Satu baju terlempar.
Dua baju terlempar.
Hanger juga bertebaran.
Bunda yang mendengar nyanyian Jihan dan bermaksud memanggil anaknya untuk membantunya menyiapkan bahan untuk memasak besok hanya bisa mengerutkan kening. Memandang Jihan yang asyik berpose di depan cermin kemudian melihat tumpukan baju di kasur yang sengaja dibuang oleh Jihan setelah dicoba di depan cermin.
“Eh, Bunda. Bagus mana Bund? Yang ini apa yang ini?” Jihan menyodorkan baju sabrina lengan panjang dengan warna pastel juga kemeja warna salem dengan print kata kata berbahasa inggris di permukaannya.
“Kamu mau kemana?”
“Mau nge-date! Akhirnya Jihan bisa nge-date juga, bund! Anakmu ini laku!”
“Hush! Laku gimana? Bunda nggak ngejual kamu ya.”
“Ah, Bunda. Yang mana? Cepetan pilih!”
Bunda mengamati seksama kedua baju tersebut sambil sesekali melirik anaknya yang sangat sumringah. Mendengar anaknya mau berkencan saja langsung timbul rasa tidak rela.
“Sama siapa? Sama yang kemarin datang ke rumah?” tanya Bunda sambil memegang kedua bajunya, mengulur waktu untuk memberikan jawabannya.
“Bukan, Bunda. Kalau sama De … eh sama orang kemarin mah Jihan nggak akur sebenernya. Kita sering berantem.” Jihan mengerem untuk menyebutkan nama Dean. Jangan sampai ibunya menelepon Tissa dan Kanaya dan akhirnya ingat nama Dean. Terhadap Bagas juga demikian, Jihan nggak akan bilang dengan siapa.
“Nama?”
“Masih dirahasiakan.”
“Alasan?”
“Nanti Bunda bocor ke Tissa dan Kanaya. Nanti Jihan dicengin sama mereka. Apalagi ini kencan pertama Jihan sejak temenan sama duo cantik.”
“Oke, yang ini,” ujar Bunda memberikan keputusan dengan menunjuk ke kemeja.
“Hm, alasannya?” tanya Jihan karena dirinya tiba-tiba ragu Bunda malah memilih ke kemeja bukan ke baju sabrina yang girly dan hendak dipilih oleh Jihan tadinya.
“Rahasia,” tukas Bunda meniru Jihan.
“Kok gitu sih, Bund?” gerutu Jihan tambah bingung lagi memilih baju.
“Suka-suka, Bunda.”
Jihan lalu melempar kedua baju tersebut ke kasur menyusul teman-temannya yang lain. Jihan kemudian duduk di tepian dan mulai cemberut.
“Nggak boleh ya, Bunda? Kalau nggak boleh bilang aja, nanti Jihan batalin.”
Bundapun mendekat. “Bukan nggak boleh sayangnya Bunda. Bunda kan pengen tau kamu pergi sama siapa. Pergi kemana. Anak Bunda cuman satu, kalau nggak diirit irit bisa cepet banget habis.”
“Jihan bukan bensin atuhh,”
“Emang bukan, tapi anaknya Bunda ini juga bukan barang dagangan, yang kalau ada yang lirik dikit itu laku. Bunda pengen jaga kamu sebelum kamu beneran dijaga sama orang yang kelak jadi suami kamu. Biarin Bunda ngelakuin tugas sebagai seorang ibu, ya?”
Jihan terpekur dan langsung memeluk ibunya. “Iya, deh. Maafin, Jihan. Jihan mau cerita tapi Bunda jangan cerita ke Kanaya dan Tissa ya. Jihan janji jaga diri. Bunda kan tahu gimana pickynya diri ini temenan dan deket sama orang.”
Bunda melepas pelukan Jihan. “Piki? Piki siapanya Pak RT?”
Jihan tertawa. “anak buahnya Pak RT. Itu, Bund. Artinya pemilih, dari bahasa inggris.”
Dan cubitanpun mendarat di paha Jihan.
“Mana ngerti Bunda bahasa inggris. Nggak bisa bahasa inggris. Ngertinya Bunda cuma yes no thankyou aja udah.”
Jihan mengaduh kesakitan, alis matanya langsung dimainin naik turun sambil memandang ibunya.
“Jadi boleh nggak nih Jihan pergi?”
“Boleh, asal cerita sama Bunda dulu kamu pergi sama siapa, pergi kemana. Biar kalau ada apa-apa -meski harapan Bunda nggak ada apa-apa- Bunda bisa lekas datang ke kamu.”
Jihan ragu dan menyodorkan jari kelingkingnya.
“Janji dulu sama Jihan, Bunda nggak akan cerita cerita.”
Bunda menyambut dengan tautan di jari kelingkingnya juga. “Bunda janji kalau Jihan jujur semua ke Bunda.”
“Jadi, cowok ini namanya Bagas, Bund. Eh yang pas kemarin itu namanya Dean. Ini juga jangan dikasih tahu ke Tissa dan Kanaya ya, Bund. Cowok dua ini nih satu sirkel. Bunda pernah aku ceritain kan kalau Kanaya tuh pacaran sama anak Teknik namanya Ikbal. Nah Bagas sama Dean itu temen deketnya Ikbal.”
“Trus Bagas dan Dean suka sama kamu?”
Jihan langsung menggeleng cepat dan menolak pertanyaan berbau pernyataan dari ibunya.
“Enggaklah. Sejak ketemu sama Dean, Jihan kerjaannya berantem mulu. Tau tuh cowok maunya apa. Salah aja Jihan di matanya dia. Kalau Bagas, hm…” Jihan menunduk malu sebelum menatap wajah ibunya. “…emang Jihan suka sama Bagas sejak pertama kali ketemu, Bund. Rasanya tuh berbunga-bunga tiap ketemu. Akhir-akhir ini mereka sering banget main ke kampus Jihan. Jadi kesempatan Jihan buat semakin dekat dengan Bagas ya semakin besar.”
Bunda masih mendengarkan dengan seksama.
“Bunda tahu nggak? Tadi pas Jihan ada kelas, Bagas nungguin Jihan tau! Kaget Jihan juga, nggak nyangka. Trus dia ngajakin keluar malam ini. Gimana aku nggak semangat? Jelas aku iyainlah. Gitu, Bunda. Gimana? Udah dibolehin pergi belum, Bund?”
“Sebenarnya Bunda masih ragu karena belum pernah ketemu orangnya. Nanti orangnya jemput ke rumah kan?”
Pertanyaan ibunya hanya dibalas dengan cengiran.
“Jihan minta ketemuan langsung di lokasi aja, Bund. Jihan bawa motor jadi Jihan bisa pulangnya nggak malem-malem. Cuman mau makan aja sih. Jadi nggak yang boncengan. Eh dia setau Jihan naik mobing -mobil- sih. Nggak papa ya Bund? Kita janjian di Café deket sini kok.”
Takjub juga Bunda dengan keputusan Jihan. Keputusannya ada plus dan minusnya. “Tapi Bunda butuh ketemu sama orangnya.”
“Kalau nanti selfi aja gimana? Jihan janji selfi sama Bagas deh.”
Bunda menghela napas panjang. Karena sudah berjanji mengijinkan Jihan untuk pergi setelah anaknya berterus terang tentu dirinya harus menepati.
“Baiklah, bajunya tetep pakai yang kemeja aja ya, kamu tinggal pake jeans warna hitam. Bunda ke dapur dulu nyiapin buat pesenan Salad Solo.”
“Makasih Buntelan lemak sayangnya aku, pulang nge-date, Jihan pasti bantuin Bunda.”
Bunda lalu mencium kening Jihan dan bergegas ke dapur.
“Nanti sebelum pergi, jangan lupa pamit ke budhe juga ya.”
**
Saat sampai di parkiran Café, Jihan lalu memanfaatkan waktu dengan menata rambutnya yang sengaja dia bentuk cepol semi berantakan agar terlihat alami. Akhirnya dengan banyak pertimbangan, Jihan jadinya memakai kaos warna putih lengan pendek yang ujung kaosnya dia masukkan ke celana. Di luarnya dilapisi dengan cardigan untuk menghalau hawa dingin di malam ini. Setelah dirasa pas, Jihan kemudian memasuki café dan langsung memesan minuman. Dirinya tidak bisa meminum sesuatu berbau kopi. Jadi dipesanlah hot chocolate yang menjadi salah satu menu andalan Karika Café.
Setelah membayar pesanannya, Jihan memutuskan menunggu Bagas dengan duduk memilih di pojok namun kursinya berdekatan dengan kaca café agar Jihan bisa melihat ke luar. Tak berapa lama Bagas datang, Jihan langsung melambaikan tangannya.
“Sini!”
“Sorry ya, Han. Gue telat ya? Udah lama datengnya?” tanya Bagas saat mereka duduk berhadapan.
Jihan menggeleng. “Gue juga baru aja nyampe kok. Lo pesen aja, di sini sistemnya closed bill.”
“Lo udah?” tanya Bagas lalu terlihat kecewa melihat nota struk pembelian minuman yang terletak di meja. “Kok gitu, nggak mau nungguin gue.”
“Hehe, tapi gue belum pesen makanan kok.”
“Nah gitu, gue pesenin ya? Gue kan yang ajak buat nge-date. Lo mau apa?”
Hanya karena Bagas bilang mereka berdua sedang berkencan mampu menjungkir balikkan jantung Jihan.
“Gu-gue mau rice bowl teriyaki aja.”
“Itu aja? Yakin dah kenyang? Sekalian makanan ringannya ya?”
Jihan menyetujui dan akhirnya Bagas ke bagian kasir untuk memsan makanan dan minuman. Saat Bagas sibuk di kasir, Jihan melihat Bagas dari belakang, mengamati setiap gerak gerik Bagas. Sama seperti dirinya, Bagas mengenakan kaos berwarna putih dan dilapisi dengan jaket jeans berwarna hitam yang tidak dikancing. Celananyapun sama sama mengenakan jeans berwarna hitam. Saat itulah Jihan merasa mereka sudah ada kecocokan bahkan dalam hal berpakaian.
Sekali lagi Jihan memandang dengan wajah tersenyum. Siapa sangka Bagas akhirnya mengajaknya pergi makan berdua. Padahal belum ada sebulan yang lalu Jihan masih menganggap dirinya laksana punuk merindukan bulan. Mau menjangkau saja sudah susah. Tapi lihatlah dirinya sekarang, sedang ngapain dan dengan siapa. Dream comes true banget!
Jihan melihat Bagas selesai dengan urusannya, senyumnya melebar ketika cowok itu berjalan ke arahnya, namun jalannya terhenti ketika dering di sakunya semakin membesar. Bagas memberikan isyarat ke Jihan kalau dia mau menerima telepon terlebih dahulu ke luar. Jihan mengacungkan jempolnya. Selang 10 menit, akhirnya Bagas kembali berbarengan dengan pesanan mereka yang jadi.
“Maaf ya ada iklan sebentar, urusan rumah. Tapi pas banget ini nggak nunggu lama makanan nyampe.”
“Iya nggak papa, kok. Lo ada urusankah?” tanya Jihan berhati-hati. Bagas menggelengkan kepala dengan cepat. “Cuma bokap gue nanya gue kemana, sama adek gue berisik minta dikerjain tugasnya. Jadi tadi sempet nanya nanya dulu makanya lama.”
“Lega deh dengernya. Kalau lo disuruh pulang, gue okay kok.”
“Mana ada, ada cowok tuh pantang langsung pulang kalau dah keluar rumah. Baru juga nyampe.” Mereka berdua kemudian tertawa kecil. Jihan menyeruput coklat panasnya sambil mencuri pandang ke Bagas yang sedang meminum es Americano. Saat Bagas memergokinya, Jihan langsung mengalihkan pandangan ke minumannya.
“Lo nggak pesen kopi? Enak loh ini Americanonya.”
Jihan menggeleng. “Gue nggak bisa minum kopi.”
“Mag akut?” tebak Bagas.
“100 buat kamu! Iya gue ada radang lambung jadi hati-hati banget perihal makanan dan minuman.”
“Okay, noted. Akan gue ingat terus.”
“Kenapa harus diingat?”
“Ya harus diingat.”
“Ya kenapa?” tanya Jihan mulai tertawa sambil tersenyum malu-malu.
“Karena gue harus dan wajib tahu apa yang nggak disuka sama yang disuka oleh doi,” tunjuk Bagas melalui matanya melihat ke Jihan. Tidak perlu juga Jihan memperjelas dengan menanyakan siapa yang dimaksud oleh Bagas.
“Udah sampai bab mana kok berani ngerayu cewek,” seloroh Jihan.
“Jangan salah, gue kan maba.”
“Iya, mahasiswa bangkotan.”
Mereka berdua lalu ngobrol tentang kehidupan masing-masing. Jihan juga mengajak Bagas selfie sesuai janjinya dengan Bunda. Sesekali Bagas mengeluarkan jokes bapak-bapaknya yang membuat Jihan semakin sering memperlihatkan tawanya. Sempat Jihan melirik ke jam tangannya. Sudah mendekati pukul 9 malam. Jihan ingat harus membantu ibunya.
“Bagas…gue habis ini langsungan ya? Mau bantuin Bunda.”
“Oke, orang tua memang harus nomor satu. Tapi pantesan ya ibu lo buka Catering.”
“Kenapa gitu?”
“Karena anaknya harum seperti masakan.”
“Ih, Bagas. Lo bisa banget, sumpah!”
Mereka berdua lalu tertawa.
“Heran gue, kita berdua selalu nyambung masalah becandaan. Lo juga paham jokes gue.”
“Well, jodoh mungkin.”
Kata-kata yang biasa telontar sebagai kalimat biasa kini terasa berbeda. Jihan langsung menutup mulutnya dengan tangan dan memandang Bagas dengan mata membulat. Jihan hendak klarifikasi tapi Bagas langsung berkata dengan tegas.
“Han, lo mau nggak jadi pacar gue?”