Ajakan

1379 Kata
            “Semalem katanya lo lupa bawa motor dan balik ke kampus ya?” tanya Tissa dengan nada mengintrogasi Jihan.             Jihan memilih diam dan meneruskan mengerjakan tugas di laptop kesayangannya yang ia punya sejak dirinya memakai seragam putih abu-abu. Mumpung suasana di taman kampus masih sejuk, matahari belum tinggi. Jihan ingin menikmati mengerjakan di taman dengan hawa pagi yang menentramkan.             “Jihan ditanya tuh jawab,” gemas Tissa kemudian merebut laptop Jihan.             “Au ah, udah tahu gue lupaan. Lagian Bunda ngapain sih cerita ke kalian. Bunda mah sukanya nyebar aib gue,” kesal Jihan. Semalam saat Jihan balik ke kampus, Bunda menelepon Tissa dan Kanaya. Menanyakan apa Jihan meminta bantuan mereka untuk menemani ambil motor di kampus. Jihan paham ibunya khawatir, tapi untuk urusan sepele seperti tidak dipercaya oleh orang tua sendiri.             “Karena Bunda tahu lo mayan takut sama gelap. Ya aneh aja lo bisa ambil motor sendiri ke kampus. Gue tadi pagi mastiin ke Bunda. Semalem lo dianter sama cowok putih tinggi, Cuma Bunda lupa namanya, katanya keingetnya manggil dek aja. Lo di anter sama brondong mana?” goda Tissa mengerak gerakkan alisnya naik turun.             Jihan bernapas lega, beruntung Bunda tidak ingat nama Dean atau sekarang pasti Tissa tambah mengintrogasinya.             “Iya, brondong.”             “Anak mana?”             “Auk, nemu di jalan gue. Lagi makan di angkringan depan trus gue tarik aja.”             Tissa memicingkan matanya, “nemu? Lo kan nggak beranian sama orang.”             “Itu namanya jurus kepepet, Sa. Kalau dah kepepet dan panik muncullah yang namanya keberanian untuk memperjuangkan keluarnya motor dari tempat parkir,” ujar Jihan lalu jempol dan jari telunjuknya membentuk huruf o sebagai simbol oke. Perlahan, Tissa mengembalikan laptop Jihan meski masih meragukan jawaban yang dilontarkan oleh Jihan.             “Besok jadi kan ke rumah Kanaya?” tanya Tissa lalu duduk di sebelah Jihan dan mengamati setiap ketikan jari Jihan yang lincah dan cepat. Diantara mereka bertiga, memang hanya Jihan yang bisa memanfaatkan semua jarinya untuk mengetik dengan cepat. Lebih parah Kanaya memang, cukup dua jari atau malah pakai jari orang lain, alias orang lain disuruh ngerjain tugasnya.             “Gue lagi nggak mood ikut party.”             “Bahkan ketika ada acara grill daging, lo tetep nggak mau ikut?”             “Loh, kata siapa gue nggak ikut. Gue ikut dong,” ujar Jihan dengan wajah polosnya. Tissa tertawa. Memancing Jihan sangatlah mudah. Dengan makanan saja cukup apalagi Jihan tergila-gila dengan yang berbau korea. Jadi nge-grill sudah menjadi kesukaannya. Jihan bahkan kadang rela nggak jajan selama dua minggu biar bisa makan grill yang memang harganya di restoran lumayan pricey. Meski demikian Jihan suka dengan lagu koplo. Diibaratkan pikirannya penuh dengan goyangan mellow tapi hatinya sarangheyo.             “Han, lo ngamatin temen-temennya Ikbal nggak?”             “Hm…” Jihan masih berusaha fokus mengerjakan tetapi juga menanggapi cerita temannya.             “Menurut lo ada yang cocok sama gue nggak?”             “Ada, banyak.”             “Ih, lo mah jawabnya ngasal. gue serius nanya juga.”             “Gue kan lagi ngerjain tugas. Gue juga nanggepin. Trus lo minta gue buat ngapain lagi?”             “Gue naksir seseorang, Han.”             “Siapa?” tanya Jihan sambil lalu.             “Masih rahasialah. Gue harus mastiin sesuatu dulu.”             Jihan akhirnya memberikan perhatiannya ke Tissa yang kini tersenyum riang sendirian. Sebelah alisnya naik ke atas dan Jihan kemudian mengubah mode laptopnya ke sleep dan memasukkannya ke tas.               “Nih, gue nggak pegang laptop lagi. Coba sini kasih tahu gue siapa yang dah bikin hati princess Tissa berbunga-bunga.”             Tissa malah tetap tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.             “Gue nggak mau bilang,” ujar Tissa dengan mengolok-olok.             “Ya terserah lo nggak mau bilang, gue nyari tahu sendiri.”             “Nggak mau bilang,” goda Tissa lagi dan tertawa ketika Jihan menimpuknya dengan sepatu yang sempat dilepas Jihan karena jengkel dengan olokan Tissa.             “Jihan bau dih! Dah berapa lama tuh sepatu nggak lo cuci?” Tissa berjengit jijik.             Jihan menjulurkan lidahnya, dengan segera memakai sepatunya. Kemudian berlari kecil meninggalkan Tissa.             “Sejak gue beli belum pernah gue cuci!” teriaknya. Mendengar itu, Tissa tambah berjengit, “JIHAN AWAS LO!”                                                                                  **             Jihan melangkah melewati ruangan demi ruangan untuk bisa mencapai kelasnya di lantai 2. Saat sampai, belum banyak mahasiswa yang datang. Ada yang langsung mengambil tempat duduk di tempat favorit mereka, ada juga yang menunggu di depan kelas. Jihan menyapa mereka singkat. Di kelas ini, dirinya hanya sendirian. Kanaya dan Tissa kebetulan mendapat kelas yang berbeda.             Karena bosan menunggu dosen yang tidak kunjung ada kabarnya, Jihan melangkah keluar kelas dan memandang area bawah yang penuh dengan mahasiswa berjalan menyusuri taman atau malah ada yang sedang bersantai di rerumputan. Saat itulah matanya tanpa sengaja melihat teman-temannya serta gerombolan Ikbal. Jihan tidak tahu sejak kapan tapi semenjak Ikbal pacaran dengan Kanaya, semakin banyak anak Teknik main ke kampusnya.             Jihan hendak berteriak dari atas ketika matanya bertemu pandang dengan Bagas. Laki-laki itu tersenyum padanya membuat Jihan membalasnya juga dengan senyuman malu-malu. Bagas kemudian berbicara tanpa suara, “ada kelas?”             Jihan mengangguk kemudian akhirnya dia berteriak juga. “Tissa! Kanaya!”             “Woy! Ada kelas ya lo?” teriak Tissa             “Iya! Dosennya belum datang!”             “Siapa sih? Bapak yang suka nelat itukah?” teriak Kanaya.             “Iya! Mana kalau ngasih tugas aduh! Aduh! Sakit, Pak,” ujar Jihan memegang telinganya yang dicubit oleh dosennya.             “Kamu nggak tahu saya sudah datang dari tadi? Kamu malah sibuk ghibah sama sahabat kamu. Ayo masuk!”             Jihan melirik ke bawah dan melihat teman-temannya tertawa. Diusapnya telinganya yang memerah dan perlahan masuk ke kelas. Teman temannya yang di kelas juga ikut menertawakan kecerobohannya. Ini juga dosen masuk kelas terlambat jadinya kan Jihan nggak aware pas beliau datang. Untuk kesekian kalinya Jihan menenggelamkan kepalanya di bangku meja, meringis malu.             Tak terasa 90 menit akhirnya terlewati, dengan segera Jihan merapikan buku-bukunya dan bergegas keluar kelas lewat pintu belakang bahkan sebelum dosennya keluar. Mukanya kusut. Gara-gara peristiwa tadi, dosennya memberikan tugas tambahan khusus untuk Jihan terkait kondisi politik di luar negeri. Jihan harus memilih satu negara yang menurutnya sedang memanas kondisi politiknya serta melakukan riset lebih mendalam dengan keterbatasn informasi hanya dari internet saja. Tadinya Jihan hendak melakukan studi banding ke kantor duta besar terdekat, tapi diurungkan niatnya. Negaranya saja sedang memanas politiknya masak Jihan ingin mengiklaskan nyawanya bertanya hal yang sensitive. Oh tentu tidak semudah itu bambang.             “Hei, jalannya cepet banget.” Jihan menengok ke belakang dan mendapati Bagas ngos-ngosan karena mengejarnya. Jihan lalu tersenyum kecil dan merapikan anak rambutnya dengan menyampirkannya di belakang telinga.             “Lo mau kemana? Udah mau pulang?” tanya Bagas setelah berhasil mengatur napasnya.             “Nggak sih, belum. Gue pengen nyari bahan tugas ke perpus.”             “Mau gue temenin?”             “Eh tapi gue lagi nyari bahan terkait politik di luar negeri. Takutnya lo nanti bosen. Karena beda jauh dengan apa yang anak Teknik biasa pegang.”             “Biar nggak sia-sia gue nungguin lo, gue ikut ya? Tapi sebelumnya mau nggak mampir ke kantin dulu. Gue laper.”             Jihan tertegun dengan pernyataan Bagas. Laki-laki ini menunggunya keluar kelas? Seketika Jihan ingin segera memegang mic dan mengucapkan ‘Bismillahirrohmanirohim, dengan izin Allah dan juga restu Mama Papa’ tapi sayangnya dia aja nggak tahu papanya kemana.             “Lo nungguin gue?” tanya Jihan pelan             “Iya, Han. Kenapa? Lo nggak mau gue tungguin?”             Aduh masak gue jujur kalau gue mau banget ditungguin. Tengsin lah.             “Gu-gue sih nggak papa asal nggak ada yang marah.”             Ealah Han, Han. Bukan lo yang harusnya ngomong gitu. Jihan merutuki dirinya. Menggigit bibirnya, menyesali sudah berbicara lancang ke Bagas.             Tapi di luar dugaan Jihan, cowok itu justru tertawa. “Nggak ada yang marah, justru gue yang mau nanya ke lo. Lo gue tungguin, ada yang marah nggak? Atau sekarang kita mau makan di kantin hanya berdua ada yang marah nggak?”             Ada, Gas. Yang marah dompet gue, karena gue kebanyakan jajan.             “Aman, paling tugas gue aja yang ngambek karena sekarang gue mau ngisi perut dulu hehehe.”             “Nanti gue bantuin rayu tugas lo biar nggak ngambek. Seneng deh dengernya lo masih sendiri. Jadi gue punya kesempatan.”             Kali ini Jihan tidak bisa lagi berpura-pura tidak paham dengan maksud Bagas.             “Maksud lo?” tanya Jihan langsung memastikan.             Bagas membisikkan sesuatu ke telinga Jihan. “Han, lo mau nggak nge-date entar malem sama gue?”                         
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN