Friends

1106 Kata
    “Ayok kita main game! Yang kalah dibedakin sama dikasih lipstick mukanya!” seru Kanaya memberikan usulan yang langsung diterima oleh semuanya.     Bergegas mereka semua menuju ke ruangan multifungsi yang berada di lantai 2. Ruangan itu langsung berhadapan dengan teras hingga mereka semua bisa melihat pemandangan di luar. Saat melangkah menaiki tangga, Jihan mengamati dari belakang sosok laki-laki yang akhir-akhir ini sangat mengganggunya. Yang satu memang sudah punya status dengannya tapi sejak Bagas pergi menerima telepon, entah ada semacam pertanyaan hinggap di kepala Jihan. Kenapa menerima telepon harus menyingkir seperti itu? Apa terlalu rahasia ya?     Sedang laki laki satunya yang berada di sebelah Bagas, selalu mengusik pikirannya justru dengan keberadaannya. Dean itu tipe cowok seperti apa sih? Kerjaannya saban ketemu ngajakin berantem, nyolot dan bikin emosi Jihan naik. Tapi terkadang cowok itu bisa bersikap manis dan bersahabat. Seperti saat motornya tertinggal di kampus, saat mereka berboncengan, Jihan bahkan bisa berdebar tak karuan meski setelah itu dia biasa saja. Iya kan biasa saja?     Begitu sampai, mereka semua langsung rebahan di atas karpet. Efek kekenyangan memang dasyat. Rasanya ingin tidur. Mata Jihan juga sudah mulai menuju ke 5 watt. Di ruangan itu juga ada TV dan lemari dengan buku bacaan yang disukai oleh Kanaya. Ada Komik dan juga novel tentunya. Jihan meminta ijin ke Kanaya untuk mengambil buku bacaan agar dirinya tidak merasa terlalu mengantuk.     “Main game apa nih? Yang bikin melek. Gila gue ngantuk banget jadinya.” Dean lalu mulai menelungkupkan badan mengambil posisi menguasai karpet.     “Eh, nyingkir dikit sana,” gerutu Ikbal. Dean meliuk liuk seperti ulat keket, berusaha pindah ke pinggiran karpet.     “Kita mainan tebak-tebakan aja!”     “Gimana aturan mainnya?” tanya Tissa. Jihan duduk dekat Tissa dan kini tidak lagi memperdulikan Bagas duduk dimana atau Dean yang tetap memilih duduk dekat dengannya. Komik agen 212 yang dibacanya lebih menarik saat ini.     “Nebak sesuatu dari tulisan. Jadi yang nebak nggak boleh tahu tulisan apa yang ada di belakangnya. Yang di depannya memperagakan apa yang dituliskan tapi nggak boleh ngomong biar yang nebak mengira-ngira sendiri jawabannya. How?”     “Efek banyak nonton Variety Show Korea ya?” tebak Jihan mulai memperhatikan kata-kata Kanaya.     “Betul banget Jihan imut manis menggemaskan kesayangan gue dan Tissa kalau ada yang macam-macam dengannya awas aja.”     “Buset nama panjangnya Jihan bermakna banget.” Dean tertawa kecil. Jihan melirik ternyata Dean ikutan membaca buku komik yang sekarang dia pegang. Matanya sibuk membaca dan saat itulah Jihan baru sadar bulu mata Dean ternyata lentik juga. Cara matanya menyusuri setiap bagan dalam komik membuat napas Jihan terhenti sesaat.     Hei! Apa ini? Kenapa gue jadi ngerasa Dean sangat ganteng? Cowokku di ruangan yang sama padahal. Ini nih efek jeles liat cowok sendiri nerima telpon pakai rahasia-rahasiaan.     Jihan berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini memang hal yang lumrah. Kenyataannya Dean memang ganteng. Kenyataannya laki-laki yang disebelahnya ini memang wangi meski tadi mereka semua mulai berkeringat dan berasap ketika sedang memasak daging.     “Cepetan di balik,” suruh Dean. Jihan membalikkan halaman berikutnya meski dia sendiri belum selesai membaca karena sibuk mengamati Dean.     “Yaudah, dikasih tema biar nggak bleber kemana mana tebakannya. Kita mulai dengan menebak nama-nama binatang.” Beberapa yang sedang fokus ke Kanaya langsung setuju dengan idenya. Kanaya langsung menuju ke kamarnya untuk mengambil spidol dan kertas.     “Han, lo kenapa diem kek habis liat jurig?” tanya Dean setengah berbisik namun matanya tetap sedang membaca komik bersama.     Jihan setengah menoleh kemudian melihat ke depan. Di depannya Bagas dan Ikbal sedang berbincang, sesekali memang Bagas melihat ke arahnya. Sorot matanya tidak terbaca oleh Jihan. Semacam ada perasaan Bagas sedang melihatnya tidak suka.     “Gue nggak kenapa napa,” jawab Jihan sambil lalu mulai mencari keberadaan Tissa. Sepertinya temannya itu menyusul Kanaya dan membantu menuliskan clue permainan mereka nanti.     “Cewek kalau bilang nggak kenapa-napa, biasanya malah kenapa-napa. Jadi gimana perjuangan lo ke Bagas?”     Suara Dean yang pelan membuat Jihan yakin nggak mungkin Ikbal dan Bagas sendiri mendengarkan. Jihan memilih diam dan tidak menjawab pertanyaan Dean. Hari ini moodnya jatuh naik dengan mudahnya dan itu membuatnya ingin segera pulang ke rumah, menenggelamkan dirinya di antara buku buku novel romance dan playlist musiknya.     “Gue curiga lo kesambet jin di rumah Kanaya tiba-tiba diem nggak mau berantem sama gue,” ujar Dean. Belum juga Jihan menjawab, ada yang merebut komiknya hingga membuat mereka berdua menengadah, melihat siapa yang sudah menganggu mereka.     “Asyik banget baca komiknya,” tukas Bagas kemudian duduk di sebelah Jihan. Kini Jihan diapit oleh dua laki-laki yang membuat detak jantung Jihan berdebar kencang. Di depannya Ikbal ikutan mendekat dan menyimak apa yang sedang mereka lakukan.     “Komiknya lucu nih, tentang agen polisi 212. Pas bagian nanganin kasus tetangganya yang ketahuan m***m, asli, gue ngakak tadi,” ujar Dean.     “Kok nggak keliatan ketawanya?” tanya Bagas.     “Ketawa dalam hati nggak boleh ya?” jawab Dean dengan muka di polos-polosin. Ikbal menjitak pundak Dean lalu tertawa.     “Berarti Jihan juga ketawanya dalam hati ya?” tanya Ikbal masih tertawa.     Jihan nyengir dan mengangguk pelan. Setengah menoleh ke Bagas yang sedang menatapnya. Komik sudah diletakkan Bagas di atas meja.     “Hayo kalian ngapain Jihan? Udah kek tumpengan aja Jihan taruh di tengah.” Kanaya memandang curiga. Tumben-tumbenan semua sedang mengerubuti Jihan.     “Kalian nggak aneh-anehin Jihan kan? Please ya dia adek bontot kita yang polos dan belum tercemar.” Tissa lalu ikut duduk menyeruak antara Jihan dan Dean, memaksa Dean untuk menggeser badannya, begitu juga yang dilakukan Kanaya untuk mendapatkan tahtanya di sebelah Jihan.     “Dasar kalian emak-emak overprotective sama anak. Mana berani kita macem-macem sama Jihan. Dahlah ya, palingan kita dimutilasi sama kalian,” gerutu Dean karena kini duduknya tersingkirkan oleh Tissa.     Jihan masih nyengir memperlihatkan giginya, tersenyum rikuh. Sejatinya Jihan memang menyukai bentuk perlindungan yang diberikan oleh kedua temannya. Tapi ada kalanya Jihan seperti anak kecil yang tidak bisa melakukan pertahanan diri. Dan itu membuatnya risih. Ada ketidaknyamanan menyelip di dadanya. Jihan paling nggak suka jika dia tidak dipercaya dan tidak diberikan ruang. Entah untuk menyendiri maupun untuk mengekspresikan dirinya. Tapi memang tanpa Tissa dan Kanaya, Jihan nggak bakalan bisa survive dalam berteman.     Gue udah banyak ditolongin mereka dalam ketidakberdayaan gue     “Ada gue juga kan yang ngelindungin Jihan,” ujar Bagas mampu membuat yang ada disitu melongo dan memusatkan perhatian mereka ke Bagas.     “Kan gue juga dah anggep Jihan adek gue. Ya makanya gue lindungi. Kenapa? Nggak boleh? Kenapa gue nggak boleh dan kalian boleh?” tanya Bagas saat tatapan mata mereka berubah menjadi penuh selidik. Ada juga yang memandang tidak percaya, ada juga yang melongo.     “Karena, Gas. Nggak ada namanya kakak adek an dalam hubungan cowok dan cewek.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN