Rahasia yang tidak dikemukakan

1115 Kata
    “Jihan!! Mau sampai kapan di kamar terus!!” teriak Bunda dari dapur.     “Anak muda jam segini masih belum mau bangun. Ini gimana kamu didik anak?” gerutu Budhe dari kamar setengah berteriak juga. Meski demikian tidak ada tanda-tanda pergerakan dari dalam kamar. Bunda melirik jam di dinding, tumben jam 6 pagi Jihan belum juga keluar kamar. Biasanya saat adzan subuh, Jihan bangun dan langsung membantu pekerjaan rumah.     Bunda hendak berteriak tapi diurungkan daripada dirinya harus mendengar gerutuan kakak iparnya. Dirinya memilih untuk meninggalkan sejenak pekerjaan di dapur dan berjalan menuju kamar Jihan. Diketuknya pelan tapi tetap tidak ada jawaban.     “Han…”     “Jihan, bangun, nak.”     Selang beberapa detik tetap tidak ada suara. Bunda bahkan tidak ingat apakah tadi Jihan keluar kamar untuk wudhu atau tidak. Diketuknya sekali lagi pintu kamar sebelum akhirnya Bunda memutar kenop pintu. Keningnya mengerut karena ternyata tidak dikunci karena kebiasaaan Jihan jika tidur pasti kamarnya dikunci.     “Han..?”     Dan pemandangannya di depan membuat Bunda lumayan terkejut. Jihan tidur memeluk guling sambil tersenyum. Bahkan caranya dia memeluk guling seakan-akan tidak mau lepas dari guling tersebut.     “Kamu mau sampai kapan kayak gitu? Budhe udah marah-marah juga. Biasanya kamu sediain obat Budhe dah dari pagi, nggak inget apa?”     Jihan yang tadinya tersenyum langsung membuka mata dan mulai bangun. Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul 6 lewat sepuluh menit. Bergegas, Jihan turun dari tempat tidur dan mulai panik.     “Bentar Bunda, Jihan belum sholat juga! Kirain tuh masih jam 5 gitu.”     “Kamu mikirin apa sih? Bisa bisanya kayak abis kesambet,” ujar Bunda memukul pundak anaknya agak kasar biar Jihan tambah melek. Jihan setengah menghindar hingga bahunya dirinya malah menabrak pintu.     “Aduh! Ampun Bunda, efek semalem nih,” ujar Jihan beralasan tapi setelah itu dia mulai nyengir bahagia.     “Eh tunggu, yang semalem Bunda lihat ganteng juga. Kamu pulang juga on time seperti janji kamu, berarti kalian bisa dipercaya.” Bunda menghentikan langkah Jihan, Jihan membalas dengan acungan jempol dan senyuman yang seakan bilang ‘tuh Jihan juga bilang apa’.     “Tapi baru sekali, Bunda masih belum seratus persen percaya dengan kalian. Inget ya, Han. Boleh deket tapi jangan komitmen dulu. Komitmen itu berat tanggung jawabnya.”     “Lha kan belum mau nikah, Bund.”     “Komitmen bukan perihal mau menikah juga anaknya Bunda. Tapi dengan kamu pacaran itu juga kamu sedang membangun komitmen. Bunda nggak pengen kamu salah langkah!” kali ini nada suara Bunda sambil mulai meninggi. Jihan hanya bisa manyun dan langsung meninggalkan Bundanya karena harus lekas wudhu.     Jangan sampai kamu salah langkah!     Kata-kata Bundanya terus terngiang di kepalanya. Bahkan ketika selesai sholat dan mulai membantu orang tuanya dalam mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat masakan untuk Catering Bundanya.     Bunda nggak percaya sama aku, ih. Mana mungkin Jihan salah langkah. Jihan tahu pasti berhati-hati dengan melihat kondisi Bunda sekarang. Ditinggalkan oleh lelaki yang memilih wanita lain. Kalau Bagas? Dia baik, aku ngggak pernah lihat dia sama cewek saat main ke kampusku.     Karena itulah Jihan mengurungkan niatnya untuk bercerita dengan Bundanya mengenai komitmen yang mulai mereka bangun bersama. Ya, Jihan dan Bagas officially pacaran. Jihan mulai tersenyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Masih dengan sikap waspada, Jihan menata salad di kardus sambil sesekali melirik Bundanya. Semalem memang bakalan menjadi memori yang indah untuk dirinya.     Jihan mulai mengenang kejadian semalam.     “Han, lo mau nggak jadi cewek gue?”     Jihan tambah melotot dan berkedip berkali-kali mendengar kata-kata Bagas.     “Gas, lo lagi nggak khilaf kan?” tanya Jihan berusaha meyakinkan Bagas bahwa yang dia lakukan memang atas kesadaran.     “Nggaklah, lo kira gue lagi kesurupan apa sekarang? Eh iya, gue lagi kesurupan sama lo,” ujar Bagas terkikik.     “Tapi kan, kita baru aja mulai berkenalan lebih dekat. Intensitas kita bertemu juga baru sekarang-sekarang ini. Gimana lo bisa yakin lo lagi tertarik sama gue?”     Bagas tersenyum, “keyakinan kan memang terbentuk, Han. Dan gue udah mulai merasakannya sejak kita awal bertemu. Sampai gue tahu kalau lo emang orangnya lucu, lo juga suka memperhatikan detail yang kadang suka kita lewatin. Dan sejak itu, lo ngisi pikiran dan hati gue, Han.”     Jihan tertegun dengan jawaban Bagas. Sesuatu yang tidak terduga karena keluar untuk nge-date saja sudah hal yang membagongkan apalagi ditembak oleh cowok yang dia suka dari pertama mereka bertemu hingga sekarang rasa suka Jihan nggak luntur oleh waktu.     “Kenapa? Lo nggak mau ya?” tanya Bagas mulai menunjukkan ekspresi sedihnya.     Jihan menggeleng pelan. “Bukan nggak mau, Gas. Lebih tepatnya gue belum siap kita pacaran. Jujur gue juga suka sama lo sejak pertama kita ketemu. Dan tentu aja gue seneng banget perasaan kita ternyata sama. Cuma karena ini serba dadakan, gue belum siap aja untuk menjawab.”     “Lo masih nggak yakin sama gue ya? Mau pendekatan lebih lanjut? Tapi gimana ya? Gue nggak mau kehilangan lo kalau nggak ada status,” tukas Bagas dengan wajah yang semakin muram.     “Hm, gue mau Gas jadi cewek lo. Tapi mungkin kita nggak usah share berita baik ini untuk yang lain?”     Bagas langsung terlihat cerah wajahnya. Akhirnya Jihan mengutarakan apa yang sebenarnya ingin dia katakan juga. Baguslah kalau Jihan sangat peka dengan kondisi mereka.     “Gue setuju. Bukan karena gue nggak mau dipalak sama anak-anak ya, tapi pasti anak-anak bakalan kaget. Biar mereka membiasakan diri dulu dengan seringnya kita bareng.”     Gadis itu mengangguk setuju. Baginya persoalan mereka pacaran jadi hal yang menakutkan bagi Jihan. Di satu sisi dia bisa membuktikan dirinya mampu membuat orang yang dia sukai ternyata menyukainya balik tapi di sisi lain, ini adalah kisah cinta Jihan pertama kali yang diawali dengan pacarana. Saat sekolah dulu, Bunda selalu mewanti-wanti dirinya untuk jangan punya pacar.     “Makasih ya, Gas. Nanti kalau waktunya sudah pas, kita pasti ngomong ke mereka kok.”     Bunda melirik ke Jihan yang sedari tadi menunduk sambil tersenyum, kadang kala pipinya bersemu merah. Sepertinya kencan dengan Bagas membuat perasaan Jihan senang. Melihat itu, Bunda juga tentu saja senang, walau ada kekhawatiran lain, tapi Bunda percaya dengan anaknya.     “Kamu nanti siang jadi makan bareng dengan teman-teman kamu?” tanya Bunda tepat di dekat Jihan. Jihan mengangguk cepat.     “Jadi, Bund. Kalau masalah nge-grill aku mah jagonya.”     “Nanti ambil uang sakunya agak dibanyakin aja. Kemarin habis isi bensin kan? Pokoknya jangan keseringan ngerepotin temen kamu.”     “Iya, Bunda. Karena patungan, beli dagingnya jadi nggak kerasa mahal kok. Nanti kita ada berenam minimal. Setauku Ikbal bakalan ngundang temen-temennya yang lain. Tissa dan dan Kanaya juga.”     “Lha kamu ngundang siapa?”     “Aku mengundang diri ini untuk menikmati daging sapi di bakar dengan kenikmatan haqiqi,” ujar Jihan ngasal. Bundanya tertawa.     “Pokoknya anak Bunda harus pinter bersosialita ya?”     “Sosialisasi BUND…”     Mereka kemudian tertawa bersama.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN