksud gue. Ya kali gue nggak setuju, justru gue setuju banget lo bakal nyatain rasa suka lo ke Kak Keenan. Gue cuman nggak ngira aja lo bakal gerak cepat.”
Farah lalu berusaha tersenyum agar Jihan tidak berpikiran yang lain.
“Ya ampun, ini gimana ya? Gue nggak pinter nyatain perasaan. Apalagi ini tuh pertama kalinya gue nembak cowok. Gue dah nunggu lama selama setahun. Perasaan gue nggak bis ague tahan lagi, Far. Selama ini gue cuman bisa ngeliatin aja tanpa bisa ngungkapin apa-apa dan itu bikin gue ngerasa sedikit aneh sama perasaan gue sendiri,” keluh Jihan
“Nggak usah khawatir. Gue pasti dukung lo,” teriak Farah, tapi entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal di hati Farah.
“Farah guee, makasih banyak ya,” kata Jihan lalu memeluk erat Farah.
“Kayaknya gue mau beli sesuatu dulu deh, Far kita misah di sini ya? Sampai ketemu besok!” kemudian Jihan melepas pelukannya dan lari tanpa berkata apa-apa lagi, Farah yang terperangah dengan kelakuan Jihan yang seperti angin puyuh hanya bisa melongo tidak percaya.
“Han! Jihan!” Tentu saja dia tahu teriakannya tidak akan didengar oleh Jihan.
“Aduh, gimana kalau Jihan beneran nembak Keenan,” bingung Farah, dia lalu berjalan menuju halte bus ketika itulah dia ingat meninggalkan buku notenya di bawah laci meja, buku itu sangat penting.
“Siyalan, kok gue bisa ngelupain buku note gue sih” kata Farah sembari memukul kepalanya sendiri, dia lalu berbalik arah dan berlari menuju sekolah, sekolah sudah agak sepi, yang dia jumpai hanya beberapa siswa yang sedang sibuk membersihkan kelas, Farah lalu masuk menuju kelasnya dan segera mengambil buku notenya.
“Untung aja nggak ada yang nemuin lo, bisa mati gue, yang ad ague berantem sama Jihan.” Farah sangat senang bisa menemukan buku notenya itu, dia memang teledor telah membawanya ke sekolah padahal buku itu berisi tentang hal-hal penting dan rahasia bagi hidup Farah, setelah memasukkan buku notenya dalam tas, Farah lalu keluar kelas, di luar dia berpapasan dengan Reyhan.
“Loh, Kak Reyhan, bukannya tadi lo dah pamit pulang ya?” heran Farah.
“oh, ini. Ada barang gue yang ketinggalan di kelas, jadi ya gue ambil dulu. Mau buat ngerjain nanti malam. Kalau kelupaan nanti gue di skorsing. Trus lo ngapain balik ke kelas?”
“Sama, ada buku gue yang ketinggalan. Buku yang sangat penting makanya gue langsung ambil. Next, nggak bakalan gue bawa takut gue lupa hehehe,” jelas Farah, Reyhan lalu menganguk pelan, mereka lalu berpandangan untuk waktu yang lama
“Kak, lo mau ngasih jawaban ke gue nggak?” tanya Farah memecah kesunyian di antara mereka, Reyhan tampak bimbang, ketika itulah ada 3 orang siswa melewati mereka hendak pulang, salah satunya cukup menarik perhatian Reyhan hingga ia menatap siswa itu dan sesekali siswa itu juga memandang Reyhan, Farah yang melihat itu hanya bisa menggigit bibirnya gelisah lalu memandang Reyhan.
“Lo masih sayang banget ya sama cewek itu ? ” Reyhan lalu memandang Farah kaget.
“Kak Siska, kak Reyhan masih menyimpan rasa suka kan ke mantan kakak ?” ulang Farah pahit, airmatapun mulai menggenang di matanya, Reyhan seperti memikirkan sesuatu, ketika pandangan Reyhan menatap tajam ke arah Siska yang sedang memandangnya juga, Farah lalu berbalik arah hendak lari meninggalkan Reyhan tapi tangannya langsung ditarik oleh Reyhan kemudian tubuh Farah dipeluk erat.
“Gue kira ini dah bisa jawab perasaan lo ke gue, Far,” kata Reyhan di telinga Farah, airmata bahagia Farah langsung turun dan dia memeluk Reyhan erat
“Wah !” secara bersamaan Siska dan kedua temannya kaget dengan peristiwa itu, sedang diujung lorong ternyata Keenan melihat kejadian itu, tadinya dia berniat menyusul Reyhan tapi malah melihat sesuatu yang menyakiti hatinya, tanpa sadar tangannyapun terkepal, dengan pandangan marah Keenan lalu meninggalkan sekolah, diambilnya HP dari saku celananya, diketiknya sebuah message
to : Ariesta Jihan
baiklah..tunggu gue di taman sekolah 5 menit lagi.
Jihan yang sedang menunggu di taman sekolah langsung tertawa senang. Akhirnya Keenan mau juga menyempatkan waktunya untuk bertemu dirinya. Sudah saatnya Jihan mengutarakan. Jihan nggak peduli mau ditolak atau nggak. Yang penting sudah dia utarakan. Tak berselang lama, Jihan melihat Keenan keluar dari bangunan sekolah dan berjalan dengan kesuraman melingkar di atas kepalanya. Jihan tertegun. Semangatnya langsung turun.
“Kenapa pengen ketemu?” pertanyaannya yang dingin membuat Jihan mundur selangkah. Keberaniannya meluap sudah. Bahkan Jihan tidak mengenali lagi siapa laki-laki yang berdiri di depannya ini. Karena laki-laki itu sudah menanggalkan kehangatan yang selama ini Jihan rasakan.
“Gu-gue mau ngomong, Kak.”
“Ngomong apa? Ngomong tinggal ngomong aja kok kayak orang susah,” ketus Keenan. Jihan menelan ludahnya semakin tidak sanggup mengutarakan isi hatinya.
“Lo mau bilang lo suka sama gue kan?” tebak Keenan yang membuat Jihan kaget dan mukanya berubah merah seperti kepiting rebus. Akhirnya Jihan bertekad untuk mengutarakan semua agar tidak ada penyesalan lagi nantinya.
“Iya, Kak. Gue suka banget sama lo. Tapi gue nggak ngarepin apa-apa kok. Gu-gue cuman mau bilang itu aja biar lega,” ujar Jihan akhirnya mampu mengutarakan. Jihan mendongak ke Keenan ketika mendengar dengusan kencang.
“Trus lo pikir lo pantes sama gue? Gue dah tau dari lama kalau lo suka sama gue dari Farah. Tapi heran ya? Lo tau kan gue jelas-jelas suka ke Farah daripada ke lo. Lo ngintil aja kerjaannya. Gangguin kita berdua.” Amarah Keenan meledak membuat ledakan juga di mata Jihan. Air matanya mulai menetes. Tapi Keenan seperti tidak peduli dengan siksaan kata-katanya yang merobek hati Jihan yang malang.
“Atau lo mau kerjasama dengan gue. Gue bisa gunain lo buat manas-manasin Farah dan Reyhan yang baru aja jadian. Lo mau nggak?” ujar Keenan memberikan tawarannya. Ucapan Keenan tentang Farah yang jadian dengan Reyhan membuatnya kaget.
“Kapan?” tanya Jihan lirih.
“Baru aja tuh, gimana? Mau?”
Jihan langsung menggeleng kencang. Hatinya tak kuat lagi merasa dikhianati oleh sahabatnya sendiri. Kenapa Farah malah ngasih tahu ke Keenan? Pantesan setiap Jihan berusaha mendekat atau menginginkan ada moment berdua, Keenan seakan tahu dan tidak memperhatikan kode dari dirinya. Dan sekarang Keenan berbuat jahat pada harapannya. Harapannya dibuang begitu saja tanpa ada penjelasan.
“Nggak, gue nggak mau,” tukas Jihan hendak pergi meninggalkan Keenan ketika laki-laki itu kemudian berteriak. “Jihan! Lo denger ya? Gue nggak bakalan nerima cinta dari lo. Ngaca! Cantik enggak, kaya juga enggak bahkan punya ayah aja kelakuan kayak anjing. Gue tahu semua. Dan lo tau kan gue tahu dari siapa? Jadi jangan berani-berani lo ngomong suka ke gue!”
Saat itulah dunia Jihan runtuh dan hancur tak bersisa. Semua yang dibilang oleh Keenan hanya Farah yang mengetahui. Jihan nggak cerita ke siapapun kondisi keluarganya. Cuma ke Farah dan ternyata Farah menghancurkan kepercayaan dirinya. Rasa percayanya ke Farah.
Jihan melengos dan mendapati Reyhan dan Farah sedang menontonnya dari kejauhan. Sudah pasti suara Keenan terdengar karena Farah tidak berani melihat wajah Jihan. Sejak saat itu Jihan harus di bully oleh teman-teman lainnya dan bahkan sering tidak masuk sekolah karena stress. Beruntung, Bunda selalu menyemangatinya hingga Jihan merasa baikan saat masuk ke kampus.
“Han? Lo kenapa?”
“Ha?” Jihan langsung mengusap air matanya yang tidak sengaja turun saat dirinya sedang mengingat masa lalunya. Masa dimana dia bahkan tidak bisa menikmati indahnya baju putih abu-abu. Berbagai hal berkecamuk di dadanya. Itulah kenapa Jihan tidak berani mengutarakan kondisinya ke Kanaya dan Tissa. Jihan belum siap menghadapi robekan hati untuk kedua kalinya.
“Kok nangis?” tanya Kanaya khawatir.
“He, enggak. Gue kelilipan aja, kok,” ujar Jihan memberikan alasan. Dean membisikkan sesuatu ke telinga Jihan. “Nggak usah jealous.”
Jihan melirik dan menggeleng pelan. Sebenarnya Jihan merasa rasa cemburunya kalah dengan rasa penasarannya dengan hubungan Tissa dan Bagas. Tapi buat apa dipikirkan toh hubungan mereka mulai mendekati krisis sejak terakhir mereka berdua bertemu.
“Yang gue amati, Jihan sekarang lebih modis ya? Dulu tuh mukanya polos banget. Lo keren bisa dandan gitu. Korean style ya?” tanya Ikbal.
“Kok lo paham banget Korean style sih?” heran Dean.
“Lha cewek gue aja pecinta drama korengan sejati,” balas Ikbal.
“Korea ih, jijik banget masak korengan,” gerutu Kanaya kesal mencubit pinggang cowoknya.
“Atau jangan-jangan lo udah punya pacar ya? Katanya orang yang jatuh cinta itu keliatan auranya gitu,” tebak Kanaya membuat Jihan langsung merasakan kepanikan. Dia berjanji untuk tidak berbohong lagi dengan teman-temannya. Sudah saatnya kah dia bilang ke yang lainnya? Tapi hubungannya sendiri saja sudah diujung tanduk. Pas sukanya aja nggak diceritain masak pas susahnya digembor-gemborin. Emangnya Jihan mau minta dukungan? Kan nggak.
“Iya, emang gue punya pacar, tapi kayaknya bentar lagi udah nggak,” ujar Jihan mengedikkan bahunya.
“Loh kok bisa? Baru juga diumumin malah mau putus, Han. Kan bisa tuh kita double date menikmati waktu bersama dengan pacar masing-masing. Jalan-jalan bareng, makan bareng, nge-mall bareng. Kayaknya asyik gitu bisa banyakan. Lo juga Dean, buruan gih punya pacar biar berguna alat reproduksi lo. Daripada kelamaan dianggurin, ya nggak, yang?” tanya Ikbal ke Kanaya yang membuat Dean memicingkan matanya. Tangannya berhasil bersandar di punggung Ikbal sampai bunyi mak deg.
“Makanya punya mulut tuh disekolahin. Eh mana Tissa dan Bagas, kok dah ngilang aja?” bingung Dean menoleh ke counter bar dan tidak menemukan mereka berdua. Hingga akhirnya sudut mata Jihan melihat Bagas dan Tissa sedang mengobrol serius di pojokan terhalang tanaman. Mereka seperti sangat serius berbicara hingga mata Jihan bertabrakan dengan pandangan mata Bagas. Bagas yang menyadari langsung kembali ke counter bar, kemudian mengambil minuman pesanannya yang sudah ditaruh dari lama di counter. Dirinya kembali dengan pandangan biasa. Jihan mulai merasakan hal yang sangat tidak nyaman. Bukan ke perasaan melainkan ke pikiran Jihan.
“Eh, Gas. Lo tadi ketinggalan sesuatu nih. Jihan bilang dia dah punya pacar loh, wah beneran nih kita semua ketinggalan berita,” ujar Ikbal membuat Bagas tiba-tiba membeku. Matanya sempat melirik ke mata Jihan, seperti memberi peringatan bahwa Jihan sudah melanggar kesepakatan mereka berdua. Jihan melengos, tidak memperdulikan lagi dengan ancaman yang dikirim lewat pandangan mata Bagas.
“Cuman kabar buruknya, hubungannya lagi nggak baik,” tambah Kanaya.
“Oh, ya? Ya gue doain hubungannya baik-baik aja. Gue percaya pasti cowoknya sayang banget ke Jihan,” balas Bagas. Jihan melirik dan mendapati ada senyum kecil di bibir Bagas saat dia mengatakan hal itu. Tidak! Jihan sengaja menggelengkan kepalanya keras. Jihan nggak akan terbuai lagi sebelum beberapa pertanyaan yang mengendap di hati bisa tersolusikan dengan memuaskan. Bagaimana bisa Bagas mengatakan hal demikian padahal Jihan yakin, ada banyak hal yang tidak atau belum mau diceritakan oleh Bagas.
Tak berapa lama Tissa menyusul dan duduk bersama mereka. Mereka akhirnya ngobrol panjang, melupakan topik siapa sebenarnya pacar Jihan. Saat jam menunjukkan pukul empat sore, Ikbal mulai mengajak teman-temannya.
“Jadi nggak? Boys only nih,” ujar Ikbal. Dean terlihat kurang bersemangat menjawab sedangkan Bagas langsung antusias.
“Mau kemana?” tanya Kanaya.
“Mau ketemu temen lama, sayang. Agak jauh sih dari sini. Tapi kita sekalian mau jalan-jalan, dah lama nih kita nggak jalan jalan keluar dari Jakarta Selatan. Ketemuanya planet Bekasi doang,” sungut Ikbal.
“Heh! Anak produk Bekasi nih,” tunjuk Kanaya ke dirinya sendiri yang membuat Ikbal mengucapkan kata maaf dan mencium kening kekasihnya itu.
“Maafin, Yang. Ternyata cintaku tertombak ke Bekasi,” ujar Ikbal berusaha merayu tapi malah membuat yang lainnya tertawa.
“Boleh kan?” tanya Ikbal mengingat cuma dia yang punya pasangan jadi harus dia pamiti.
“Jangan kobam ya, please,” pinta Kanaya. Ikbal mengangguk.
“Tuh, lo denger kan? Jangan sampe ngajak gue kobam. Cewek gue sampai maju, habis kalian semua,” ancam Ikbal ke Dean dan Bagas.
“Kita ngajakin lo minum? Nggak kebalik nih, dulu waktu…hmmp hmmmp.” Ikbal langsung menutup mulut Dean dengan kedua tangannya membuat Dean tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
“Kita pamit dulu yaaa, sampai ketemu besok sayangku,” pamit Ikbal menyeret Dean keluar café. Bagas berdiri dan melihat ke Jihan agak lama kemudian dia akhirnya pergi juga. Tissa juga ikutan pamit dengan alasan mau ada kursus di sore ini.
“Tinggal kita berdua nih, Han. Kita jadi nggak mau buntutin mereka?”
Jihan menggeleng, “kayaknya nggak bisa deh, Kan. Udah jam segini, mau pulang jam berapa nanti? Bunda pasti dah mulai buang bajuku kalau dari jam 9 malam aku belum ada dirumah. Kalau gue pamitan mau ngikutin orang, tambah kena marahlah gue.”
Kanaya tertawa kecil, “yaudah deh, lain kali aja ya.”
Jihan mengangguk kemudian teringat sesuatu. “Lo bilang mau nyeritain juga tentang Tissa?’
“Oh, iya. Tapi kalau kita nggak jadi buntutin nanti aku susah nyari korelasinya. Mending yang langsung bisa lo indra nantinya. Next ya beneran aku ceritain. Gue nggak mau lo nanti kaget kayak gue trus mulai denial, mulai nggak suka dan pada akhirnya mulai menerima memang seperti itu orangnya. Dan lo juga harus cerita ke gue siapa cowok lo sebenernya ya,” pinta Kanaya. Jihan membalas dengan senyuman lebar.
“Eh lo yakin Ikbal ada sesuatu? Bukan khayalan atau imaginasi lo kan?” tanya Jihan penuh dengan kekhawatiran. Kanaya seperti berpikir akan sesuatu kemudian dia urungkan. Seperti menahan sesuatu yang seharusnya segera dia ungkapkan.
“Yakin, feeling cewek banyak kuatnya, Han. Makanya cewek suka make perasaannya buat mikir kalau cowok kebanyakan pake logika meski diselingi otak di tengah selangkangan.”
“Hus! Saru!” tegur Jihan yang malah membuat Kanaya tertawa.
“Ya aslinya sih, gue pasti ada lah keraguan di hati. Tapi apa salahnya mencoba? Kalau nggak ke-gep aneh-aneh berarti emang Ikbal itu cowok yang setia sama gue. Satu-satunya dalam kelompok itu yang gue percaya cuman Dean. Mulutnya emang tajem kayak turunan tapi aslinya dia baik kok. Gue sering dibantu sama Dean buat hubungin gue dan Ikbal, kalau pas lagi ada masalah dengan cowok gue. Beda jauhlah sama Bagas.” ujar Kanaya lalu mulai menyeruput hot chocolate kesukaannya, Jihan lalu merebahkan badannya ke sandaran kursi dan menghela nafas pelan
Jihan memilih diam, karena akan terasa serba salah meski Jihan menanggapi. Jihan takut Kanaya akhirnya tahu siapa cowoknya yang sebenernya.
“Andai gue juga tahu jawabannya, Kan. Gue kadang ngerasa perasaan sensitive kita terkait perasaab emang nggak boleh didiemin. Feeling cewek itu kuat banget radarnya. Banyak kecurangan terbongkar ya gara-gara feeling cewek, iya nggak?”