"Vellia!!” Panggilan Farah membuat Lia menutup kupingnya rapat dengan bantal.
“Farah, apa kau baru bisa bicara? Kenapa kau teriak-teriak?!” tanya Lia dengan suara 9 oktafnya.
Farah berlari menghampiri Lia setelah menutup pintu utama rapat. Wajahnya menampakkan kecemasan. Farah berlutut di hadapan Lia dengan wajah yang cemas. Lia mengernyit bingung.
“Kenapa?” tanya Lia akhirnya, saat mata Farah berbinar penuh harap. Kalau boleh jujur. Perasaan Lia sudah tidak enak.
“Lia. kau sepupuku bukan?” tanya Farah.
“Hm.. Lalu?”
“Mantan kekasihku akan melaksanakan pertunangan malam ini, dan dia mengundangku. Bisakah kamu membantuku untuk mencarikan seorang pria. Tapi yang bisa aku ajak berperan sebagai pacar pura-puraku. Aku mohon, Lia.”
Lia membulatkan matanya. Tidak bisa percaya dengan permintaan Farah. Jelas-jelas di banding dirinya, Farah lah yang lebih berpengalaman dengan mencari pria.
“Farah, jangan bercanda. Aku pacaran saja tidak pernah. Apa lagi harus mencarikan laki-laki untukmu.”
“Ayo lah, Lia. Malam ini aku harus datang. Kalau aku tidak datang, nanti mantanku kira. Aku belum bisa Move on dengannya.”
“Mantanmu yang mana sih?”
“Andriyan. Kau tahu, kan? Yang pernah mentraktirmu sate waktu itu.”
“Ya Tuhan. Apa kau benar-benar mencatat setiap pacarmu mentraktirku?” Farah menggeleng cepat.
“Setidaknya. Itulah hal yang bisa aku ingatkan padamu.”
“Terserah kau saja. Jadi tipe pria yang seperti apa?” tanya Lia.
“Nomor satu, Tampan.”
“Tidak terlalu sulit. Aku memiliki teman laki-laki bernama Tian. Dia kaki kanannya Daniel. Sekaligus menjabat sebagai Manajer keuangan di perusahaan kami. Apa kamu mau?”
“Hah?”
“Kalau tidak mau, ya sudah. Aku tidak bisa membantumu. Karena hanya Tian yang memiliki wajah tampan selain Daniel di kantor.”
“What?? Apa temanmu berumur semua?”
“Farah. Jadi kau mau atau tidak?”
“Hm.. Baiklah.”
“Bagus. Kalau begitu aku akan menghubunginya dulu. Semoga dia sedang tidak sibuk.”
Lia meraih ponselnya, mencari nama Tian. Nada tunggu berbunyi sesaat
“Ada apa, Velli?”
“Saya butuh bantuan Bapak.”
***
Farah memperhatikan dirinya di depan cermin. Lia menatap horor dengan gaun yang Farah pakai. Menurutnya seperti baju kekurangan bahan.
“Farah.”
“Hm..?”
“Apa kau membeli baju itu dengan harga diskon?”
“Maksudmu?”
“Bajumu kekurangan bahan. Seharusnya tadi kau pergi dulu ke tukang jahit untuk menambahkan bahannya.” Farah memutar kedua bola matanya.
“Ini memang modelnya, Lia.”
“Oh. Aku kira kau baru membayar setengah baju itu,” ujar Lia dengan ringis kecil.
“Terserah. Oh iya, di mana temanmu itu?”
“Dia akan segera datang.” Tak lama bunyi klakson mobil terdengar nyaring di depan rumah. “Sepertinya itu dia.”
Lia segera berlari menuju keluar. Tampak Tian dengan menggunakan kemeja hitam yang tangannya tergulung sampai siku. Rambutnya terlihat berantakan, tidak rapi seperti biasanya. Tapi Tian lebih terlihat tampan dan sangat seksi. Lia saja Sampai terpesona dengannya. Namun, genggaman tangan Farah yang begitu erat terasa menyakitkan bagi Lia. Lia menoleh ke arah Farah. Ternyata ia sedang tersenyum dengan mata berbinar bahagia.
“Kenapa kamu tidak bilang kalau Tian seperti Kim Bum.” Bisik Farah. Lia mengernyit tidak mengerti.
“Siapa yang kau maksud seperti Kim Bum?” tanya Lia.
“Siapa lagi kalau bukan Tian. Astaga dia seperti replikanya Kim Bum.” Lia memutar kedua bola matanya.
“Cepat pergi. Aku tidak mau mendengar perkataanmu.”
“Hm.. Baiklah. Doakan aku ya, semoga ia bisa menjadi pacarku.”
“Whatever.”
***
Seperti hari biasanya. Farah akan mengantar Lia terlebih dahulu, sebelum ia
berangkat bekerja.
“Jadi, bagaimana dengan Tian?” tanya Lia tiba-tiba saat dalam perjalanan menuju kantornya.
“Tian bertemu dengan bosnya di sana, jadi aku lebih sering di tinggal dengannya.
Aku yakin bosnya perjaka tua.”
“Bosnya??” Farah mengangguk. “Kalau begitu Daniel juga ada di sana?”
“Oh, kamu benar. Kata Tian bosnya bernama Daniel. Jadi pria angkuh itu yang menjadi masa lalumu?” Lia mendengus mendengar pertanyaan Farah.
“Sudah, jangan di bahas lagi. Sudah hampir sampai.” Farah menghentikan mobilnya di depan gedung kantor.
“Aku pergi dulu, Farah. Terima kasih”
“Sama-sama sayang. Jangan lupa bahagia.” Pesan Farah sebelum Lia pergi. Lia hanya mengangguk sembari tersenyum.
***
Sejak pagi Lia belum melihat batang hidung bosnya. Pria itu belum tiba di kantor. Padahal jam satu siang akan di adakan rapat. Tapi yang namanya bos itu bebas. Kau datang kapan pun ya bebas. Dan yang menjadi korban tentu saja sekretarisnya, karena harus mengundur beberapa jadwal, dan mengatur ulang jadwal. Memang seenaknya.
“Dia begitu egois, dan tidak pernah memikirkan bawahannya. Sangat menyebalkan.”
“Siapa yang menyebalkan?”
“Astaga!” Lia terlonjak kaget, dia bangun dari duduknya. Daniel berdiri tak jauh dari meja Lia berada. Kapan dia datang? Apa dia bisa menghilang?
“S-ir. Selamat pagi.”
“Sapaanmu begitu sarkas.”
Lia termangu, namun sedetik kemudian Lia menggeleng cepat. “Bu-bukan begitu, maksud saya-”
“Buatkan saya kopi.” Tanpa menunggu penjelasan Lia, Daniel melangkah memasuki ruangannya.
“Sial!” umpat Lia, lalu segera pergi ke pantry.
***
Lia merutuki dirinya yang selalu saja tertangkap basa saat mengumpat Daniel. Apa Daniel memiliki notif pada tubuhnya kalau ada yang mengumpatnya? Terlalu sibuk memikirkan Daniel, membuat Lia melupakan sesuatu.
***
Tok! Tok! Tok!
Pintu terbuka tanpa menunggu jawaban dari dalam. Lia melangkah masuk dengan tray berisi secangkir kopi di atasnya. Daniel terlihat serius dengan layar laptopnya.
“Kopinya, Sir.”
“Simpan di sini.” Lia hanya menurut.
“Ada lagi yang anda butuhkan, Sir?” Daniel menggeleng. Lia mengangguk dan menunduk hormat dan segera keluar.
Beberapa saat setelah Lia meletakkan secangkir kopi di meja Daniel, Daniel me mengambil dan menyesapnya. Lipatan kecil tercetak di dahinya. Daniel menekan interkom.
“Ke ruanganku sekarang.”
Tak lama kemudian, Lia kembali masuk, senyum simpul menyungging di wajahnya. Daniel menatap lekat wajah itu. “Ya, Sir?”
“Kopi tanpa gula?” Daniel mengangkat cangkir kopinya. Lia mengerut dalam. “Dari mana kau tau aku suka minum kopi tanpa gula?”
Deg!
“I-itu dari OB, Sir, tadi saya bertanya sebelum membuatkan kopi untuk anda.”
“Kau yakin?” Lia mengangguk ragu.
“OB yang mana?” Raut wajah Daniel terlihat tidak percaya dengan jawaban Lia.
“Yang....”
“Kau tau? Tidak ada satu pun orang yang tau kalau saya menyukai kopi tanpa gula. Saya biasa membuat kopi sendiri. Tapi karena berhubung mesin kopi di ruangan ini rusak. Saya menyuruhmu.”
O-oh, begitu? Ta-tapi saya tau dari OB. Apa perlu saya memanggilkannya untuk anda?”
Sial, bagaimana bisa Lia bisa bicara seperti itu? Bagaimana kalau Daniel benar-benar menyuruhnya untuk memanggilkan OB itu? Padahal sudah jelas, Lia tau sudah lama tentang kebiasaan tersebut.
“Tidak, tidak perlu. Saya akan percaya.”
Akan?? Jadi sebelumnya tidak berniat untuk percaya? Astaga, bagaimana kalau Daniel mulai curiga denganku?
“Baik, Sir. Kalau begitu saya permisi.” Lia hendak berbalik. Tapi panggilan Daniel kembali menghentikannya.
“Lia, mulai sekarang, apa bisa kau membuatkan kopi untukku?”
“Apa?!”
“Apa kau keberatan?”
Lia menggeleng cepat. “Tidak, tentu tidak. Saya akan membuatkan kopi untuk anda setiap hari.”
“Bagus, kau boleh pergi.”
Lia bergegas keluar dari ruangan Daniel. “Kebodohanmu semakin menjadi Vellia.”
***