Pergi dari rumah

2673 Kata
            “Bunda nggak kenapa-napa, Han. Budhe juga aman. Tadi kamu janjiin apa? Lusa kita mau pergi dari sini? Mana cukup waktunya buat nyari kontrakan dan pindah-pindah?” risau Bunda. Jihan termenung. Pokoknya dia berani berucap, berani menanggung segala konsekuensinya.             “Kita mau kemana, Han?” risau Bunda.             “Jangan khawatir, Bund. Jihan yang bakalan nanganin dan ngusahain. Jihan nggak akan biarin Bunda dan Budhe terluka lebih lama lagi di sini. Serahin semua ke Jihan ya, Bund, Budhe. Jihan janji akan berusaha lebih lagi agar kondisi kita membaik,” kata Jihan mengedipkan matanya, berusaha menggoda Bunda dan Budhe agar beliau tenang. Padahal Jihan sedang panik di dalam hatinya. Semua rasa bercampur. Senang karena akhirnya bertemu dengan ayahnya, marah karena kelakuan ayahnya yang ternyata belum sembuh dari kebiasaan buruknya dan bagaimana temperamennya beliau saat ada yang menantang. Dan Jihan merasa sedih karena orang tuanya harus berbagi masa suram dengan orang lain dan anak mereka sendiri. Jihan mencium pipi Bunda dan Budhe, bergegas ke kamarnya dan mulai mengamuk di sana. Foto kenang-kenangan ayahnya juga terpaksa dia sobek. Jihan sudah terlanjur sakit hati dengan kata-kata ayahnya.     “Sebaiknya aku message Kanaya kalau aku tidak bisa ikut jadi Spy beberapa hari kedepan, biarlah dia pergi sama Tissa aja, lagipula mereka belum pernah pergi berdua khan?” Jihan mulai mengemasi baju dan bukunya, lalu diambilnya HP-nya.     To: Kanaya     Kan..maaf ya, beberapa hari ke depan gue keknya nggak masuk kuliah dulu. Ada urusan yang urgent dan penting. Lo ajak Tissa aja ya, selamat bersenang-senang berdua. Love yaa     Jihan menghela nafas setelah mengirim message pada Kanaya, tidak mungkin dia minta tolong pada Kanaya, Dia sudah tidak sabar bertemu dengan Ikbal, dan tidak mungkin juga dia mengeluh pada Bagas, selain dia sibuk, bukankah malam ini dia pergi dengan Ikbal dan teman-teman,?     Jihan semakin bingung hingga nama Dean terlintas di kepalanya     “Aduh, gimana ya? Tapi ini tuh urgent, aslinya gue nggak berani, semoga aja Dean bisa bantu gue.” Lalu Jihan menelepon Dean     “Halo, Gimana Han? Ada yang bisa gue bantu nggak?” jawab Dean di seberang sana.     “Hm. Itu, Dean…Gue pengen minta bantuan sama lo, tapi nggak bisa gue lewat telpon. Kita ketemu di luar? Ketemu di area taman kota aja gimana?” gugup Jihan.     “Tumben lo minta tolong ke gue? Oke-oke, kita ketemuan di taman kota, tenang aja gue pasti bantuin lo.gue bakalan nungguin lo.”     “Dean..”     “Ya?”     “Makasih banyak ya dah mau bantuin,” setelah itu Jihan lalu menutup telponnya, diambilnya tas ransel dan kopernya lalu dia keluar dari kamar, dilihatnya juga Bunda keluar dari kamarnya, sementara itu di dalam kamar yang lain juga sudah sepi, sepertinya Budhe memutuskan untuk lekas istirahat. Bunda membersihkan area tengah dari kekacauan yang tadi ditimbulkan. Diamatinya Bunda dengan seksama. Rasa sakit hatinya karena laki-laki itu memperlakukan Bunda secara tidak layak terus hinggap di hatinya. Apa jadinya jika tadi dia segera pulang? Mungkin malah bisa memblokir akses laki-laki itu hingga tidak bisa masuk serta tidak membuat kekacauan.     “Bund, ikut nggak? Jihan mau ketemu sama Dean. Mau minta tolong sama dia kalau saja punya info kontrakan deket rumahnya. Jihan dah ngajak ketemu langsung, Bund,” ajak Jihan. Bunda terdiam.     “Jihan, pas kita pergi buat ketemu sama Dean, apa Bunda boleh makan terlampau malam? Bunda lapar nih, seharian Bunda nggak bisa makan karena sebenarnya pagi tadi Bunda sudah menerima pesan dan ancaman dari ayah kamu,” keluh Bunda. Jihan semakin mengumpat dalam hati. Lalu mengiyakan keinginan Bunda. Biasanya di area taman kota banyak yang berjualan juga, entah itu jualan makanan berat atau makanan ringan.     “Yaudah, yuk, Bun. Kita naik motor berdua, pacaran berdua, menikmati malam ini berdua, tentu aja Bunda juga harus makan. Sampe sana, karena kita ke taman kota, Bunda bisa beli kwetiau rebus kesukaan Bunda, nanti kita makan disana, gimana?” usul Jihan.     “Boleh nggak Bunda nambah gorengan?” tanya Bunda hati-hati. Jihan mengiyakan meski kemudian membatasi gorengan yang nantinya boleh Bunda makan. Setelah berpamitan sebentar dengan Budhe, Jihan dan Bunda kemudian naik motor ke taman kota.     “Bunda! Akhirnya kita jalan-jalan berdua ya, Bund. Bunda seneng nggak?” seru Jihan, Bunda terlihat gembira sekali dan Jihan suka itu, setidaknya pengalaman pahit Bunda tergantikan sesaat dengan rasa suka karena bisa jalan jalan. Mereka akhirnya tiba juga di taman kota. Memarkirkan motornya di Kawasan parkir taman. Belum juga berjalan jauh, mereka sudah menemukan tenda makanan. Dengan segera mereka memesan makanan kesukaan masing-masing.     “Jihan.”     “Ya, Bund?” toleh Jihan pada ibunya.     “Bunda malam ini makannya banyak ya. Lagi pengen makan banyak, jangan dimarahin perihal kolesterol dan asam urat ya?” kata Bunda mengkhawatirkan dirinya yang bakalan kena marah anaknya.     “Sudah Jihan bilang, Bunda jangan khawatir, bukankah Jihan selalu ada untukmu? Kita tunggu pesenan kita di bangku sebelah situ aja ya, Bund,” ajak Jihan, Bunda lalu menyodorkan lengannya pada anaknya, Jihan menyambutnya dengan tersenyum lalu menggandeng Bunda.     “Enaknya punya Bunda gaul mah gini, bisa diajak jalan-jalan sekaligus kayak orang pacaran,” canda Jihan membuat Bunda ikutan tertawa.                                         **     Jihan dan Bunda sangat menikmati makanan mereka, terlihat mereka sangat lahap bahkan saling berebut makanan     “Bagi sedikit, Bund,” kata Jihan sembari berusaha mengambil kwetiau Bunda.     “Jihan, kenapa Bunda baru tahu kalau makan kamu banyak, Bunda padahal dah bilang kalau Bunda aja kelaperan,” ujar Bunda terus mencegah Jihan mengambil bagiannya. Sedang Jihan justru cengengesan.     “Tahu gitu aku beli double tadi.” Jihan juga tidak menyangka dia kelaparan, dia baru ingat hanya sempat sarapan roti di kampus tadi, makanya sekarang lapar. Bahkan saat di cafe juga dia hanya pesan minuman tanpa snack.     Dari jauh terlihat Dean mendekat, ditangannya memegang roti boy yang masih hangat. Dean masuk ke tenda makan dan bergabung dengan mereka.     “Huaaa, Dean, apa yang lo bawa itu?” tunjuk Jihan, Bunda juga ikut melihat ke arah Dean, ingin makan roti itu juga tapi mengingat dia merasa dia sudah berumur maka sikapnya hanya diam. Menunggu ditawarkan saja.     “Nih,” sodor Dean, Jihan menerimanya dengan sangat senang sedangkan Bunda yang disodori roti kini bertambah semangat dan mulai ikut ngemil roti. Pemandangan itu tentu tidak luput dari perhatian Dean. Keningnya mengernyit bingung dengan apa yang ingin Jihan utarakan dengan Bunda di sebelahnya. Dean hanya bisa mengangkat pundaknya lalu duduk di samping Jihan.     “Kurasa Bunda laper banget kayak lo, kalian habis ngerjain apa sih ?” kata Dean.     “Ya?” toleh Jihan, barulah dia sadar piringnya kosong juga piring Bunda yang bentar lagi menyusul ludes isinya.     “Bunda, masih laper nggak ? Jihan pesenin lagi nih, Bunda pelan-pelan ya makannya, nanti keselek.” Bunda tersenyum kecil dan menggeleng pelan, sudah cukup dengan roti pemberian Dean. Bunda mengucapkan terima kasih ke Dean. Cowok itu membalas dengan senyuman ramah.     “Coba lo ngomong, apa yang sudah terjadi, apa kalian diusir dari rumah?” tanya Dean hati-hati.     “Enggak sih, kita nggak diusir, kita sendiri yang ingin pergi dari rumah, ayahku datang dan hendak mengambil haknya atas rumah itu, ” kata Jihan dengan datar, tidak terlihat sedikitpun gurat kesedihan, bahkan dia berbicara sambil menguyah rotinya, Dean hanya bisa tertegun melihatnya.     “Dean, gue ingin meminta bantuan lo, tapi gue benar-benar sungkan” tambah Jihan     “Ngomong aja nggak papa, Han.”     “Apa lo tahu dimana gue bisa nemuin kontrakan atau apartemen murah dekat sini? Gue harus lekas pindahan sebelum lusa dan tidak mungkin juga aku, Bunda dan Budhe tidur di luar, lo mau nggak anterin gue sama Bunda nyariin kalau dah nemu langsung kita mau pindah saat itu juga,” terang Jihan.     “Oalah ternyata hanya itu, tentu saja gue pasti bantuin lo, lo sudah ngasih tahu Bagas tentang ini?” tanya Dean, roman muka Jihan lalu berubah dan dia menggeleng pelan     “Malam ini dia mengantar Ikbal dna yang lainnya buat main, gue nggak pengen bebanin Bagas, lagipula gue nggak pernah membicarakan masalah keluarga dengannya.” Tiba-tiba Jihan terlihat sedih, selama dia pacaran dengan Bagas, dia tidak pernah bercerita tentang masalah hidupnya, karena Bagas tidak pernah bertanya atau mencoba mencari tahu, sedangkan Jihan tahu semua tentang keluarga Bagas. Bunda yang mendengar itu hanya bisa menunduk diam, selama ini dia juga tidak pernah melihat Bagas main kerumah, hanya sekali saja malam itu Bunda marahin dan juga suruh nunggu di teras.     “Sudahlah nggak usah lo lagi, gue saranin malam ini kalian tidur saja di rumah gue, kalian bisa mencari tempat tinggal baru besok, kalian sudah terlihat lelah, jangan sampai kalian sakit karena ini” kata Dean menenangkan Jihan.     “Jangan, udah ngerepotin banget itu, lagian kita masih bisa tidur malam ini dirumah,” tolak Jihan     “Udara sudah semakin dingin, pasti sebentar lagi hujan mau turun, apa kalian mau membeku di luar?”     “Tapi….” Jihan lalu memandang ibunya penuh iba, hari ini pasti Bunda agak berat pulang dengan kondisi psikis beliau yang harus berpisah dari rumah itu secepatnya, dan sepertinya Bunda tidak keberatan     “Baiklah, De, tapi hanya sementara saja, Bunda mau kan?” toleh Jihan pada Bundanya     “Budhe gimana?”     “Budhe juga kita jemput, tante. Tapi Dean ijin telpon orang rumah dulu ya?” Mereka berdua mengiyakan dan tak lama berselang, Dean mendatangi dengan wajah sumringah.     “Gimana? Boleh nggak sama mamah kamu?” tanya Bunda.     “Boleh dong, tante. Mamah malah seneng ada temen di rumah. Ayuk kita jemput budhe dan bawa beberapa yang bisa dibawa,” ajak Dean lalu mereka bertiga meinggalkan taman kota untuk pulang ke rumah menjemput Budhe dan membawa baju yang bisa dibawa terlebih dahulu. Budhe dan Bunda naik mobil Dean sedang Jihan mengiringi dari belakang menuju rumah Dean.                                                             **     “Tadada!!!!!!” teriak Dean ketika membuka pintu rumahnya, terlihat ibu Dean sudah menyambut di ruang tamu dengan wajah yang sangat sumringah. Merasa senang bisa membantu sahabat lamanya.     “Wah, akhirnya datang juga mbak, ayo masuk-masuk,” ajak ibu Dean. Bunda mendorong kursi roda Budhe untuk masuk diikuti oleh Jihan. Setelah bisa duduk, Bunda lalu mengucapkan banyak terima kasih ke orang tua Dean     “Makasih banyak ya, Dik. Nggak nyangka mau banget bantuin dengan kondisi yang serba mendadak.”     “Suamimu itu loh, dari dulu nggak berubah,” kesal ibunya Dean. Bunda hanya tersenyum getir.     “Sudah tidak apa-apa, sementara tinggal saja disini dulu, masalah mencari tempat tinggal tidak usah tergesa-gesa” ujar Dean sambil menatap lembut pada Jihan, Ibunya Dean dan Bunda langsung saling berpandangan, seperti merasakan adanya sesuatu yang terjadi antara Dean dan Jihan     “Ehem, mbak kamu sama mbak Mary tidurnya di lantai bawah aja ya, kasihan naik pake kursi roda. Ada kamar tamu kok di depan” Muti langsung menarik lengan Bunda dan membantunya membawa tas Bunda juga. Tak lupa mengajak Budhe untuk segera dibawa ke kamar.     “Gue tunjukin kamar lo ya.” Dean lalu mengangkat koper Jihan dan menunjukkan kamarnya, dengan ragu-ragu Jihan mengikuti Dean, begitu memasuki kamar yang ternyata bersebelahan dengan kamar Dean, Jihan terpesona sekali lagi, kamarnya didominasi warna beige, kamar yang begitu identik dengan laki-laki, ada foto lukisan abstrak berukuran sangat besar, terpampang di dinding di atas tempat tidur, begitu melihatnya Jihan langsung berusaha menahan tawanya.     “Lo nertawain apa?” tanya Dean     “Kok ada gambar seperti gambar lo kebalik gini?” tanya Jihan sembari melirik ke arah lukisan.     “Itu lukisan!” malu Dean     “Kok muka lo merah gini?” goda Jihan, Dean hanya bisa mendelik marah pada Jihan lalu dengan segera dia keluar dari kamar     “Anggap aja kayak kamar lo sendiri!” teriak Dean dari luar, Jihan hanya bisa tertawa pelan, diletakkannya tasnya di kursi dekat tempat tidur, Jihan lalu terjun ke spring bed, dan merasakan empuk dan nyamannya kasur itu     “Hahhhhh…lelahnya” keluh Jihan, Jihan terus berbaring dalam diam, pikirannya menerawang terus menatap ke atas, diangkatnya tangannya seperti hendak meraih lampu kamar, lama dipandangnya lampu itu hingga semua terasa buram, dadanya terasa sakit, detak jantungnya bertambah cepat, rasanya begitu nyeri ketika Jihan mulai menangis, hal yang sudah dipendamnya tadi kini keluar, berubah menjadi tangis dan kesedihan, air matanya semakin deras ketika Jihan mengingat keadaan Bunda dan Budhe yang disia-siakan oleh ayahnya yang seperti itu.     “Bunda, aku butuh dipeluk,” tangis Jihan semakin kencang menyadari saat ini Budhe lebih membutuhkan pendampingan Bunda daripada dirinya, dia terus menangis sampai kelelahan, dengan mata bengkak, Jihanpun tertidur tanpa mengganti pakaiannya.     Sementara itu di kamar Dean, cowok itu berusaha menempelkan telinganya ke dinding yang membatasi kamarnya dengan kamar Jihan. Mencoba mencari tahu apakah Jihan sudah tidur. Dean masih ingin mengobrol tentang kejadian hari ini dan juga malam ini. Kondisi Jihan pasti nggak baik-baik aja. Gimana perasaannya yang hancur ngeliat Bagas flirt dengan cewek di depan matanya sedangkan setelah itu ayahnya yang apa ya tadi ingin rumah itu dijual sehingga Jihan dan ibunya harus keluar dari rumah.     Dean ingin menenangkan Jihan, mencoba menyakinkan Jihan bahwa dia bisa membantu Jihan. Dean lalu mondar mandir memikirkan cara bagaimana mengetuk kamar Jihan dan mengajaknya berbicara. Tapi Jihan sudah tidur belum ya? Lagi-lagi Dean mondar mandir dengan frustasi.     “Jihan sudah tidur belum ya?” Dean lalu keluar kamar dan menuju kamar Jihan, diketuknya pelan, tapi tidak ada tanggapan, kemudian dibukanya kenop pintu pelan-pelan dan ternyata tidak dikunci, seperti seorang maling. Dean lalu mengendap-endap kasur dan melihat Jihan sudah tertidur pulas. Dean duduk disamping kasur dan mengamati kondisi Jihan. Anak gadis itu memang beda ya kalau tidur. Jihan ngorok dan tidur serampangan. Bahkan Jihan tidak mengganti baju terlebih dahulu dan yang pastinya Jihan belum sikat gigi dan membersihkan muka.     “ah gadis ini, apa lo saking capeknya sampai tidur aja kayak lagi renang gaya punggung, bisa bisanya lo ngorok di kamar orang lain?” tanya Dean pada Jihan yang sedang tertidur pulas, karena ingin Jihan terasa nyaman dalam tidurnya, Dean berinisiatif untuk mulai mencopot kaos kaki Jihan dan jaketnya, Dean melakukan dengan kecepatan yang sangat pelan agar tidak membangunkan Jihan, Dean berhasil mencopot kaos kaki Jihan tapi ketika Dean hendak mencopot jaketnya, Jihan bergerak kemudian ngorok lagi dengan lebih kencang, Dean langsung hendak tertawa tapi kemudian dia tahan, setelah memastikan Jihan tidak bangun. Dean mendekat lagi untuk mencopot jaketnya, ketika itulah Dean tersadar Jihan habis menangis, bantal terlihat masih basah, serta hidungnya merah, ingusnyapun terlihat, matanya meski tertutup terlihat sangat membengkak. Dean mendesah pelan. Tebakannya jitu, Jihan masih sangat tersakiti akan peristiwa hari ini.     “Lain kali, coba deh lo ngomong ke gue, gue kan mau banget bantuin lo meski ngorok lo kenceng juga ya? Lo capek banget ya hari ini?” tanya Dean pada si putri tidur. Setelah itu dia mencopot jaket Jihan dan mulai menyelimutinya, dibelainya pelan rambut Jihan, dan Dean sadari, wajah polos Jihan membuatnya memajukan wajahnya mendekat kemudian Dean mencium kening, pipi dan bibir Jihan sekilas. Dean langsung keluar dari kamar.     “Wah, untung aja enggak bau mulut, lupa gue dia pasti nggak sikat gigi,” sungut Dean.                                                                     **     Pagi-pagi sekali Jihan terbangun, dengan masih mengantuk dipandanginya sekeliling, semua terasa asing, hingga Jihan ingat dia sekarang ada di rumah Dean.     “Gue mau cuci muka, ah. Semalem lupa,” Jihan lalu keluar dari kamar dan mencari letak kamar mandi hingga ia menemukannya di dekat dapur, begitu selesai mencuci mukanya, Jihan lalu mengerjakan pekerjaan rumah sebagai tanda terima kasihnya telah diijinkan tinggal     Di kamarnya Dean terbangun karena mencium bau sedap, begitu juga Bunda dan Budhe langsung terbangun     “Ini masakan bibi baunya sampai ke kamar,” kata Bunda langsung bangun dan mencari sumber bau tadi, Bunda sudah menebak pasti anaknya membantu bibi memasak di dapur. Sedang Dean juga penasaran dan ikut melihat ke dapur, mereka beruda akhirnya berdiri di dekat dapur dan memperlihatkan gaya mereka ketika baru bangun tidur, ada yang masih menguap lebar yaitu Bunda dan ada yang sedang menggaruk-garuk perutnya hingga tanpa sadar Jihan menyaksikan itu hingga dia tertawa.     “Ternyata kalian semua punya kebiasaan lucu ketika bangun” kata Jihan sambil menata piring di meja makan.     “Ayuk makan bareng, Dean gue nanti boleh nebeng lo ke kampus nggak?”     “Boleh-boleh, gue mandi dulu ya kalau gitu,” ujar Dean lalu segera kabur ke kamarnya.     “Dean!” teriak Jihan menghentikan langkah Dean.     “Apa?”     “Makasih.”     Ucapan singkat dan bermakna yang membuat Jihan dan Dean sama sama tersenyum.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN