Jihan turun dari ojek online dan menyerahkan helm kembali ke mas ojol. Sedari tadi di pikirannya timbul banyak gejolak karena Bagas dan Dean. Kenapa sih jadinya mikirin mereka berdua? Kenapa nggak bisa fokus mikirin Bagas aja?
Jihan membuka pintu tralis pagar rumahnya dan bergegas masuk. Biasanya agak terlambat datang sembari membawa pesanan budhenya hanya akan membuat dia semakin dimarahin atau lebih parah disindir.
“Bunda! Aku dah bawa kwetiaunya nih!”
Jihan meletakkan bungkusan di meja teras sementara dirinya mencopot sepatu. Bundanya datang dari dalam, membuka pintu depan dan menghampirinya.
“Alhamdulillah, kebetulan banget pas Bunda juga lagi nyiapin makan buat kita. Eh, masih anget juga. Nggak jauh kah belinya?” Bunda memegang kresek bungkusan dan melihat anaknya yang terlihat tidak terlalu bersemangat. Mungkin karena tadi kegiatan di kampus menguras banyak energinya.
“Deket kampus aja kok, Bund. Tempat biasa Jihan makan sama temen-temen.”
Bunda langsung paham siapa temen-temen yang dimaksud oleh Jihan. Teman yang selalu dibawa kerumah oleh Jihan hanyalah Tissa dan Kanaya. Selama ini belum pernah Jihan membawa teman wanita lainnya atau bahkan teman cowok. Sedikit khawatir tentang Jihan karena anak semata wayangnya ini tidak terlalu pintar mencari teman.
Pandangan mata Bunda kemudian beralih ke pagar rumah yang hendak digembok karena kini Jihan sudah pulang. Akhir akhir ini, banyak maling berkeliaran meski area ini sebenarnya area perumahan. Hanya saking luasnya perumahan, dan hanya ada satu pintu keluar utama yang dijaga oleh satpam komplek. Baru juga berjalan beberapa langkah menuju pagar, Bunda merasakan ada kejanggalan
Jihan hendak masuk ketika Bunda berteriak, “Jihan! Motor kamu mana?”
Jihan melongo sepersekian detik, “Astagfirullah, iya Bunda, motor Jihan kemana?”
“Malah nanya Bunda, kan yang bisa bawa motor di rumah cuman kamu. Bukannya tadi kamu ke kampus bawa motor?”
Jihan menepuk jidatnya, bisa bisanya dia lupa kalau tadi bawa motor!
“Iya bener, Bund. Jihan tadi bawa motor. Kok lupa ya? Aduh gara gara ada yang lari-lari di pikiran.”
“Apa itu?”
“Masalah,” ujar Jihan singkat tidak ingin dibombardir banyak pertanyaan oleh Bundanya jika dia bilang ada dua laki-laki yang dari tadi lari lari di pikirannya dan nggak ada niatan untuk berhenti.
“Ada yang jagain di sana nggak? Kampus kamu tutup jam berapa?”
Membayangkan kampusnya yang kini gelap gulita membuat Jihan merinding. Biasanya memang ada beberapa mahasiswa yang lembur di kampus. Tapi maksimal jam 9an malam mereka dah mulai cabut.
“Mumpung masih jam 7 ini. Sama Bunda hayuk ambilnya. Kita naik taksi online,” ajak Bunda terlihat ikutan panik. Jihan yang menyadari lalu berusaha tenang, tidak ingin membiarkan orang tuanya kalut hanya karena perihal motor.
Motor itu merupakan salah satu hasil jerih payah Bundanya dalam berjualan gamis dan mukena. Kadang kala ketika musim orang punya banyak gawe, Bundanya menawarkan jasa Catering. Bunda memang terkenal enak masakannya. Waktu ada lomba 17an di perumahan, ibunya menang juara satu lomba masak tumpeng. Dulu sih Jihan sampai pengen daftarin bundanya ikutan kontes memasak Master Chef, tapi niatannya diurungkan karena Bunda penggemar berat Chef Juna. Bukannya masak nanti malah Bundanya mimisan terus tiap didatengin juri.
“Aku ngambil sendiri bisa kok, Bund. Bunda nggak khawatir ya? Bunda nyiapin makan untuk Budhe dulu aja. Nanti Jihan minta tolong ke temen.”
Bunda memilih diam melihat anaknya mengeluarkan handphone dan memesan ojek online.
“Dah Bunda ke dalam aja. Aku nungguin di luar ya.”
“Yaudah, nanti kabari Bunda terus,” ucap Bunda masih terlihat khawatir.
Sepeninggal Bunda ke dalam rumah, Jihan menunggu duduk di teras. Memikirkan siapa yang bisa membantunya untuk mengambil motor malam-malam. Jihan paling nggak suka kondisi terlalu sunyi. Tissa dan Kanaya kan cewek, bahaya buat mereka. Jihan aja takut, kemungkinan mereka juga takut.
Bagas? Ah laki-laki itu sedang membuat hati Jihan nggak karuan berantakannya. Kadang-kadang membuat Jihan senang dan dengan sekejab mata membuat Jihan galau tak berujung. Dan lagi berduaan dengan Bagas memang terbayangkan akan menyenangkan buat Jihan. Tapi kejadian sore tadi membuatnya tidak sanggup harus berdua saja dengan Bagas.
Ikbal? Bisa-bisa leher Jihan digorok oleh Kanaya. Masak berdua sama Ikbal, bisa bikin fitnah dan jadi skandal di kampus. Jelas dirinya akan ijin dan Kanaya tidak akan keberatan, tapi dirinya yang nggak sanggup minta bantuan pacar orang dalam kondisi gelap gulita.
Dean? Ngajak musuhnya selama ini? Big No! mereka akan terus bertengkar dan bukannya bisa ngambil motor, mereka bakal diambil sama satpam kampus alias diusir. Kening Jihan berkerut memikirkan lagi kejadian hari ini. Bukannya mereka udah gencatan s*****a ya?
Waduh, ini harus gimana…
**
Jihan menatap horror gerbang menuju fakultasnya. Terang sih, tapi hanya di bagian gerbang dan juga bangunan yang terlihat agak jauh ke dalam. Jihan harus jalan kaki sekitar 10 menitan untuk mencapai tempat parkir. Di luar sini, suasananya masih ramai, banyak lalu Lalang kendaraan dan juga warung-warung makan yang buka khusus di sore hari sampai tengah malam nanti.
Jihan menatap layar handphonenya, gelisah harus minta tolong ke siapa. Dibukanya chat group, melihat member yang ada di situ.
“Minta tolong ke Galih? Tapi dia kenal gue kagak ya? Atau ke Sastra? Nanti dia bilang ‘maaf kamu teh, Jihan yang mana’. Duh, kok gue nggak bisa mikirin kemungkinan temen di kelas gue.”
Jihan membuka chat group dirinya dengan Kanaya dan Tissa. Ada 3 nomor yang tidak di save olehnya. Bagaimanapun Jihan harus segera ambil motor dan membawanya pulang sebelum Bundanya khawatir.
Setelah memberanikan diri, Jihan menekan salah satu nomor tersebut dan melakukan panggilan. Hatinya berdebar dengan cepat, takut tidak diangkat atau malah di reject.
“Ya, halo?”
“Haa…Halo,” ujar Jihan dengan terbata.
“Kenapa lo?”
“Anu, mau…minta tolong.”
“Tumben lo minta tolong ke gue?”
“Temenin gue dong, ambil motor ke kampus gue. Tadi gue lupa kalau gue bawa motor. Baliknya naik ojol. Sekarang Bunda gue lagi panik, nih. Mau ya nemenin gue ke dalem ambil motor. Ru-rumah lo nggak jauh kan dari kampus? Eh kalau jauh nggak jadi aja deh.” Tiba-tiba kepanikan melanda pikirannya. Bodohnya dia nggak memikirkan dimana rumah Dean. Kalau rumahnya jauh gimana? Bojong Gede misalnya yang ada di perbatasan Bogor dan Jakarta Selatan.
“Nggak kok, rumah gue deket. Lo ada dimana sekarang?”
“Di depan gerbang kampus gue.”
“Coba lo ke warung angkringan deket situ. Lo nunggu disana. Gue siap-siap otw ke kampus lo.”
“Iya, gue tungguin di situ.”
Panggilanpun terputus. Jihan memasukkan gawainya ke saku kemudian mencari angkringan yang Dean maksud. Menunggu di sana sembari memesan es jeruk dan memakan gorengan tahu. Jihan juga sempat mengambil 2 bungkus nasi kucing.
“Han,” panggil Dean ketika kini mereka saling berhadapan. Dean berjongkok karena Jihan memilih duduk di tikar.
“Eh bentar, gue ngabisin gorengan gue dulu,” ujar Jihan mulai melahap semua gorengan yang tersisa dalam sekali hap hingga mulutnya sangat penuh.
Tangan Dean tiba-tiba mengusap bibirnya.
“Ada yang nempel, yuk!” Dean kemudian berdiri dan mendahului Jihan sedang Jihan mendadak dangdut hatinya. Dirinya langsung tersedak dan dengan cepat meminum es jeruknya sampai habis.
Itu apaan?