3. That Body

1304 Kata
    Keluarga Rivaldi dan keluarga Chef Hari serta Anya kini duduk bersama dalam sebuah meja makan panjang. Mereka menikmati makan malam bersama. Semua orang menikmati makan malam mereka bersama dengan keluarga tercinta mereka, namun tidak dengan Anya. Ibunya tidak mampu membeli tiket untuk bisa melihat wisudanya itu. Kondisi keuangan yang sulit penyebabnya. Sejak perceraian antara ayah dan ibunya lima belas tahun silam, hidupnya dan Ibunya mulai mengalami kesulitan finansial.     Mereka berusaha membuka sebuah butik di mall di Surabaya namun karena persaingan yang ketat, membuat butik mereka tidak mampu bertahan. Modal mereka habis dan kini mereka hanya mampu berjualan toko baju kecil di kampung halaman mereka. Beruntunglah Anya mendapat bantuan dari keluarga Becca. Rivaldi memang dididik untuk selalu membantu orang lain dan ia juga tidak segan memberi bantuan untuk keluarga Anya, melalui Becca.     Anya menikmati pembicaraan hangat kedua keluarga itu. Sungguh terasa sangat hangat jika dibandingkan dengan keluarganya yang berantakan. Ia tersentak ketika Rivaldi tiba-tiba menanyainya.     “Kalau kau Anya, apa rencanamu setelah ini?”     “Hah… itu… aku… mungkin akan pulang beberapa hari ke kampung halamanku sebelum masuk ke GD Corp.”     Rivaldi mengangguk-angguk mendengar jawaban Anya.     “Aku mau Anya nanti selalu di sisiku ya, Pa,” rengek Becca seperti anak kecil. Anya langsung menarik lengan Becca karena perkataan Becca itu. Ia sungguh tidak enak hati jika mendapatkan previllage hanya karena ia sahabat Becca.     Rivaldi tertawa mendengar penuturan Becca.     “Itu KKN namanya, Nona! Kita akan lakukan fit and proper test terlebih dahulu. Bahkan untuk posisimu sendiri pun, bukan Papa yang menentukan. Kalian semua akan menjalani prosedur wajib terlebih dahulu.”     Rivaldi kemudian tertawa renyah. Makan malam itu terasa hangat dan akrab. Sesekali Anya mencuri pandang kea rah Rivaldi. Rivaldi pun beberapa kali menangkap tatapan Anya namun ia tidak begitu mempermasalahkan karena dalam makan malam semeja seperti ini, pasti tidak akan terhindarkan untuk saling menatap satu sama lain. Namun bagi Anya, momen itu adalah sesuatu yang berharga. ***     Kini seluruh rombongan itu sudah berada di bandara. Aaron memeluk Becca untuk berpamitan lalu berpamitan pada Rivaldi. Anya terlihat seperti obat nyamuk di sana. Tidak ada keluarga yang menyambutnya dan tidak ada pelukan hangat dari seseorang yang menunggunya.     Rivaldi melihat Anya yang sendirian. Ia mendekati gadis itu.     “Kau pulang dengan siapa, Anya?”     “Oh, itu Pak…eh…Om..”     “Panggil Pak saja. Aku merasa risih dengan sebutan Om.”     “Oh iya, Pak. Aku akan pulang dengan bus kota saja. Langsung ke kampung halaman,” jawab Anya dengan senyum namun jantungnya tak bisa ia kontrol ketika dekat dengan Rivaldi.     Becca menghampiri ayahnya dan Anya.     “Pa, boleh ya jika Anya malam ini ia menginap di rumah kita beberapa hari? Aku masih ingin bercerita banyak hal padanya. Kau mau kan, Anya?” kata Becca yang mulai menunjukkan sisi manjanya dan setengah merajuk pada Rivaldi.     Rivaldi merangkul pundak putrinya lalu mengacak-acak rambutnya. Anya hanya bisa diam, tapi dalam hatinya ia mengangguk dengan cepat.     “Anya?” panggil Becca lagi.     “Hah… oke, mungkin dua malam tidak masalah.”     “Betul. Lagipula kau pasti juga merasa lelah karena perjalanan jauh yang kita tempuh kan? Beristirahatlah sejenak. Besok lusa aku akan meminta sopir mengantarmu ke kampung halamanmu,” kata Rivaldi dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Anya.     Mereka kini sudah sampai di kediaman keluarga Rivaldi dan hari sudah cukup larut ketika mereka tiba. Beberapa orang asisten rumah tangga menyambut mereka di depan pintu.     “Nona Becca!!! Astaga… Non, kok jadi makin kurus sih? Apa di sana tidak ada makanan enak? Sampai Non kurus begini…” kata Bi Iyem, asisten rumah tangga paling senior di kediaman Rivaldi.     “Bibi! Becca kangennn… besok pagi Becca request nasi pecel ya, Bi. Di Belanda tidak ada nasi pecel seenak buatan Bibi. Kalau kau Anya, kau mau makan apa untuk sarapanmu?”     Anya tersenyum.     “Terserah Bibi saja. Yang aku tahu semua masakan Bibi TOP BGT!” kata Anya sambil mengeluarkan jempolnya.     Rivaldi tersenyum mendengar celotehan dua anak gadis itu. Sepertinya hari-hari kesepiannya selama empat tahun ini akan segera berakhir. Kedatangan Becca membuat hari-harinya sedikit lebih berwarna.     “Sudah rapat tentang sarapannya. Sekarang kalian harus beristirahat. Bi Iyem, tolong antarkan Anya ke kamar tamu ya,” ujar Rivaldi.     “Baik, Pak. Mari Non Anya, saya antar.”     Anya mengikuti Bi Iyem dari belakang. Ia diantarkan ke kamar tamu yang begitu nyaman. Kasur yang begitu empuk menyapanya dari balik pintu. Wallpaper berwarna hijau muda dengan aksesn bunga-bunga putih membuat kamar itu terasa begitu sejuk. Setelah meletakkan kopernya, ia membanting dirinya di atas ranjang. Ia merentangkan kedua tangan dan kakinya lalu menggerak-gerakkannya di atas kasur yang lebar itu.     Tiba-tiba pintunya terbuka. Anya berjingkat kaget saat melihat Becca yang sudah berganti pakaian menjadi piyama tidur menyelinap masuk.     “Becca, kau harusnya tidur di kamarmu,” omel Anya.     “Tidak. Aku mau tidur di sini saja.”     Becca langsung berbaring di atas ranjang Anya lalu menarik selimut dan menutup matanya. Terkadang Becca memang seperti anak kecil dan Anya terlihat seperti pengasuhnya. Ia menggelengkan kepalanya melihat tingkah Becca lalu membaringkan diri di atas kasur itu hingga menjemput mimpi. ***     Ketika subuh Anya terbangun. Tenggorokannya terasa kering dan ia bermaksud mencari segelas air mineral. Ia keluar dari kamarnya dengan sedikit mengendap-endap, takut membangunkan Becca.     Ia keluar perlahan dan berjalan menuju ke arah dapur. Ia cukup mengenal rumah Becca mengingat sejak kecil ia sering bermain bersama dengan Becca di rumah itu. Dapur kediaman Rivaldi berada di antara ruang keluarga dan gym mini serta berhadapan langsung dengan kolam renang.     Suasana pagi itu masih sangat sepi. Tidak ada hiruk pikuk asisten rumah tangga dan lampu ruangan masih Sebagian besar dipadamkan. Maklum ini baru pukul 04.30 dan aktivitas bersih-bersih baru dimulai pukul 06.00. Anya berjalan dengan hati-hati. Ia tidak ingin membangunkan setiap orang di dalam rumah itu.     Kakinya melangkah di hadapan sebuah dispenser di dalam dapur. Ia mengambil gelas dari rak dan mengisinya dengan air sesuai kebutuhannya. Ia meneguk air mineral itu sambil sedikit memiringkan badannya ke samping. Sudut matanya berhenti pada sosok yang sedang berlari di atas treadmill dengan bertelanjang d**a.     Tubuh pria itu sangat atletis. Dadanya bidang dan otot-otot kokoh mencuat di setiap anggota tubuhnya. Belum lagi otot perutnya yang terbentuk sempurna seperti roti sobek.     Anya menikmati pemandangan itu dengan takjub. Belum lagi peluh keringat yang meleleh di atas kepala pria itu, membuat tubuhnya berkilauan di bawah sinar lampu. Anya meneguk ludahnya berkali-kali sambil berusaha menghabiskan air minumnya.     UHUK! Ia tersedak.     Suara batuknya terdengar di ruang sebelah. Pria itu mematikan treadmill­-nya dan mengambil handuk kecil yang ia sampirkan pada lengan treadmill.     “Siapa di sana?” tanya pria itu sambil membersihkan peluh dari sekujur tubuhnya. Ia berjalan masuk ke dalam dapur dan ia yakin seseorang pasti di sana. Ia tidak mau berburuk sangka, mengira pencuri atau perampok masuk ke dalam rumahnya. Tapi ia tidak mau mengambil resiko. Ia memasang wajah waspadanya.     Anya yang merasa kaget, meletakkan gelasnya dengan cepat ke atas meja marmer dapur. Bergegas menyingkir dari dapur. Saat ia membalikkan badan, suara pria itu mengagetkannya.     “Anya?”     Anya yang merasa terpergok langsung membalikkan badannya dan menatap Rivaldi di hadapannya. Begitu tatapannya bertemu dengan mata Rivaldi, ia langsung menunduk. Ia berusaha mengendalikan jantungnya yang berdetak hingga terasa mau lepas.   “Aku pikir siapa. Mengapa kau bangun sepagi ini? Apa tidak lelah?” tanya Rivaldi dengan keheranan.   “A-anu… Pak… Saya terbangun karena haus jadi saya mencari air minum di sini,” jawab Anya dengan sedikit gemetar. Merasa canggung, ia memutuskan kembali ke kamar.   “Saya permisi ke kamar dulu, Pak. Selamat melanjutkan olahraganya.”     Seulas senyum terukir di wajah Rivaldi. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lalu kembali ke gym mini’nya.     Kini Rivaldi beralih untuk melatih otot lengannya dengan barbel. Ia menggerakkan lengannya naik dan turun. Tiba-tiba ia teringat akan Celline. Kenangannya saat Celline ikut melatih otot lengannya pertama kali dengan barbel. Ia mengingat bagaimana gadis itu mengomel karena tangannya yang tiba-tiba kram karena kurang pemanasan. Rivaldi tersenyum mengingat semuanya itu. Namun senyuman itu tidak bertahan lama, hatinya kembali diliputi rasa pedih. Bayangan akan Celline mulai memudar.     Ia menghentikan latihannya dan menghela nafas panjang. Ternyata olahraga di pagi hari tidak membantunya mengobati rasa rindunya pada Celline. Ia semakin rindu dan ia kembali murung. Segalanya sudah berubah sekarang dan dia harus kembali pada realita yang ia akan hadapi hari ini.   A/N: Rivaldi, Si Hot Daddy. Matang, macho dan mapan (3M). Uwooo… Siapa yang tahan sama pesonanya coba? Siapa yang nggak mau coba? Saya juga mau! Hahahah... (*ups.. jangan kasi tahu suami saya ya... hehe)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN