“Tis, ambilin gunting sama penjepit sekalian ya?” Kanaya mulai meletakkan daging, sosis dan bawang Bombay ke atas permukaan wajan yang memang di desain khusus untuk memanggang. Kompornyapun menggunakan kompor portable agar mudah dipindah dan bisa diletakkan ke atas meja makan.
“Sosisnya jangan kebanyakan, gue nggak mau,” protes Jihan.
“Ini selada sama kimcilnya mana?” tanya Dean.
“Kimchi! Lo pikir kita mau pakai side dish berupa paha dan body perempuan?” gerutu Kanaya.
“Namanya apa tadi? Kimchi? Sejak kapan berubahnya?”
“Sejak dulu, Dean! Au ah mending lo siapin sana biar tahu bedanya lembaran sawi putih yang difermentasi dengan lembaran badan yang dimonetisasi,” kesal Jihan.
“Ngapain lo nyuruh nyuruh gue?!”
Jihan mendongak, sejak kedatangannya di rumah Kanaya, nggak tahu Dean seakan memberikan aura kemusuhannya. Apapun yang dilakukan oleh Jihan tak luput dari pengamatan Dean. Jihan ambil tissu -yang sekali ambil langsung tiga- aja Dean langsung pakai nada tinggi ke dirinya. Jihan mendesis kesal, gimana mau nyuri-nyuri waktu buat berduaan kalau gini caranya.
“Apa sih kalian berantem mulu! Gue lempar pakai wajan panas biar kalian akur nih,” ujar Ikbal mulai kesal juga mendengar Dean dan Jihan saling melempar argumentasi kosong.
“Piring! Ah elah, sampai piring aja lupa disiapin, ini dah mau ada yang matang nih,” ujar Kanaya. Bagas berinisiatif mengambilkan piring. Kebetulan posisi meja makan di rumah Kanaya berdekatan dengan dapur sehingga tidak butuh waktu lama untuk mengkondisikan permintaan Kanaya.
“Ayo sini duduk, dah pada mulai mau matang nih dagingnya,” ajak Tissa kemudian mereka semua duduk mengitari meja makan bulat minimalis yang digunakan untuk tempat mereka nge-grill.
Jihan mengambil tempat duduk di sebelah Kanaya, sudut matanya memberikan isyarat ke Bagas agar mereka bisa duduk bersama. Meski semalam mereka sepakat tidak akan memberitahukan terlebih dahulu ke teman-temannya tapi mereka tidak mempersoalkan jika salah satu memperlihatkan perhatian mereka saat berkumpul dengan teman teman. Kesepakatannya kan agar mereka semua terbiasa dengan kebersamaan Bagas dan Jihan. Jadi saat mereka berdua mengumumkan bahwa mereka menjalin kasih, tidak akan membuat teman-temannya kaget atau bahkan menolak, menentang komitmen mereka berdua.
Bagas menangkap kode dari Jihan dan ingin mendekat tapi Dean sudah langsung duduk di dekat Jihan dan diikuti oleh Tissa, Ikbal juga duduk di sebelah Kanaya.
Siyal, gue lengah, gerutu Jihan dalam hati.
Bagas duduk dengan sisa bangku yang ada. Matanya mengisyaratkan permohonan maaf karena tidak bisa duduk dengan Jihan, setidaknya mereka kini duduk berhadapan.
“Nggak ada yang mau nyiapin minum nih? Yang jago bikin minum tuh Jihan. Dah dapat banyak ilmu dari Bunda kan?”
“Ha? Baru juga gue duduk, Kan. Yaudah deh. Kalian mau minum apa? Tadi sempet gue beli kopi sachet sama jeruk nipis. Atau es the aja?”
“Jangan es teh, nggak baik minum es teh habis makan,” timpal Dean sambil mulai mengambil daging dengan sumpit. Kali ini Jihan tidak membalas maupun mengajak ribut, karena apa yang dikatakan Dean itu juga sama yang selalu Bunda katakan.
“Yaudah gue bikin es kopi tiga, es jeruk tiga ya?”
“Oke, sounds good,” ujar Tissa.
Jihan beranjak dari kursinya dan menuju dapur. Saat mengambil gelas dan perlengkapan lainnya, Bagas diam-diam mendekat. Tangannya juga ikut menyobek kopi sachet dan menuangkannya ke gelas. Jihan tersenyum.
“Lo ahli banget bikinnya.”
“Iya dong, gue dulu kan mantan tukang kopi keliling.”
Jihan menaikkan alisnya. Dia baru tahu kalau Bagas pernah melakukan hal yang nggak terduga.
“Tapi di komplek gue doang. Berusaha ngikutin mang Jaja, yang biasa jualan kopi di warungnya. Itu gue waktu SMP apa ya? Nggak nyampe seminggu dah gosong badan alhasil dimarahin nyokap. Katanya kayak anak nggak diurus aja sama orang tua, bukannya belajar malah jualan kopi.”
Jihan tertawa kecil sambil menuangkan air panas ke dalam gelas setelah tadi selesai memeras jeruk.
“Masa kecil lo nyenengin ya? Kalau gue penuh dengan peperangan dengan Bunda. Di suruh mandi itu susahnya minta ampun. Kebiasaan itu sampai masih ada. Gue jarang mandi sore kalau nggak kepepet karena udah keluar keringat banyak.”
“Oh ya? Tapi tetep wangi kok,” tukas Bagas matanya menggoda membuat Jihan tersenyum terus-terusan.
“Oi! Air putih jangan lupa!” teriak Dean.
“Iya! On progress!” balas Jihan kemudian cepat-cepat menuangkan es batu dan menaruh minuman di nampan. Bagas membantu dengan mengambilkan gelas berisi air putih ke teman-temannya.
“Han? Habis ini kita jalan berdua ya?” bisik Bagas di telinga Jihan saat dirinya pura-pura mengambil sesuatu di belakang Jihan. Jihan tertegun. Tadi sebelum berangkat, Jihan berjanji ke Bunda untuk sesegera mungkin pulang. Bunda minta ditemani malam mingguan ke supermarket dekat rumah. Ada beberapa bahan di rumah yang habis. Hari minggu besok ada pesanan makanan baru dari RT sebelah. Anak mereka ada yang menggelar syukuran sunatan.
Belum juga Jihan menjawab, Dean ternyata sudah ada di dekat mereka dan mengambil gelas di nampan yang hendak di bawa Jihan.
“Diskusi apa? Nggak tahu kita udah kehausan?” tanya Dean membuat Jihan dan Bagas gelagapan dan salah tingkah.
“Daging dah mau masuk ronde ke dua!” teriak Ikbal membuyarkan ketegangan di antara mereka bertiga. Dean berbalik arah dan duduk kembali. Jihan dan Bagas mengekor dari belakang.
“Gila lo semua, gue kagak kebagian yang pertama. Ronde du ague yang paling banyak dong,” protes Jihan.
“Ya lo bikin minum lama amat, bikin dimana buk? Afghanistan?” kekeh Tissa.
“Iya, lagi ketemu sama Taliban dulu,” jawab Jihan asal. Jihan menatap ke depannya dan menyadari Bagas sedang mengamatinya. Sesekali Bagas tersenyum kecil. Mereka membicarakan kegiatan di kampus sambil saling membolak balikkan daging yang ada di depan mereka. Jihan melihat dagingnya sudah matang, dan dengan gerakan pelan mengarahkan dagingnya ke permukaan wajan tepat di depan Bagas. Tidak ada yang menyadari tindakan Jihan dan itu membuat Jihan tersenyum sendiri. Bagas mengambil daging dan memakannya langsung sebagai bentuk terima kasihnya ke Jihan.
“Lo dah nyari tau?” bisik Dean ke telinganya dengan suara sangat kecil tapi mampu ditangkap oleh Jihan.
Nyari tahu? Maksud Dean apa?
Dering handphone terdengar, tidak ada yang protes karena dari mereka masing masing juga mengeluarkan suara yang ramai ketika mengambil daging dan ngobrol. Bagas melihat ke layar gawainya. Tanpa ijin ke siapapun, Bagas beranjak berdiri dan meninggalkan Jihan yang terlihat ingin tahu siapa yang telpon Bagas. Well, mereka sudah pacaran jadi wajar kan kenapa Jihan ingin tahu.
Mangkoknya yang tadinya kosong kini terisi daging dan kimchi yang ditaruh oleh Dean.
“Makan yang banyak, lo butuh banyak energi ke depan,” cengir Dean.
Ditinggalkan oleh Bagas dan duduk di sebelah Dean memang ide buruk.