Jihan bergegas masuk ke kelas dan mendapati kedua temannya sudah berada di kelas. Sbeentar lagi mata kuliah akan dimulai kegiatan tatap mukanya. Jihan tersenyum kecil, hatinya sebenarnya berat memikirkan kondisi Bunda dan Budhe yang dia tinggalkan tapi Bunda dan Budhenya tinggal dimana sekarang setidaknya memberikan hal yang membuatnya tidak terlalu khawatir lagi. Tadi Dean juga sudah mengantarnya sampai di depan. Beruntung tidak ada yang melihat. Jihan tidak ingin teman-temannya tahu kondisinya sekarang.
“Han, lo kenapa kayak kusut gitu mukanya? Lagi ada masalah kah?” tanya Kanaya melihat raut wajah Jihan yang berbeda dari biasanya. Jihan lebih banyak diam. Tissa ikutan menyimak dan menatap mata Jihan yang seperti tidak fokus akan sesuatu.
“Nggak papa kok, gue lagi ada problem pribadi aja,” kilah Jihan.
“Ya makanya lo cerita sama kita, Han. Jangan dipendem sendiri. Kenapa? Ada masalah sama Budhe? Budhe marah-marah sama lo sampai lo pengen banting TV?”
Jihan menggeleng ke Tissa. Nggak mungkin dia menceritakan bahwa dia terusir dari rumah ayahnya. Ayahnya datang dan ingin menguasai rumah yang seharusnya menjadi kado pernikahan orang tua mereka. Bunda terlihat masih kaget tadi. Saat diajak bicara juga banyak yang nggak nyambung obrolannya padahal mereka sedang membicarakan terkait kondisi politik di Indonesia dan Bunda nyambung ke harga tanah yang melambung tinggi. Jihan paham kondisi ibunya beneran lagi nggak baik. Jihan harus bisa menguatkan ibunya tapi terlebih dahulu dia harus bisa menguatkan dirinya sendiri. Jihan nggak boleh kalah sama keadaan dan juga perasaan yang berkecamuk di dadanya. Jihan harus terlihat kuat.
Jihan tersenyum lebar dan memberikan tanda ke teman-temannya bahwa dia baik-baik saja. Kanaya hendak mendekat tapi kemudian professor mereka datang. Kegiatan perkuliahanpun dimulai. Saat dosen menerangkan Jihan bahkan tidak mampu mengambil ilmu apa yang sedang dipelajari oleh dosennya. Benar-benar Jihan terganggu dengan kejadian kemarin. Bahkan terkait Bagas mulai menganggu alam bawah sadar Jihan. Jihan benar-benar kepo dengan hubungan Tissa dan Bagas. Tapi bukannya Tissa sendiri bilang kalau Bagas itu juga cowok nggak bener ya? Tissa aja khawatir tentang dirinya masak Tissa nggak bisa jaga dirinya sendiri sih?
Lamunan Jihan terus berlanjut dan membuat Jihan semakin tidak fokus. Tidak menyadari bahwa dosen sudah menutup kegiatan perkuliahan. Jihan masih bengong dengan kertas di depannya serta bolpoin yang digerak-gerakkan. Sepertinya Jihan harus memainkan suatu drama agar dia bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Sudah saatnya menyetel wajahnya menjadi Jihan yang biasanya orang kenal.
“Hanm eh lo mau kemana?” teriak Tissa dan Kanaya berbarengan ketika melihat Jihan mengemasi buku-bukunya padahal sedari tadi Tissa dan Kanaya menunggu Jihan selesai dengan lamunannya. Melihat Jihan yang langsung kabur mereka berdua hanya bisa mengedikkan bahu. Benar-benar tidak tahu kenapa dengan Jihan.
**
Tissa mulai merapikan peralatan melukisnya, karena udara di luar semakin panas, Tissa akhirnya memutuskan untuk melanjutkan melukis di dalam ruangan kelas melukis, di dalam sana lebih hangat dan setelah bertemu dengan Jihan tadi, pikiran Tissa masih bergerilya mencari jawaban tentang sikap aneh Jihan.
“Tissa, sampai dimana lukisan lo?” tanya Suhay, anak seni rupa yang juga akan ikut dalam pameran lukisan mendatang.
“Ah, gue belum melukis apa-apa, gue belum bisa fokus, padahal tinggal 3 hari lagi,” keluh Tissa
“Tenang saja, jika lo sudah bisa fokus, maka dalam sehari saja…tadaaaa…lukisan lo akan berhasil” canda Suhay, Tissa lalu tertawa menanggapinya, setelah itu ia pun sibuk menggoreskan kuasnya di kanvas, dan mulai berimajinasi tentang karyanya nanti, Suhay lalu berpamitan padanya karena dia hendak pulang, ketika sedang asyik melukis, ada seseorang yang menutup mata Tissa dengan kedua tangannya dan membuat Tissa kaget, Tissa hafal dengan aroma aftershave ini.
“Bagas,”tebak Tissa lalu seketika pegangan itu terlepas.
“Bagaimana lo bisa tahu itu gue.” Bagaspun terlihat pura-pura marah, Tissa lalu tertawa dan menepuk tangan Bagas
“Bagas, tentu saja gue tahu, bau lo itu,” tunjuk Tissa pada hidungnya, “sungguh sangat menyengat hidung gue,” candanya.
“Beneran? berarti lo sudah terpesona dengan bau gue dong,” goda Bagas, Tissa langsung memerah mukanya.
“Ih, lo ngomong apa sih, Gas?”kesal Tissa, Bagas lalu mengelus rambut Tissa hingga rambutnya berantakan, Tissa bertambah kesal.
“Bagas, jangan menganggu gue. Gue sedang fokus menyelesaikan lukisan ini.”
“Lo mau gue bantu nggak?” tanya Bagas sambil mendekatkan mukanya ke muka Tissa, Tissa terkaget dan hanya bisa membuka mulutnya tanpa berkata apa-apa, setelah berhasil mengerjap-ngerjapkan matanya, akhirnya Tissa berhasil mengeluarkan suaranya
“Gue nggak pengen dibantu, ini pertama kalinya gue memamerkan lukisan gue sendiri, tentu saja itu harus hasil karya gue sendiri,” kata Tissa.
“Dasar Tissa,” Bagaspun menanggapi dengan tersenyum
“Kenapa lo ngomongnya gitu? bukankah apa yang gue katakan benar?” bingung Tissa.
“Lo pikir gue akan melukis untuk lukisan lo? Gue hanya menawarkan diri untuk membantu mencari inspirasi, tapi kalau lo mau gue yang melukisnya tentu saja itu tidak akan murah,” goda Bagas, Tissa yang sadar sudah dikerjain Bagas lalu berdiri dan mencoret muka Bagas dengan cat lukisnya
“Hei!!!Lo ingin berperang dengan gue ya?” dengan sekejab saja mereka saling mencoret muka dengan cat lukis Tissa, mereka saling bercanda hingga kadang kejar-kejaran
“Dapat kau!” teriak Bagas ketika dia berhasil menarik Tissa dan mendekatkan ke tubuhnya, seketika jantung Tissa berdegup kencang, ketika Bagas mencoretkan cat di mukanya, Tissa tidak memberontak malah menatap Bagas, mereka lalu berpandangan cukup lama
“Sudah lama sekali ya?” gumam Bagas, degup jantung Tissa semakin bertambah kencang, sampai seakan-akan dia tidak mampu bernafas, ketika Bagas tiba-tiba memeluknya, Tissa merasa dia sedang bermain api, api yang sangat mendebarkan hatinya. Jihan yang tadinya hendak mencari Tissa untuk membicarakan sesuatu padanya hanya bisa melongo. Dia tadinya diberitahu oleh Tissa bahwa gadis itu ada di ruangan seni, tapi bagaimana bisa justru sekarang jihan harus melihat hal yang tidak ingin dia lihat. Sebelum Bagas dan Tissa tahu, Jihan langsung bergegas pergi dari ruangan itu.
**
Sudah jam 10 malam lewat, tapi Jihan masih duduk di ayunan, salah satu mainan yang ada di Taman kanak-kanak, TK ini adalah TK dimana dulu Jihan bersekolah, banyak kenangan di dalamnya hingga Jihan selalu menjadikan tempat itu sandarannya ketika bersedih, karena TK ini adalah saksi ketika dia masih mempunyai ‘keluarga’ utuh yang bahagia, jenis keluarga yang akan dia rindukan sampai saat ini. HPnya terus berbunyi, kadang dari Bundanya, dan kadang dari Dean, tapi Jihan belum berniat sama sekali untuk menerimanya, sampai disadarinya salju turun semakin deras, Jihan lalu pindah di terowongan kecil yang di atasnya digunakan sebagai seluncuran, terowongan itu agak besar karena biasa digunakan anak-anak sembunyi ketika sedang main petak umpet, sama seperti ketika Jihan kecil dulu, dirapatkannya jaketnya dan syalnya juga semakin diketatkan dilehernya agar dia semakin hangat, HPnya sekali lagi berbunyi, tapi bunyi sebuah pesan masuk, Jihan lalu membacanya
from: Bunda Kesayangan Jihan
anak Bunda, aku mengkhawatirkanmu, jangan membuatku mati lebih cepat!
Jihan lalu memutuskan menelepon Bunda
“Anak Bunda…kau dimana?aku mencarimu ditempat kerja katanya kamu sedang tidak dengan Kanaya Tissa, pulanglah, sudah malam” sembur Bunda, Jihan hanya tersenyum
“Kamu ingat Bunda, dulu keluarga kita sangat bahagia, mungkin waktu itu aku masih sangat kecil, tapi aku merasa aku mempunyai keluarga yang utuh, aku mempunyai kucing, Bunda, dan Ayah yang selalu berada di sampingku, kadang kala, masa lalu memang tidak tergantikan, Bunda ingin bernostalgia bersamaku? Kemarilah, aku ada di tempat dimana aku pertama kali bersekolah,” ujar Jihan lalu menutup telponnya, Jihan lalu mulai bersender di salah satu dinding terowongan, memejamkan matanya sebentar, berharap kebahagiannya akan datang
Jihan merasa ada yang menepuk nepuk pipinya dan suara-suara yang tidak terlalu jelas, dengan mata berat, Jihan berusaha berkonsentrasi untuk mendengarkan suara itu maupun melihat siapa yang menepuk-nepuk pipinya
“Jihan…bangun..” dengan samar-samar Jihan mulai mengenali orang itu
“Dean lo…” kaget Jihan, Dean lalu menarik keluar Jihan dari terowongan itu.
“Apa yang sedang lo lakuin hah?!lo bikin kita semua khawatir!” bentak Dean, Jihan tidak mampu menjawab pertanyaan Dean
“Ayo kita pulang!” marah Dean membuat Jihan terdiam dan cemberut, bahkan Jihan tidak mau mengikuti ketika Dean sudah berjalan duluan, Dean lalu menengok ke arah Jihan, hendak marah lagi tapi niat itu diurungkannya, muka Jihan sudah sangat memelas, Dean juga tidak tahu kenapa tadi dia marah-marah tanpa sebab, rasanya sangat menjengkelkan mendengar Jihan pergi tidak pamit dan tidak memberitahukan dia. Kenapa denganku? pikir Dean. Dean lalu mendekati Jihan dengan perlahan, dengan setengah membungkuk, Dean saling berhadapan dengan Jihan yang sedang menekuk mukanya
“Maaf..gue tidak bermaksud marah-marah dengan lo, gue hanya….ah sudahlah, ayo kita pulang..” bujuk Dean lalu memegang tangan Jihan dan setengah menariknya agar Jihan mau jalan, tapi ternyata Jihan masih terkesan enggan pergi
“Lo tahu…di dekat sini tadi gue melihat ada kedai ddubokki kesukaan lo, gue akan traktir lo, ayolah..sebelum hujan semakin deras..” Jihan lalu memandang Dean dengan mata berair
“Dean…” Dean merasa Jihan sebentar lagi tangisnya akan meledak
“Katakan sama gue ada apa?” tenang Dean, walau dalam hatinya dia gelisah, kenapa Jihan selalu membuat hatinya tidak tenang apalagi suasana seperti ini
“Kurasa gue sudah menerima akibatnya, gue selalu berdiri di antara mereka, gue selalu iri melihat kebersamaan mereka, dulu gue selalu menatapnya dari kejauhan, berharap dia akan melihat gue tapi ketika kini gue bersamanya kenapa hanya terasa menyakitkan, melihat mereka yang seharusnya berdua..Dean…lo tahu?ketika melihat mereka berdua saling berpelukan gue seperti terlempar, terjatuh dan gue tidak sanggup bangun,” lirih Jihan menatap Dean di sela-sela air matanya yang turun, suasana menjadi sangat hening, Dean sampai kehilangan kata-katanya, walau dia tidak tahu apa yang terjadi, dia merasa Jihan sudah menderita banyak selama ini, air matanya Jihan turun deras dan dia menangis bahkan tanpa suara, entah kenapa Dean terasa sakit hatinya juga, Dean lalu membelakangi Jihan dan membungkuk di depan Jihan
“Naiklah…”perintah Dean, Jihan hanya sanggup menatap punggung Dean, dengan agak ragu-ragu Jihan akhirnya naik ke punggung Dean, setelah merangkul kedua kaki Jihan, Dean lalu berdiri dan mulai berjalan sambil menggendong Jihan, karena udara yang semakin dingin, punggung Dean yang hangat membuat Jihan memberanikan diri menempelkan kepalanya di punggung Dean, dan benar saja, Jihan merasa sangat tenang dan damai di sana, pelan-pelan Jihan mulai tertidur lagi, dalam tidurnya dia seperti mendengar seseorang berkata akan terus menjaganya mulai saat ini, dan akan berusaha membahagiakannya.
Jihan sayup sayup seperti mendengar ada nyanyian yang membuatnya semakin terlena. Jihan paham bahwa punggung yang sekarang dia pinjam sangat memberikan makna terdalam di hatinya dan Jihan nggak mau ini berlalu