“Baik, Bu akan saya selesaikan.”
“Terima kasih, Arian.” Seva tersenyum, kemudian masuk ke ruangan kecil di sudut sana. Begitu duduk, wanita itu membuka ponselnya yang berbunyi. Satu panggilan masuk.
“Ya, Halo...”
“Sevalina...”
“Siapa ini?”
“Kenapa meninggalkanku di kamar begitu saja, tanpa pamit. Kudengar kamu pulang ke kotamu.”
Seva mengernyitkan keningnya. Kemudian ia menjauhkan ponsel dari telinganya, di layar sana hanya tertera nomor. Jika belum ia simpan, berarti ia tidak kenal dengan orang itu.”Ini siapa? Maaf, saya tidak paham apa yang anda maksud.”
“Ini aku, yang kemarin tidur di kamar hotel bersamamu. Laki-laki yang tiba-tiba kamu seret ke dalam kamar lalu diajak b******a!”katsnya dari seberang sana.
“Hah? Kenapa kamu bisa hubungin aku?” Jantung Seva berdebar-debar, apakah pria itu meminta bayaran lebih padanya atau malah akan melaporkan tindakannya itu ke polisi.
“Itu soal mudah, sekarang katakan kamu ada dimana?”
“Memangnya kenapa aku harus memberi tahumu?”
“Supaya kita bisa berteman dekat, mungkin...lebih dari itu.”
“Sinting!” Seva memutuskan sambungan.
Nomor tersebut kembali menghubunginya dan Seva kembali menjawab.
“Ada apa lagi?”
“Kamu tinggal di Kota Medan bukan?”
“Bukan urusanmu!”
“Aku akan mengunjungimu ke sana!”
“Dasar gila!”Seva kembali memutuskan sambungan dan sekarang cepat-cepat memblokir nomor tersebut.
Nomor pria tak dikenal itu sudah diblokir, sekarang Seva bisa bekerja dengan tenang. Tapi, beberapa menit kemudian ia sempat terpikir pada pria itu, bagaimana bisa menghubungi dan tahu identitasnya.
Mungkinkah ketika Seva tidur, ia memeriksa handphonenya. Tapi, handphonenya itu pakai password, bukan sidik jari. Seva bingung sendiri, semoga saja setelah ini tidak ada apa-apa lagi.
Pintu ruangan Seva diketuk, Fadli tersenyum.”Permisi, Bu.”
“Silakan...”
“Bu, iklan sudah saya pasang hari jumat, perekrutan kan cuma berlangsung sampai hari ini...tapi, masih sedikit yang mengirimkan lamaran,”jelas Fadli.
“Memangnya ada penerimaan di divisi mana? Kok saya melewatkan yang satu ini. Kapan ada resign? Atau permintaan staf tambahan?” Seva mengernyit.
“Pak Zayn minta tambahan karyawan, Bu,untuk staf di Divisinya,”balas Fadli lagi.
“Ah, pria laknat itu,”gumam Seva.”Nggak bisa seenaknya gitu dong, Fad, kamu harus bicara pada Pak Zayn kalau itu sudah melanggar aturan.”
“Ya tapi, Pak Mintoro yang memohon langsung sama saya, Bu, karena waktu itu Ibu cuti dan tidak bisa dihubungi, saya mengambil keputusan itu. Maafkan saya, Bu.” Fadli merasa bersalah, tapi, di sisi lain ia tidak bisa menolak perintah sang Direktur.
“Ah, sudahlah...karena mereka suka-suka, kita pun bisa. Perpanjang tenggat waktunya. Biarkan saja dia menunggu, memangnya mencari karyawan sesuai dengan standar kantor ini mudah?” Seva mendengkus.
Zayn merupakan 'anak kesayangan' sang Direktur. Zayn itu cerdas, mampu membawa perusahaan ini menjadi lebih baik lagi. Ia juga memiliki wibawa, tampan, dan sosoknya yang sempurna membuat banyak yang mengidolakan Manager General Affair itu.
“Sabar, Bu...oh ya, nanti Ibu ikut makan siang di acaranya Pak Zayn tidak?”tanya Fadli.
Seva menggeleng.”Saya sibuk, habis cuti banyak pekerjaan yang tertunda.”
Fadli mengangguk, “baik, Bu, kalau begitu saya permisi. Terima kasih.”
“Iya.” Seva kembali fokus dengan data-data di hadapannya. Pokoknya hari ini ia akan pura-pura sibuk, tidak peduli kalau akan digosipkan lagi oleh teman-temannya. Bukankah ia berpahala karena membantu yang lainnya, mereka jadi bisa bergosip karena ada bahan ghibahan baru.
Di jam makan siang, Seva sengaja tidak keluar. Biarkan saja semua penghuni gedung ini pergi ke acara Zayn. Ia tidak akan pergi, alasan utamanya adalah istri Zayn itu drama Queen, dan merupakan anak dari Direktur Mintoro, menyebalkan sekali bukan.
Dulu, awal Zayn menduda, ia langsung dipindahkan ke kantor ini, dulunya Zayn ditempatkan di pabrik. Ada aturan bahwa suami istri tidak boleh satu kantor, akhirnya Zayn yang pindah. Seva tetap pada posisi ini. Sejak menduda, Zayn lebih sering terlihat bersama anak Direktur.
“Zayn memang cepat sekali berpaling. Hanya gara-gara aku nggak hamil-hamil, dia ninggalin aku. Memangnya wanita itu hanya berfungsi sebagai mesin produksi anak?” Seva misuh-misuh sambil mengetik. Satu tahun bukan waktu yang bisa melupakan semua rasa sakitnya. Ia belum bisa atau tak akan bisa berdamai dengan masa lalunya itu.
Sementara itu, Kenzie baru saja mendarat di Bandara Internasional Kuala Namu, Medan. Pria itu berjalan dengan wajah dinginnya, tanpa memedulikan orang di sekitar yang terus memperhatikannya. Satu asisten dan satu pengawal mengikutinya.
“Katanya untuk ke kota Medan, kita bisa naik kereta api, Vin?”tanya Kenzie pada Alvin.
“Iya setelah keluar, di seberang sana ada stasiun keretanya. Mas mau naik itu?”
Kenzie mengangguk sambil berjalan dengan gaya sombongnya. Mereka bertiga membeli tiket, lalu menunggu selama tiga menit, kebetukan mereka tiba tepat di jam keberangkatan ke kota Medan.
Kenzie duduk di tepi jendela, menaikkan satu kakinya ke atas paha. Tujuan kedatangannya kali ini adalah untuk mencari Seva, yang bahkan ia tidak tahu pasti dimana wanita itu tinggal. Ia akan tinggal satu minggu di sini, untuk mencari informasi tentang wanita yang membuatnya penasaran sampai harus datang ke kota ini.
“Mas Kenzie...”
Kenzie menoleh sekilas, lalu kembali membuang pandangannya
“Kata Papa, mumpung Mas Kenzie di sini sebaiknya berkunjung ke Kantor dan juga Pabrik, supaya mereka kenal dan tahu Mas Kenzie sebagai penerus dari Musim panas Grup,”jelas Devan, asisten pribadi Kenzie. Pria itu sibuk menscroll iPadnya.
“Kunjungan ya...” Kenzie menatap ke luar jendela kereta api yang sedang melintasi area persawahan. Tanaman padi begitu hijau, tinggi dan susunan mereka sangat rapi dan sama rata, terlihat indah.”kapan?”
“Siang ini Pak Mintoro mengundang Mas Kenzie datang...”
“Oke...”
Devan segera mencatat jadwal baik-baik, ia harus mencatat setiap menit apa yang dilakukan oleh Kenzie sebagai pertanggung jawaban.
Seva melirik jam sudah pukul tiga. Rasanya lega sekali bisa melewatu jam makan siang tanpa harus keluar. Wanita itu terkekeh. Ia berdiri, kemudian keluar dari ruangan menuju ruangan Direktur untuk membahas mengenai penambahan karyawan baru. Tapi, nasibnya sedang tidak bagus, ia berpapasan dengan Zayn di deoan ruang Direktur.
“Hai, Ibu Seva...”
“Hai!”balas Seva datar.
“Ah, Ibu HRD ini sibuk sekali ya sampai-sampai nggak datang ke acara istri saya.” Tiba-tiba saja Zayn bicara seperti itu.
Seva membalikkan badannya, menatap Zayn dengan tajam.”Maaf ya, saya memang tidak mau datang.”
“Wah, kenapa begitu...harusnya kan Ibu datang, sebagai HRD kan Ibu harus memberikan contoh bagaimana hubungan yang baik antara sesama karyawan.”
“Maksudnya apa, sih? Pengen sekali ya aku datang ke sana? Pembicaraan ini kan bukan masalah pekerjaan, jadi, jangan dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsi saya sebagai Hrd dong!” Seva menatap Zayn dengan sinis.