3. Flashback

1204 Kata
Farah menatap heran Lia yang saat ini sedang melamun di balkon rumah, tatapannya mengarah ke depan menatap langit gelap. Semenjak Lia bekerja di Gornovsky Corp, Lia tampak berubah, ia lebih sering melamun dan banyak diam. "Lia,” panggil Farah. Namun, tak ada jawaban dari Lia. Ia masih asyik dengan dunia khayalnya, Mungkin. "Vellia Janson," panggil Farah lagi, kali ini dengan menepuk pundak Lia, ia berjingkat kaget. "Kau mengejutkanku Farah," gerutu Lia. "Aku memanggilmu dari tadi, tapi kau malah asyik melamun." "Aku tidak melamun,” kilah Lia. "Hanya bengong saja, right?" "Maaf." sesal Lia seraya menundukkan kepalanya. "Ada apa Lia? Aku perhatikan semenjak kamu bekerja di kantor barumu kau lebih banyak melamun. Ada masalah di sana?" "Tidak aku baik-baik saja." "Jangan bohong Lia, aku tahu kau. Kata ibu dan ayahku, kita seperti saudara kembar, karena selalu bersama dan memiliki kebiasaan yang sama, jadi aku hafal kalau kau memiliki masalah, kau akan lebih banyak diamnya. ceritakan semuanya, meski pun aku tidak bisa membantumu, setidaknya kau bisa tenang berbagi cerita denganku." Lia menarik nafas dalam, ia menoleh sekejap Farah, dan kembali menatap gelapnya langit. pandangannya menerawang jauh mengenang kembali masa yang menyakitkan. "Farah, kau ingin aku ceritakan sesuatu?" "Apa?" "Kisah seorang gadis buruk rupa yang bertemu dengan cinta pertamanya.” "Dongeng?" "Lebih tepatnya kisah nyata." "Ceritakan. aku ingin mendengar." "Jadi ..." *** Seorang gadis bertubuh gempal, memakai kacamata, rambutnya di ikat dua dengan kepangan sampai ujung rambutnya, giginya berbehel. Berjalan menunduk dengan canggung melewati kumpulan teman-teman seusianya yang memandangnya sinis. Bahkan tak jarang ada yang mencibir dan menghinanya. “Apa dia tidak sadar diri sekolah di sini.” “Tubuhnya menghabisi tempat.” “Kacamatanya tebal sekali.” Cibiran mereka terdengar jelas ke telinga gadis berkaca mata p****t botol itu. Raut wajahnya terlihat sangat ketakutan. Sampai akhirnya ia menubruk seseorang, atau seseorang yang sengaja menubruknya? Entahlah, ia tersungkur ke lantai. Kacamatanya yang lepas membuat ia kesulitan untuk melihat, ia meraba-raba lantai berharap dapat segera menemui kacamatanya. Alih-alih membantu, semua temannya menertawakannya. “Lihat, dia buta ya?” ejekan itu berasa dari suara gadis berdiri di dekatnya. “Kacamatanya di mana, rabanya ke mana. Buta!” Matanya sudah berkaca-kaca. Tetapi ia terus mencari keberadaan kacamatanya. Sampai akhirnya ia menjerit. Tangannya terinjak dengan seseorang. “Ups.. Maaf, tidak kelihatan.” “Masa tidak kelihatan, badan sebesar itu.” Tawa mereka kembali terdengar. “Ke-kenapa kalian jahat sekali denganku?” ucapnya terbata karena isakan tangisnya. “Hei, dengar, si beruang ini bisa berbicara.” Ia merasakan dirinya di dorong hingga menjungkal ke belakang. “Kacamatanya kita hancurkan saja,” ujar salah satu dari mereka. Sontak gadis itu kembali terduduk. “Jangan. Jangan hancurkan kacamataku. Aku mohon.” “Kalau begitu, cium dulu nih sepatu kami.” Gadis berwajah lugu itu menyipitkan matanya. Ia tidak bisa melihat dengan jelas. “Ayo. Mau kacamatanya kami pecahkan?” Gadis itu menggeleng cepat. “Jangan.” Ia sangat muak dengan semua ini. Ia merangkak maju mendekat pada semua orang yang berdiri di hadapannya. Gadis itu mulai membungkukkan wajahnya, berniat mencium sepatu-sepatu mereka. Tetapi pundaknya tertahan atas tarikan seseorang. Bahkan suara mereka yang membully pun sudah tidak terdengar lagi. Gadis itu menegakkan kepalanya, matanya kembali menyipit memperjelas penglihatannya. Buram, hanya itu yang terlihat. “Kalian semua PECUNDANG!” bentakan itu terdengar menggelegar. Bahkan gadis lugu itu pun tergelonjak kaget. “Pergi semuanya dari sini, kalau masih ada yang berani mengganggunya, berurusan dengan aku.” Semua langkah kaki terdengar berjalan menjauh. Gadis lugu itu menghela nafas lega. Ia merasakan dirinya di bantu berdiri dengan seseorang. “Te-terima kasih, Kak,” ucapnya dengan gugup. Anak laki-laki itu menarik tangannya dan meletakkan kacamata tebal itu di tangannya. “Ini punyamu?” tanyanya. Gadis itu mengangguk cepat, ia segera memakainya. Semua terlihat jelas kembali, gadis itu tersenyum lebar. Di hadapannya, anak laki-laki itu mengulas senyum. “Siapa namamu?” tanyanya “Vellia.” “Aku Daniel. Aku panggil kau Elly saja, ya.” Gadis lugu yang di panggil Elly itu mengangguk setuju. Semenjak hari itu, Daniel dan Elly menjadi dekat. Hari-hari Elly berjalan dengan baik. Tak ada yang membully dan juga tak ada yang menghina. Semua orang tampak segan dengan Elly. Sampai tibalah hari kelulusan Daniel. Elly, gadis itu jauh lebih percaya diri saat dirinya dekat dengan Daniel. Daniel sangat baik dengannya, dan Elly menyukai Daniel. Ia bermaksud ingin mengungkapkan perasaannya terhadap Daniel. Ia merangkai kata demi kata untuk ia ucapkan nanti di depan Daniel. Saat di sekolah, Elly mencari Daniel. Sedari tadi ia tidak bertemu dengan Daniel. Sampai akhirnya ia pergi ke taman belakang sekolah. Disana ia bertemu Daniel yang sedang terduduk sendiri di bangku taman. Elly menghampiri Daniel. “Kak, aku mencarimu, ada yang ingin aku katakan denganmu,” ujar Elly dengan nafas tersengal. “Jangan mendekat, Elly!” Elly menghentikan langkahnya. “Kak, ada apa?” Elly kembali melangkah maju. Namun, tangan Daniel segera mencegahnya. “Mulai sekarang, jangan lagi dekat-dekat denganku, Elly. Aku merasa sial setiap berada di dekatmu, karena kamu, orang yang aku sayangi pergi meninggalkanku.” Elly tampak bingung, ia tidak mengerti dengan apa yang di maksud dengan Daniel. “Mulai detik ini, jangan pernah muncul di hadapanku,” ujar Daniel dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan Elly. Elly berdiri terpaku menatap kepergian Daniel. Air matanya jatuh seketika. Hinaan teman-temannya mungkin sangat menyakitkan. Tapi hinaan dari orang yang kita cintai jauh lebih menyakitkan. Elly luruh, ia menangis terisak. Selama ini, ia salah mengartikan kebaikan Daniel. Ia salah telah mencintai Daniel. Dan Elly merasa sangat malu. Setelah kejadian itu Elly tak bertemu dengan Daniel lagi. Elly pun memutuskan pindah, kembali ke negara kelahiran. Jerman. *** Farah menghapus buliran air yang mengalir begitu saja di pipi, Mendengar cerita Lia membuat ia ikut terbawa suasana. Lia sepupunya yang cantik, ternyata memiliki kenangan hidup yang sangat memilukan. Lia menghela nafas panjang dan tersenyum kecil. Ada kelegaan di hatinya setelah ia membagi cerita yang membuatnya merasa tertekan selama ini. “Mengapa Daniel terkesan di takuti?” tanya Farah. “Keluarganya pemilik sekolahan itu.” “Jadi, itu sebabnya kau memanggilnya kakak?” Lia menggeleng. “Daniel merupakan seniorku, Farah.” Farah mengangguk. "Lalu bagaimana sekarang dengan Daniel? Apa kau sudah menemukannya?" tanya Farah. "Ya sudah, bahkan kami sangat dekat, dalam arti dekat, aku setiap hari bertemu dengannya." "Oh ya? dia rekan kerjamu?" Lia mengangguk. "Dia atasanku, pemilik GORNOVSKY CROP." Farah menutup mulutnya terkejut, lalu mengelus punggung Lia lembut, mencoba menguatkannya. "Lalu bagaimana? kau tidak berniat keluar dari sana?" Lia menggeleng kecil. "Tapi kau akan tersiksa di sana." Lia tersenyum lembut. "Kau tenang saja, rasa itu sudah tak ada lagi, lagi pula ia tidak mengingatku, aku sudah berubah, aku tidak seperti dulu lagi, tak mudah baginya untuk mengingatku, Farah. Aku bukan orang penting dalam hidupnya," ucap Lia. Setelahnya ia berdiri masuk ke dalam, tak lama ia kembali membawa album foto dan menyerahkannya pada Farah. Farah menerima dan membukanya. Di lihat potret seorang gadis berbadan gemuk memakai kacamata memeluk boneka yang jauh lebih besar dari dirinya. “Bagaimana menurutmu? Apa mungkin Daniel mengingatku?” Farah menggeleng tidak percaya. "Ia tidak akan mengenalmu, kau berubah menjadi angsa yang cantik Lia. Dan aku berani jamin Daniel akan menyesal." Lia tersenyum pada Farah. "Kau berniat mengatakannya pada Daniel?" "Tidak, tentu tidak. biarkan kisah itu aku kubur sedalam mungkin. aku tidak ingin dia mengingatku. Luka itu akan kembali terbuka bila akhirnya Daniel kembali menjauhiku atau bahkan memecatku. Farah kau tahu, kan. aku butuh pekerjaan, dan aku berjanji pada diriku sendiri, tidak akan melibatkan masa laluku dengan pekerjaanku," ujar Lia, Farah mengangguk setuju. "Berjanjilah padaku, kau akan terus bahagia dan tidak memikirkan Daniel lagi." Lia tersenyum. "Iya, tentu,” jawab Lia. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN