Semua peserta seminar serentak melihat ke arah Raisa saat prof. Andi menggaungkan nama Raisa saat perkenalan profil sang narasumber. Sekuat mungkin Raisa harus bertahan dari ‘ujian’ tak kasat mata yang tengah diberikan oleh prof. Andi.
“Oh tentu saja, Prof,” jawab Raisa yang memutuskan tidak akan mundur dari semua tekanan yang tentu dia pahami sebagai ‘uji kualitas mahasiswa magister’.
“Silakan, Raisa. Perlu anda ketahui dokter. Raisa ini salah satu mahasiswa magister rekam medis yang sedang menyusun tesis. Sudi kiranya dokter untuk membantu satu mahasiswa saya ini,” ucap prof. Andi basa basi.
Namun, ucapan basa basi sang profesor membuat wajah Raisa bertambah merah, karena itu berarti sinyal baru untuknya yang akan mendapat bimbingan dari kalangan praktisi langsung seperti dokter Bima. antara senang dan gugup menjadi satu, dan itulah yang dirasakan Raisa sekarang.
“Mohon petunjuknya, dokter,” timpal Raisa untuk mendukung pernyataan sang profesor dengan senyum terkembang.
Dokter Bima hanya mengangguk dan senyum saja tanpa menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’, sontak sikap ini membuat Raisa terkenang kembali pada kisah silamnya bersama sang dokter ganteng.
“Jadi apa yang ingin kamu tanyakan, Raisa?” tanya profesor. Andi.
Raisa berdiri dan memberikan notes kecil miliknya pada Jody lalu berjalan anggun ke depan microphone yang sudah siap sedia di depan podium. “Sebagai dokter yang sudah melakukan praktek. Apa yang anda soroti dari perkembangan teknologi rekam medis ini?” tanya Raisa dengan suara lembutnya. Kelebihan lain seorang Raisa yang dia miliki selain wajah manis dan mata sipit.
“Wah … langsung to the point? Kita bahkan belum memulai materi presentasinya, loh?” timpal sang moderator yang membuat wajah Raisa malu. Ditambah suara tertawa para audiens peserta seminar terdengar cukup horor di telinga Raisa.
“Sial … kebiasaan deh suka banget ga nyimak. Mati gue kalo begini … mokal banget sumpeh!” batin Raisa.
“Hemm … saya jadi malu. Baiklah saya akan ralat pertanyaan saya, tetapi pertanyaan saya sebelumnya tolong dikantongi ya, Dokter.” Raisa mencoba menetralisir kesalahan dengan memberikan candaan segar. Inilah salah satu keunggulan Raisa Rengganis Abdi, anak semata wayang dari pengusaha Abdi grup yang juga ayahnya.
Setelah gemuruh tawa mereda, Raisa langsung melanjutkan pertanyaannya. “Karena masih membahas profil, saya mau bertanya. Status dokter masih single atau sudah double ya?” pertanyaan Raisa menjadi badai tawa yang membuat Bima akhirnya tertawa sambil mengurut keningnya.
“Nah … ini baru cocok, Dok. Silahkan dijawab, dan Raisa … kamu tetap disitu ya. Ga boleh duduk sampai selesai!” kata prof. Andi.
“Di setrap dong saya, Prof?”
Profesor Andi hanya bisa menganggukan kepalanya sambil tersenyum penuh kelicikan. Sudah lama prof. Andi ingin mengerjai Raisa yang terkenal sebagai mahasiswa usil setelah Jody. Namun, karena Raisa pintar, membuat semua tingkah absurdnya jadi termaafkan.
“Tidak, hanya ingin menjadikanmu patung manekin cantik di situ, Rai!” jawab profesor Andi tak kalah kocak. Rai yang mendengar hanya bisa manyun sambil bergerak ke samping mic dan berpose ala manekin toko.
Membuat suasana seminar yang biasanya kaku menjadi lebih santai. Merupakan salah satu cara bagi prof. Andi agar materi seminar ini dapat masuk ke dalam peserta seminar. Berhubung materi yang akan disampaikan dokter Bima juga berat, ditambah seminar ini menjadi materi kuliah umum.
“Silakan dijawab dokter. Biarkan saja manekin hidup itu di situ.”
Dokter Bima hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah profesor dan mahasiswanya sendiri itu. Tapi, bukan Bima namanya jika tidak tetap cool menanggapi apa pun.
“Baik. Untuk status, saya masih single. Tapi sudah ada yang saya taksir.”
Mendengar jawaban Bima, membuat dengkul Raisa menjadi bergetar dan lemas. Pupus sudah harapannya untuk merencanakan pendekatan. Tapi ada satu asa yang dijunjung tinggi, ‘selama janur kuning belum di depan gedung, masih bisa nikung.’
“Begini rasanya dibunuh sebelum bertindak,” ucapnya lebay.
Tawa menggema lagi di aula seminar magister kali ini, apalagi saat melihat mata melotot Raisa saat mendengar jawaban sang dokter tampan tersebut.
“Tenang saja, Rai. Masih ada kesempatan sebelum tenda biru berdiri,” ledek prof. Andi.
“Saya anak milenial, Prof. Desy Ratnasari sih hanya poster yang menghiasi di seluruh dinding kamar,” balas Raisa yang membuat prof. Andi terpingkal.
Akhirnya penderitaan Raisa menjadi manekin cantik berakhir saat Jody dan Nandi menggotong Raisa kembali ke tempat duduk. Ulah sahabat Raisa tersebut membuat semua audience tertawa ngakak dan tak terkecuali dokter Bima dengan senyum yang ditahan dan ditutup dengan tangan.
Setelah acara seminar selesai, Raisa dan kedua sahabat gilanya pun menunggu dokter Bima dan profesor Andi untuk memberikan sertifikat seminar kali ini dengan sabar. Dan setelah menunggu antrian yang cukup panjang, tibalah bagi Raisa untuk mendapatkan sertifikat dengan tanda tangan sang dokter tampan.
“Saya sudah pm kamu,” kata dokter Bima pelan yang membuat mata Raisa membola sempurna.
“Terima kasih, Dok.”
Setelah itu, Raisa cukup malu untuk menatap mata sang dokter muda yang pernah dia ledek dengan julukan ‘om om’. Dulu Bima tidak seperti sekarang. Tubuh gempal Bima saat masih menjadi seniornya di sarjana membuat Raisa menjulukinya ‘om om tamvan’. Bukan tanpa maksud raisa menjuluki Bima seperti itu.
Bima memang tampan meski badannya gempal. Pribadinya yang sedingin kulkas membuat siapa pun meragu jika ingin dekat, tapi bagi Raisa sikap misterius Bima menjadi daya tarik sendiri. Namun, sikap dinginnya itu pula yang membuat Raisa marah karena mendapat nilai E di tes kepemimpinan dan harus berjemur di lapangan sambil hormat bendera.
“Muka lo kenapa kaya mie di sambelin? Merah begitu. Sakit lo?” tanya Jody sambil mengambil pundak Raisa dan berjalan bersama menuju kantin.
“Nandi mana?” tanya Raisa untuk membelokan topik pembicaraan.
“Ke toilet. Nanti dia nyusul.”
Raisa mengangguk dan langsung duduk di kantin sambil memesan jus jambu yang membuat tenggorokannya bertambah haus.
“Lo beneran kebal ma itu dokter?” tanya Jody sambil menyeruput teh manis dingin.
“Iya. Ternyata bener kata Nandi. Dia orang yang sama,” jawab Raisa singkat. Sebenarnya dia masih cukup malu untuk menceritakan kelengkapan kisah masa lalu saat ospek. Terus terang banyak sekali hal memalukan yang membuat Raisa urung, dan semoga Nandi tidak membongkar ulah busuknya saat itu.
“Terus kenapa lo nampak gelisah dan salah tingkah begini? Ada masalah di masa lalu?” tebak Jody yang membuat Raisa membenturkan kepalanya di meja kantin. Jody hanya melihat dengan santai kelakuan sahabatnya itu sambil menyeruput jus milik Raisa.
“Raisa … bisa bicara sebentar?”
Raisa mengangkat kepalanya dengan malas, tapi dia harus melihat siapa yang telah memanggilnya tersebut.
“Ada hal yang perlu saya sampaikan,”
Deg!