Oh

1177 Kata
            “Sini deketan.”             “Sini,” ujar Dean mulai tak sabar karena Jihan malah memilih untuk berjalan di belakanganya terpaut satu meter. Laki-laki itu menarik lengan baju Jihan. Menyuruhnya lebih mendekat.             “Gue dah nemenin lo malah dijauhin kek lagi musuhan,” gerutu Dean.             “Ya emang kita dari dulu musuhan, eh, iya, nggak. Kita lagi gencatan s*****a,” ujar Jihan mulai panik karena Dean tiba-tiba berhenti berjalan dan hendak balik badan.             “Kelakuan ya, lagian ngapain sih gue yang dihubungin?” tanya Dean. Mereka mulai berjalan kembali ke area parkiran. Kampus jam segini memang sudah sangat sepi, paling ada satu dua kendaraan yang lewat karena mereka sedang ada kegiatan di ruang hima-nya.             “Hehe, nggak kepikiran siapa-siapa. Karena kita lagi gencatan s*****a, ya udah gue minta bantuan lo aja.”             “Nggak minta tolong Bagas?”             “Ha? eh, ngapain minta tolong dia?”             “Lo suka ya sama dia?”             “Ma-mana ada. Kejadian tadi siang juga karena kebetulan ketemu, sama-sama kepanasan dan kepikiran mau beli es krim. Nggak ada tendensi apa-apa.”             Jihan mendongak untuk melihat reaksi Dean, tapi dalam keremangan malam, raut wajahnya tidak terbaca. Jihan tidak mau bilang kepada siapapun bahwa dia suka dengan Bagas. Dilihatnya sekali lagi penampilan Dean. Laki-laki yang disebelahnya ini emang berkilau kalau kata Bundanya tiap lihat cowok ganteng. Penampilannya selalu terlihat edgy dan rapi. Kadang kala Jihan sendiri merasa minder jika membandingkan gaya berpakaiannya dia dan dua sahabatnya Tissa dan Kanaya. Mereka berdua selalu tampil up to date menyesuaikan fashion terkini. Sedang dia sendiri cukup puas dengan berpenampilan sederhana. Celana jeans, kaos dan kemeja. Simple.             Kalau geng mereka kumpul, Jihan suka ngerasa ngebanting kualitas visual gengnya. Kalau diibaratkan Jihan itu fashion terrorist-nya. Sama saat berjalan berdua dengan Dean, gadis itu hanya bisa mendesah nggak enakan. Mereka dah kayak Beauty and the Beast, Dean itu Beauty dan Jihan lilin yang bisa ngomong.             “Makasih ya, Dean. Lo mau nolongin gue,” lirih Jihan.             “Ya, nggak masalah. Gue emang suka nolongin orang kok.”             “Kalau tadi misalnya Tissa yang minta tolong, lo juga bakal nolongin?”             “Iyalah, apalagi kondisi kayak gini. Nggak baik cewek sendirian, gelap-gelapan.”             “Oh.”             “Coba bilang sekali lagi?”     Jihan refleks tersentak ketika tiba-tiba wajah Dean sangat dekat dengan wajahnya. Saat itulah titik waktu seakan berhenti. Mereka saling melihat selama beberapa detik hingga akhirnya Dean memposisikan dirinya seperti semula sedang Jihan masih terdiam. Matanya berkedip cepat membuatnya sadar. Jihan sempat memalingkan wajahnya karena tidak bisa menyembunyikan rasa panas di pipi.     “Kok nanggepinnya ‘oh’, singkat, padat, dan menyiksa.”     “Ya maksud gue, ‘oh’ itu ‘oh dia emang suka nolongin orang’ gitu…kok,” jawab Jihan agak awkward.     “Ya harusnya nanggepinnya bukan ‘oh’ tapi ‘wah hebat ya ternyata Dean yang aku benci itu baik kepada semua orang’. Itu misal, hanya contoh.”     Ya ampun, perkara oh doang jadi panjang gini     “Karena kalau lo cuma bilang oh doang itu bikin yang ngedenger ngartiinnya lain.”     Jihan menghentikan langkahnya karena mereka sudah tiba di parkiran. Masih ada beberapa motor terparkir kemungkinan masih ada mahasiswa yang melakukan lembur di kampus.     “Ngartiin lain gimana? Misalnya?”     Dean menatap cewek mungil yang ada di sebelahnya. Perbedaan tinggi badan mereka cukup signifikan. Melihat tinggi badannya 180 cm dan terlihat sangat menjulang di sebelah Jihan, sepertinya gadis itu tingginya 155-an cm.Dengan sedikit menunduk, Dean membisikkan sesuatu ke telinga Jihan.     “Misal ‘oh, aku cemburu loh.’     Rasa tersengat membuat Jihan setengah bergidik. Debar jantungnya semakin cepat dan tidak beritme. Jihan memegang telinga dan mengelusnya pelan. setelah Dean berjalan mendahuluinya. Saat Dean tidak melihatnya, Jihan merasakan sensasi aneh di perutnya.     “Motor lo yang mana? Matic ini kan?” tunjuk Dean ke sebuah motor matic yang letaknya ada di pojokan barat area parkiran.     “He eh,” jawab Jihan singkat maih mencoba mengontrol desiran aneh yang menyerangnya sampai sekarang.     “Mana kuncinya, gue anter lo deh. Mampir ke Hima gue dulu ya, gue pinjem helmnya temen-temen. Biasanya ada yang tidur di sana.”     Seperti tersihir, Jihan menyerahkan kunci kontaknya dan mengangguk pelan ketika Dean menstarter dan menyuruhnya untuk segera membonceng. Mereka mampir ke Hima anak TI, beruntung memang banyak anak Teknik yang sedang menginap hingga Dean bisa meminjam salah satu helm mereka.     “Lo kenapa? Dari tadi diem aja?!” tanya Dean setengah berteriak karena Jihan memilih duduk sampai ujung jok motor.     “Nggak kenapa-kenapa,”     “Ha? Nggak denger gue!”     “Nggak kenapa-kenapa!” teriak Jihan. Padahal sebenarnya ada yang sedang parade drumband di jantungnya. Gemuruhnya belum berhenti bahkan saat Jihan membayangkan Bagas. Mereka sibuk dengan jalan pikiran masing-masing hingga ketika bertemu dengan lampu lalu lintas yang berwarna merah, Dean menengok ke belakang dan melihat jarak duduknya dengan Jihan.     Busyet, ini nampung lima anak tetangga juga muat     “Lo majuan dikit, deh.”     “Nggak mau!”     “Nggak enak tahu, udah dilihat orang gue dikira nyulik anak kecil, gue juga nggak nyaman berasa nggak bawa orang.”     Jihan memilih diam dan memperhatikan kendaraan lain yang ternyata memperhatikan mereka. Jihan menatap ruang kosong di jok dan merengut. Dari tadi Jihan mengatur duduk karena nggak pengen Dean mendengar gemuruh suara di jantungnya. Bahkan dirinya memilih pegangan di jok daripada ke badan Dean.     Belum sempat Jihan bereaksi karena tiba-tiba Dean menoleh lagi ke belakang menatap wajahnya, tangannya sudah ditarik hingga badannya mendekat ke tubuh Dean. Suara bunyi helm beradu pun sempat terdengar. Jihan menegakkan duduknya. Kini mereka duduk sangat dekat.     “Nah gini ini namanya naik motor. Gue kan bawanya orang bukan barang,” ujar Dean setengah menggerutu.     “Apa sih,” kesal Jihan menepuk cepat pundak Dean.     “Sini tangan lo masukin ke saku jaket gue aja. Dingin kan?”     Tanpa melihat ke belakang, Dean meraih tangan Jihan dan memasukkannya ke saku jaketnya. Kemauan hatinya ingin menolak tapi otaknya memerintahkan setiap syarafnya untuk terdiam, menuruti kemauan Dean.     Jihan menunduk malu, baru kali ini dia boncengan dengan cowok. Jangan hitung pas naik ojol ya, beda sensasinya. Yang sekarang, sensasinya membuat Jihan berkeinginan kuat untuk mendekap erat badan Dean. Keringat dinginnya mulai bermunculan. Jihan nggak tahu harus bergerak seperti apa di saku jaket Dean.     “Pegangan.”     Belum sempat Jihan bertanya maksudnya apa, Jihan langsung memeluk pinggang Dean karena Dean langsung tancap gas ketika lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Secara tidak langsung, dadanya bersender ke punggung Dean.     “Han…”     “Hm…”     “Lo kalau ngantuk senderin aja kepala lo di pundak gue.”     “Eh, ganjel dong. Lo bakalan nggak nyaman.”     “Ya, dibikin yang nyamanlah.”     Dan Jihan tahu posisi yang nyaman adalah semakin memeluk Dean dan menyenderkan wajahnya ke pundak Dean. Tapi Jihan masih ragu.     Ini kenapa godaannya Dean kenceng banget. Efek udah malam atau sudah ratusan purnama masih jomlo aja?     Mereka berhenti karena bertemu lampu merah. Tangan Dean dirilekskan dengan mengayunkannya ke samping. Jihan melihat sekilas bagaiman tangan itu kemudian menepuk pelan kakinya. Dean menoleh dan mata mereka saling bertumbukan. Bibir Dean langsung tersungging lebar. Jihan bersumpah, saat itu juga bom hirosima ikut menghancurkan jantungnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN