Stupid Me

1149 Kata
            Ternyata omongan Tissa bener juga.             Dean memandang berbagai macam jenis makanan ringan yang ada di meja teras, bahkan dengan keadaan yang hampir memenuhi permukaan, ibunya Jihan masih saja mengambil makanan dari dalam. Segelas es teh disajikan di antara toples dan piring makanan.             “Eh,” ujar Dean merasa cukup ketika lagi lagi ibunya Jihan menumpuk toples makanan.             “Diambil dek, adek namanya siapa?” tanya Bunda lembut. Bunda menemani Dean sementara Jihan ganti baju.             “Bunda! Jangan bikin Dean nggak nyaman loh!” teriak Jihan dari balik kamarnya yang memang berdekatan dengan ruang depan.             “Oh, namanya Diyan,” tukas Bunda.             “Lebih tepatnya, Dean, tante. D-E-A-N.”             “Dek Dek’an temen sekelasnya Jihan?”             “Bukan, Tante, saya kampusnya di Teknik.”             “Satu Angkatan?”             “Bukan juga, Tante.”             “Trus gimana gitu bisa ketemu? Dari mata turun ke hati?”             Dean menelan ludahnya pelan dengan berbagai pertanyaan dari ibunya Jihan. Ibunya terlihat sangat sumringah melihat ada yang bertandang ke rumah. Benar-benar apa yang dikatakan Jihan tadi nggak bohong sama sekali pas Bagas mau mengantarnya.             “Udah, Bunda. Bunda masuk gih, nanti masuk angin, masuk ya?” pinta Jihan begitu datang dan sedikit membantu ibunya untuk berdiri. Jihan mengedip kedipkan matanya ke Bunda dan meminta segera masuk ke dalam rumah.             “Iya, Bunda masuk. Oh ya, makasih ya Dek Dek’an dah anter Jihan yang emang anaknya itu suka lupa. Pernah juga Bunda ditinggal di pasar, dikira Bunda udah naik motor padahal mah baru juga mau nempelin p****t ke jok. Dah pergi dia.” Jihan bertambah kecepatan mengedipkan matanya ke Bunda agar Bunda lekas masuk ke dalam.             “Iya, sama sama Tante. Habis itu Jihan nyadarnya pas di rumah juga?”             “Lha kok tahu?” Bunda langsung tertawa begitu juga Dean. Jihan menutup telinganya, sampai kapan ibunya bakal memberitahukan aibnya ke Dean.             “Ini anaknya Bunda emang lupaan tapi karena satu-satunya yaudah dimaklumin, makanya nggak sembuh-sembuh penyakit gampang lupanya.” Bunda mengelus rambut Jihan, merapikannya dan tersenyum pada anak semata wayangnya.             “Sayangnya Bunda,” lirih Bunda tapi mampu didengar oleh Dean. Jihan tertegun, suasana berubah menjadi mellow. Bunda akhirnya pamit masuk ke dalam, meninggalkan Jihan dan Dean yang duduk di teras. Mereka berdua terdiam sambil sesekali saling lirik.             Ini kenapa boncengan effect masih kerasa sampai sekarang ya? Tadi momennya indah banget.             “Dimakan, De.”             “Masih kenyang sebenernya,” ujar Dean tapi mengambil toples isi kacang.             “Lo kalau nggak makan apapun, bisa-bisa semua makanan yang di meja bakalan disuruh bawa pulang.”             “Semua? Ibu lo murah hati banget ya, nggak kayak…” Dean sengaja menggantung kalimatnya dan mengunyah kacang goreng sambil melirik sedikit ke Jihan.             “Bilang aja langsung nggak kayak gue, gitu kan?” cemberut Jihan.             “Emang kagak, lo mah sukanya ngerepotin,” tukas Dean mulai mengambil kue nastar di toples yang berbeda.             “Katanya masih kenyang.”             “Katanya suruh nyobain.”             Jihan membiarkan Dean mulai mencicipi satu persatu makanan yang tersedia. Hingga Dean mulai meminum es tehnya. Tanpa Jihan sadari, ketika Dean meneguk minumannya, Jihan melihat bagaimana tonjolan di leher depan Dean bergerak, dirinya merasakan betapa maskulinnya Dean. Hawa di sekitar Jihan terasa sangat panas.             “Lo kenapa? Kepanasan?” tanya Dean melihat wajah Jihan memerah dan gadis itu menggunakan tangannya menjadi kipas.             “Ha? Nggak. Gue biasa aja. Banyak nyamuk.”             Dean mengernyitkan dahinya. Kalau ada nyamuk bukannya di tepok ya?             “By the way makasih banyak ya lo malah sampe nganterin gue pulang ke rumah. Lo nanti naik taksi online aja. Dah malam, jadi lo bisa istirahat kalau naik mobil.”             “Nggak ah, gue mau nyuruh Bagas atau Ikbal jemput gue.”             Begitu nama Bagas disebut, Jihan langsung membulatkan matanya.             “Ikbal aja, Ikbal,” pinta Jihan.             “Lo kenapa? Lo beneran ya ada rasa sama Bagas?”             “Ha?”             Dan ini sudah kesekian kalinya Jihan bermain peran sebagai orang dongo.”             “Ha he ha he. Nggak usah ngeles. Gue bisa lihat lo suka sama Bagas.”             Jihan menggaruk kulit kepalanya meski tidak gatal sama sekali. Diliriknya Dean yang ternyata masih memperhatikan penuh gerak geriknya. Padahal mulut Dean masih sibuk ngemil kastengels.             “Ya ketertarikan, sih.”             “Saran gue, nggak usah. Daripada lo kecewa nantinya.”             Mendengar saran Dean, Jihan sedikit terpancing emosinya dan agak meninggikan suaranya.             “Kenapa? Karena gue nggak pantas buat Bagas? Gue nggak boleh gitu suka sama Bagas? Apa hak lo ngelarang gue?!”             “Lo kok malah nyolot sih dikasih tahu yang bener?”             “Ya lo sok-sok an ngatur-ngatur gue segala nggak boleh suka sama Bagas.”             Dean langsung menghentikan kegiatannya menyemil makanan dan memusatkan perhatiannya ke Jihan yang mulai mengembang kempiskan hidung. Matanya menatap tajam dan bibir jihan dimonyong monyongin sambil ngedumel sendiri.             “Siapa yang ngelarang? Gue bilang nggak usah. Bukan nggak boleh.”             “Ya sama aja! Dasar ulekan cabe! Nggak bisa bedain ‘nggak usah’ sama ‘nggak boleh’!”             “Lo tuh yang dasar cewek ngeyelan! Kalau nggak usah itu ada term and condition-nya, kalau nggak boleh itu udah dilarang!”             Selera Dean untuk menghabiskan makanan yang di meja hilang sudah. Dean mulai merapikan dirinya dan berdiri. “Dahlah, cewek nggak tau terima kasih lo, gue cabut aja deh!”             Seketika Jihan merasakan ada sedikit kepanikan di hatinya. Wajahnya menengadah melihat kekesalan di muka Dean.             “Eh gue kan tadi dah bilang makasih.”             “Iya, habis itu ngajak berantem.”             “Ya, ya, itu salah satu bentuk cara gue bilang terima kasih,” tukas Jihan sedikit ngeles.             “Gue pamit dulu, mana bunda kamu?”             “Deann…” ujar Jihan dengan nada manja dan wajah memelas.             “Apa?”             “Ma-af.”             Dan satu kata yang diucapkan dengan nada manja dan memelas itu sanggup meruntuhkan pertahanan Dean. Dean tertegun agak lama memandang Jihan yang kini menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memang sengaja menghindari tatapan mata Dean.             Dean lalu mengelus-elus rambut Jihan.             “Gue nggak ngelarang lo mau suka sama Bagas atau siapapun itu. Itu hak lo buat suka sama orang. Tapi bisa kan sebelum lo keterusan suka, lo cari tahu segala sesuatu terkait orang yang lo suka?” Jihan menjawab dengan menganggukkan kepalanya pelan. Dean kemudian menunduk dan bertongkat lutut di depan Jihan. Tangannya merapikan anak rambut Jihan. Begitu mereka saling mengunci pandangan, Dean tersenyum dan berkata, “good luck deh suka sama Bagas.”             Entah kenapa kata kata penyemangat Dean justru membuat Jihan salah tingkah. Dean kemudian berdiri dan melongok ke dalam.             “Gue pulang dulu ya, gue pengen pamitan sama Bunda.”             “Dean, makasih sekali lagi ya,” lirih Jihan kemudian masuk ke dalam mencari ibunya.             Sepeninggal Jihan, Dean mendengus kecil. Kata-kata Jihan tadi mulai membentuk sayatan kecil di tubuhnya. Haruskah Dean cerita yang sebenarnya tentang Bagas ke Jihan? Sudahlah biar mereka mengatasi masalah mereka sendiri. Dean tidak mau melibatkan diri dalam pergumulan perasaan mereka.             “Bodoh lo, De,” ujar Dean pada dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN