Laki-laki Jahat

2902 Kata
    Kanaya mengangguk sepakat dengan omongan Jihan.     “Tenang aja, pasti gue bakalan nemu apa yang membuat feeling gue terasah seperti ini. Jawaban atas keraguan gue dan Ikbal. Orang tua gue masalahnya udah kenal sama dia. Gue juga kenal baik dengan keluarganya. That’s will be hurt so much kalau sampai ternyata kita nggak mencapai komitmen lebih lagi. Gue takut, Han. Makanya gue ajakin lo buat jadi spy, ngikutin kemana Iqbal pergi selama seminggu ini. Tapi kalau lo mau pulang, kita lanjutkan pencariannya besok,” ujar Kanaya penuh semangat, Jihan lalu mengiyakan dan mulai membayangkan hal-hal yang bisa terjadi padanya. Kalau ternyata dugaannya tidak terbukti, Jihan akan berani meminta maaf kepada Bagas dan memberinya pilihan mau lanjut pacaran atau enggak. Jihan nggak akan memaksa sebuah perasaan untuk kepastiannya. Jihan lalu mulai membayangkan juga hal romantis apa yang akan dia lewatkan bersama orang yang dia sayang melakukan double date, punya hubungan secara terang-terangan. Dan itu membuat Jihan terkekeh kecil, ketika tersenyum-senyum tiba-tiba Jihan langsung memberengut.     “Semoga aja jadwal gue nggak padet ya, apalagi gue kan ngajuin beasiswa, Kan. Bakalan tambah susah sebenernya ke depannya,” cemberut Jihan, Kanaya lalu juga ikut cemberut.     “Gue lihat-lihat hubungan lo sama Dean improve ya, kalian sekarang jarang bertengkar sambil maki-maki. Sekarang tuh dah kayak lebih halus aja. Bertengkar iya tapi tuh dah lebih damai. Nggak kayak pas awal masak kebun binatang dan seisinya suka keluar dari mulut,” terang Kanaya. Jihan juga sebenarnya merasakan hal yang sama. Dean sebenarnya nggak jahat dan nggak juga sengaja pengen bully Jihan. Dean itu seperti memberikan warna di hidupnya Jihan. Ibaratnya Pelangi yang selalu dinantikan oleh orang selepas hujan. Dean seperti itu, dia laki-laki yang selalu ada saat Jihan dalam kondisi terpuruk. Bahkan dalam kondisi suka, Dean ikut gabung merayakannya. Hatinya menghangat kembali jika mengingat betapa Dean sebenarnya partner yang asyik untuk diajak ‘diskusi’. Jangan-jangan alasan Jihan tidak terlalu cemburu dengan kedekatannya dengan Tissa tadi adalah karena….     Dengan cepat Jihan lalu menggelengkan kepalanya hingga membuat Kanaya heran.     “Kenapa? Lo pusing?” tanya Kanaya khawatir.     “Nggak, nggak papa. Gue baik-baik aja kok, Kan. Cuma mau olahraga kecil aja sebelum kita memulai aksi kita,” kekeh Jihan. Kanaya menepuk pelan bahu Jihan. “Gue pulang duluan ya kalau gitu. Kabarin gue kapan aja lo luang. Kita pasti bisa kok nemu momennya. Lo masih pengen di sini? Gelas kotornya banyak banget loh ini. Kalau lo masih mau di sini, lo pindah aja ke pojokan tuh,” tunjuk Kanaya ke kursi kosong.     “Iya, kayaknya gue disini dulu deh. Capek juga di rumah bantuin Bunda. Sesekali me time dulu,” kata Jihan memaksakan diri untuk tersenyum. Karena kata ‘rumah’ mengingatkan beban apa saja yang harus dia tanggung. Dia sudah berusaha maksimal membantu Bunda yang masih belum bisa mengambil resiko dengan memanggil pembantu jika sampai budhe tidak terurus maupun ketika banyak pesanan. Bunda masih beranggapan itu adalah kepentingan urgent yang tidak penting.     “Oh, iya, maaf ya Han. Lo yang sabar sama keadaan keluarga lo. Gue kan dah bilang kalau ada apa-apa jangan sungkan cerita, bahkan jangan sungkan minta. Minta waktu buat lo lebih bisa didengar atau bajkan minta materi selama aku mampu. Please, just think as I’m your sister,” kata Kanaya memegang tangan Jihan erat, Jihan lalu mengiyakan dan Kanayapun berpamitan pulang, setelah ditinggal pergi Kanaya, Jihan hanya duduk terdiam di kafe itu. Dirinya langsung pindah duduk ke pojokan, dia duduk di pinggir jendela hingga dia bisa melihat pemandangan luar dimana banyak orang yang lalu lalang. Pikirannyapun melayang mengingat kejadian beberapa tahun ini, dimana kedua orang tuanya sedang bertengkar terus-terusan, hingga puncaknya saat itu hari minggu tahun lalu ketika mereka bertengkar, mereka memutuskan untuk bercerai, membuat Jihan menjadi stress     Selama ini Jihan tidak pernah mau merepotkan kedua orang tuanya, berharap kedua orang tuanya bangga dan memberi kasih sayang padanya secara utuh tapi harapan itu ternyata tidak pernah datang bahkan pupus seiring pertengkaran kedua orang tuanya. Bundalah yang tersisa sedang ayahnya memilih jalan sebagai orang yang memutuskan untuk kabur dan memperbaiki hidup. Well, Jihan tahu itu adalah alasan semata karena ayahnya cukup dari mampu dan punya bisnis yang cabangnya ada beberapa di kota besar. Jihan terus memandang keluar dan sesekali menghela nafasnya keras, ketika dia hendak menghabiskan hot chocolatenya ternyata didepannya sudah ada Dean.     “Ya ampun, De! Lo ngangetin gue aja! “ teriak Jihan hampir saja menjatuhkan cangkirnya, Dean hanya bisa tertawa melihat kekagetan Jihan.     “Gue cuman nggak tega aja ganggu lamunannya putri kodok kita, lo juga asyik banget menghayati waktu kesendirian lo. Mana berani gue ganggu,” kata Dean tersenyum.     “Lo ngapain kesini? Bukannya lo tadi dah diseret sama Ikbal, mau diajak nongkrong? Ada yang ketinggalan kah?”     Iya, ada. Dan itu lo, lo lupa gue bawa buat dikarungin     Jihan masih menatap Dean dengan pandangan berkedip-kedip. Dean tiba-tiba seperti kaget ditatap seperti itu oleh Jihan, bingung hendak berkata sesuatu tapi kemudian mukanya datar dan tenang. Dean langsung duduk menemani senja sore bersama Jihan.     “Iya, tadi gue diseret, cuman lagi males aja jauh-jauh. Nanti Mama nyariin gue jadi gue milih ikut next reunian kalau ada lagi. Trus itu kenapa muka lo cemberut banget? Lo kayak nanggung beban yang cukup berat. Katakanlah satu ton, yaudah yaudah satu kwintal sama temen sendiri,” ujar Dean memberikan negosiasi karena Jihan terlihat ingin protes dengan kata-kata Dean.     “Emang muka gue keliatan sedih? Ah perasaan lo aja kali. Gue emang lagi nggak punya energi aja. Butuh revive nih, kan gue selama seminggu lebih ini nggak ketemu sama cowok gue,” Jihan pura-pura cemberut.     “Dean, Bagas baik-baik aja kan? Hubungan kita lagi ada di krisis kepercayaan. Gue ngerasa dia mulai banyak bohongnya ke gue,” ujar Jihan tiba-tiba. Dean sekali lagi menghela napas. Menahan dirinya untuk tidak terlalu banyak berkomentar.     “Tentu aja dia baik-baik aja. Lo tadi kan dah lihat sendiri. Kalau ada apa-apa sama dia pasti hubungin lo, kok. Lo kan bisa telpon kek, kirim chat kek, jangan kayak nggak ada solusi gitulah. Lo bisa kan ngupayain demikian?” tanya Dean balik.     “Lagipula, nomor kontak darurat dia yang pertama itu nama gue kok, jadi yakin deh, kalau ada apa-apa, gue juga yang dihubungi,” tambah Dean berusaha menenangkan Jihan.     “Gue kalau dah direspon biasa tuh, jadi males. Mager mau komunikasi kalau gitu caranya. Tapi di satu sisi gue ngerasa gue tuh khawatir sama Bagas. Nggak tahu juga ini jenis khawatirnya yang kayak apa. Dan aku nggak tahu Bagas itu aslinya gimana. Di satu sisi gue kadang ngerasa gue itu hanya pelampiasan, apapun itu tapi di sisi lain gue ngerasa kayak emang Bagas tuh beneran sayang sama gue,” terang Jihan berusaha membesarkan hatinya, ditatapnya lagi pemandangan jalan, hujan rintik sudah mulai turun, Dean lalu menatap Jihan tajam, dia langsung berdiri dan menarik tangan Jihan hingga Jihan kaget.     “Ayo kita jalan-jalan” kata Dean tanpa memperdulikan protes Jihan     “Eh, Dean. Kita mau kemana? Dah mau ujan deres tuh,” bingung Jihan sambil melihat sekeliling seperti orang linglung, Dean terus melaju keluar dari kafe menggandeng tangan Jihan, sesampainya diluar, dilepaskannya pegangan tangannya karena sadar mereka hanyalah teman saja.     “Maaf, ya,” kata Dean lalu menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal, seketika suasana agak kikuk     “Lo tahu nggak, deket sini gue denger ada street food gitu, mau nyobain? Kita kesana aja apa gimana? Mau naik motor lo aja gimana? Soalnya gue tahu banget pasti perut lo dah mulai bunyi karena lo dari tadi minum doang pas gue amatin,”kata Dean mencairkan suasana, Jihan langsung setuju     “Iya, deh. Gue setuju, De,” seru Jihan riang.     Ditengah rintik hujan mereka berdua berlari menuju parkiran kampus Jihan. Seperti biasa, Jihan mengantar Dean untuk meminjam helm karena dia sendiri ke kampus selalu menggunakan mobil. Jarang banget naik motor 2 tak. Mereke terus bercanda dan mulai bermain dengan gerimis, hingga Jihan lupa akan masalahnya.                                                                                     **     Di atas atap kampus Tissa sedang gelisah, berulang kali dia mencoba menghubungi seseorang tapi tanpa hasil, tadi tidak ada yang mengangkat dan sekarang malah sudah tidak aktif lagi handphone orang tersebut, Tissa lalu terduduk di bangku taman di atas kampus, atap kampus memang sebagian diefektifkan untuk jurusan holtikultura tapi banyak juga mahasiswa seni yang sering menggunakan taman itu untuk mencari inspirasi lukisan maupun hasil karya seni lainnya. Kebetulan dirinya sangat menyukai kegiatan melukis, meski bukan dari anak seni Lukis, tapi Tissa sering mengikuti kegiatan mereka dan juga ikut melukis.     “B*jingan, lo ada dimana sih? Lo udah buat hidup gue jadi berantakan gini” tanya Tissa pada kegelapan malam, dia terus memandang bintang berharap satu bintang itu akan jatuh hingga dia bisa make a wish, butiran air matapun jatuh, Tissapun mengingat masa pacarannya yang tidak mudah, apalagi sekarang orang tersebut tidak bisa lagi dia temui. Tidak ada yang tahu dengan siapa dia pacarana karena profesi pacarnya dan juga status Tissa membuat segala sesuatunya seperti tidak mendapat restu. Semakin lama hubungan mereka terasa mengambang.     Tissa mengetatkan jaketnya agar dia terasa hangat. Atap taman rupanya tidak mampu menahan dinginnya malam dengan hujan rintik. Tissa lalu memutuskan untuk pulang, ketika di halaman kampus tanpa sengaja Tissa bertemu dengan Bagas     “Eh, elo, Gas,” sapa Tissa ramah, Bagas hanya tersenyum pelan.     “Kok lo keluyuran malam-malam gini sih? Lagi pengen menikmati hujan apa gimana? Lo bisa sakit loh,” kata Bagas penuh perhatian. Tiba-tiba perasaan rindu itu datang, rindu akan perhatian Bagas saat mereka berkenalan, rindu akan kedekatan mereka dulu, membuat Tissa lupa akan status dia dan Bagas sekarang. Tissa lalu tersenyum manja.     “Oh, gue lagi nyari inspirasi di atas. Minggu depan akum au ikut lomba melukis di kampus ini, acaranya keren karena sekalian buat acara amal. Siapa tahu ada yang ngelirik lukisan gue gitu. Sesekali punya hobi menghasilkan,” kekeh Tissa.     “Tentu aja lo harus ikut, gue masih inget lukisan di kamar lo. Itu bikinan lo sendiri kan? Gue janji bakalan datang ke acara amal kalau lo bisa nyelesein lukisan lo. Gue beli deh buat gue.” Mendengar itu Tissa langsung berteriak kegirangan     “Beneran?! Wah gue semangat ini ngerjainnya. Tunggu ya, gue pasti selesai sebelum waktunya,” senyum Tissa terus mengembang membayangkan jika lukisannya di pajang di acara penggalangan dana dan banyak yang melihat lukisannya serta nantinya lukisannya bakalan di beli sama Bagas.     “Thanks ya, Gas.” Saking senangnya Tissa, dia lalu memeluk Bagas, bahkan ketika dia melepas pelukannya dan meninggalkan Bagas dengan tersenyum gembira sambil bernyanyi, Tissa masih tidak sadar akan tingkah lakunya tadi, dan saat itu Tissa meninggalkan Bagas yang terheran-heran dengan tingkah laku Tissa, masih dengan pandangan terpana, Bagas terus melihat Tissa yang seperti orang gila bernyanyi-nyanyi sambil berputar, seakan tidak ingin kehilangan moment tadi, Bagas lalu menyusul Tissa     “Tissa..”panggil Bagas, Tissa lalu menoleh.     “Ya?”     “Lo mau nggak makan malam sama gue?”     “Lo bukannya harusnya nongkrong sama temen-temen lo ya?”     Bagas menggeleng dan menghampiri Tissa. “Nggak jadi, soalnya ada yang males nyamper. Prinsip kita kalau ada yang satu nggak hadir ya mending nggak semuanya aja. Jadi gimana? Mau makan malam sama gue?”     Tissa menyambutnya dengan senyuman lebar dan anggukan kepala.                                                                         **     “Aku pulang!” teriak Jihan ketika memasuki rumah, tapi suasana sangat hening tidak terlihat ada orang di ruang tamu     “kemana semua orang?” tanya Jihan dengan cemberut, setelah melepas sepatunya dan memakai sandal rumah, Jihan mulai celinguk ke arah kamar Budhe kemudian menuju ke ruang tengah, tapi betapa terkejutnya Jihan, ruang tengah seperti habis diterjang p****g beliung, dengan segera Jihan lalu melihat Bunda, Budhe dan juga laki-laki yang terpaksa Jihan akui sebagai seorang ayah. Jihan memandang dengan ekspresi marah. Beraninya ayahnya datang dan hendak mengacaukan kondisi rumahnya. Setelah lama menghilang kenapa dia nggak sekalian aja ngilang selamanya biar nggak nanggung. Budhe memandang dengan pandangan hampa. Entah apa saja yang sudah mereka obrolkan karena suasana sungguh sangat mencekam.     “Apa apaan ini?!” kaget Jihan. Bunda langsung melihat ke arah Jihan, Jihan melihat dengan jelas Bunda sedang menangis dan ada tanda merah di pipinya, dengan marah Jihan lalu membuang tasnya dan berteriak marah     “Apa yang sudah anda lakukan kepada ibu saya?!” gelegar amarah mulai menguasai Jihan. Tidak ada yang boleh menyakiti Bunda maupun Budhe. Bunda selalu menjadi prioritas nomor satu untuknya. Ayahnya hanya terdiam, bahkan Budhe ternyata mendengus keras pertanda beliau juga sebenarnya sedang marah.     “Duduk kamu!” perintah ayahnya, Bunda mengangguk meski dengan berat, menyuruh Jihan menuruti apa mau ayahnya. Dengan terpaksa Jihan duduk dan menatap tajam ke laki-laki itu. Laki-laki yang sudah menghancurkan hidup Bunda.     “Kami memutuskan bahwa rumah ini akan dijual untuk dibagi. Karena kalau kalian yang tinggal di sini, aku nggak bisa ngambil apa yang sudah jadi hakku sendiri. Rumah ini buat aku, jadi kalian nggak ada hak untuk tinggal kecuali atas ijinku,” kata laki-laki itu dengan lancarnya, benar-benar membuat Jihan muak dengan ketidakpeduliannya. Jihan memandang Bunda dan juga Budhe. Jihan nggak tega kalau harus membuat Bunda dan Budhe lebih tersiksa lagi. Kenapa malah ayahnya tega? Bahkan kepada Budhe yang notabene kakaknya sendiri.     “Kenapa anda lakukan ini pada kami?” tanya Jihan sinis. “Yang anda bilang terkait hak, anda juga mengabaikan hak seorang istri yang seharusnya mendapatkan nafkah. Anda juga mengabaikan hak seorang anak untuk mendapatkan kasih sayang dan juga perhatian. Hak apa lagi yang anda bicarakan?”     “Kurang ajar ya kamu sama orangtua. Ini ajaran kamu?” balas laki-laki itu menatap tajam ke Bunda. Bunda menitikkan airmatanya kembali. Menggelengkan kepala sebagai perwakilan jawaban.     “Kurang aja? Anda nggak tau ya? Bunda selemah itu, selembut itu, nggak ada gen satupun di badanku. Anda mau tahu? Saya gini juga karena anda! Anda yang menurunkan gen itu kepada saya. Jadi anda juga tidak lebih kurang ajar dari pada saya.”     “Jihan!” teriak Budhe memperingatkan Jihan, tapi Jihan tidak peduli lagi.     “Mikir nggak anda selama ini ninggalin anak, istri sama kakak sendiri? Dimana hati nurani anda? Nggak punya? Udah keliatan, bahkan urat malupun nggak ada. Buktinya berani datang ke rumah dan ngambil demi keuntungan. Anda emang setan,” ujar Jihan mulai membuat ayahnya mengepalkan tangannya.     “Jihan, Bunda mohon, diem nak,” isak Bunda takut akan kondisi anaknya. Bunda takut Jihan bakalan dipukuli seperti dia tadi yang ditampar oleh suaminya sendiri hanya karena menghalangi niat suaminya untuk mencari sertifikat tanah.     “Salah Bunda apa sih sama anda?”     “Dia!! Tanyakan saja padanya sendiri!!” tunjuk ayahnya ke Bunda     “Mas, cukup. Itu anak kamu sendiri. Buah hati kita, Mas. Kalau mau pukul, pukul aku aja nggak papa. Tapi jangan Jihan. Jangan sakiti Jihan,” isak tangis Bunda bertambah kencang. Jihan semakin trenyuh, tidak kuat dengan kondisi Bunda. Budhe sendiri ternyata menangis dalam diam. Menatap nanar seakan mati tak mau, hiduppun segan.     “Kamu denger sendiri kan? Ibu kamu ngerengek-rengek minta ampunan buat kamu. Kamu jangan kurang ajar sama bapak sendiri ya? Kamu bakal ngerasain gimana rasanya dipukul. Sekarang serahkan mana sertifikat rumah ini!”     Jihan semakin bertambah sakit hatinya, bisa-bisanya laki-laki ini bertindak sebagai seorang psychopath. Setiap omongan yang keluar dari mulutnya memang hanyalah racun. Airmatanya akhirnya luluh ke pipi. Jihan sampai harus meremas pinggiran kursi agar bogem mentahnyapun tidak melayang. Dia tidak pernah takut dengan ayahnya.     “Nggak ada, saya nggak tahu dimana sertifikat rumah ini,’ balas Jihan. Setahu Jihan justru Budhe yang menyimpannya. Tapi memang Budhe hanya diam, laki-laki itu juga nggak berani bilang langsung ke kakaknya.     “Jangan bohong ya kamu!” Secepat kilat laki-laki itu menyeret Bunda untuk mendekat, raungan ketakutan terdengar dari mulut Bunda. Jihan berharap, ada tetangganya yang mendengar ada keributan dan akhirnya datang ke rumah.     “Mau ibu kamu aku pukuli?! Bilang DIMANA, hah!”     “Saya beneran nggak tahu, kenapa nggak nanya ke Budhe?”     Laki-laki itu langsung menghampiri kakaknya.     “Mbak, kemana sertifikat rumah? Tanah ini dan rumah ini yang beli orang-tua, yang subsidi untuk pembuatan rumah juga orang tua. Buat siapa? Aku mbak, mana mbak? Aku janji kalau sudah terjual, mbak ikut sama aku. Nanti aku rawat sekalian ngurus semua kepeluannya dengan suster.     “Stop!” teriak Jihan tidak tahan dengan kelakuan ayahnya.     “Sampai kapan anda bertingkah laku seperti anak kecil? Saya nggak peduli anda mau ambil rumah ini atau nggak. Saya juga tahu progress saat rumah ini terbangun. Tapi kalau anda mau ngusir kami, mohon maaf, barang-barang yang dari kita beli, akan kami bawa. Termasuk Kulkas, saya nggak peduli betapa panasnya rumah ini saat anda menempati.”     “Hah! merepotkan saja, lihat anakmu, kamu tidak bisa mendidik mereka dengan baik, sampai sama ayahnya sendiri saja kurang ajar,” sinis ayahnya.     “Dia juga anakmu, mas. Sekarang kalau rumah kamu jual, mau kemana kami berdua, Mbak Mary mau kamu rawat? Memangnya kamu bisa dan mampu?” ujar Bunda meyakinkan ayahnya atas keputusan yang dia buat. Jihan benar-benar tidak tahan lagi. Laki-laki itu hanya mendengus kasar kemudian mulai mondar mandir mencari sendiri.     “Kalau anda sanggup menghidupi dan memberikan kelayakan ke Budhe, itu akan lebih baik, Budhe butuh sokongan dana untuk pembelian obat. Lusa kami sudah akan pergi sesuai dengan permintaan Anda. Bagus kan?” ujar Jihan penuh dengan kesarkasan.     “Malam ini sebaiknya anda pergi, nggak usah khawatirin sertifikat. Kami nggak akan bawa itu. Saya peringatkan sekali lagi, Sampai Anda memukul Ibu saya, saya tidak akan segan-segan melaporkan Anda ke pihak berwajib.”     Laki-laki itu akhirnya menyerah dan mendengus kasar. Jihan menatap sekilas kepergian orang itu. Jihan langsung menutup dan mengunci pintu rumah. Dirinya langsung menghamburkan badannya ke pelukan Bunda dan juga Budhe.     “Kalian nggak kenapa-napa kan?” tanya Jihan khawatir kemudian mencoba mencari segala bentuk p********n jika ayahnya yang melakukan.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN