“Kamu kan semalam stres menghadapi cibiran soal kamu sama mantan suami kamu itu loh. Terus kamu minta dicariin laki-laki buat nemenin kamu, muasin kamu,”kata Diana mengingatkan.
“Oke, aku inget...terus...”
“Nah, aku tuh udah usahakan cari, tapi, nggak dapat...aku hubungin kamu tapi, malah nggak aktif,”jelas Diana.
“Hah?” Otak Seva sulit berpikir karena lelah melanda. Bukankah semalam Diana sudah bekerja dengan baik, mencarikan laki-laki muda tampan, berpostur tubuh bagus, dan juga sangat ahli di ranjang. Semalam saja Seva sampai o*****e berkali-kali dibuatnya.
“Seva, sorry ya...aku nggak bisa penuhi permintaan kamu. Padahal sudah jauh-jauh main ke sini.” Diana terdengar begitu kecewa pada dirinya sendiri.
“Diana, nomorku nggak aktif karena aku lagi asyik b******a sama seorang laki-laki, yang aku pikir itu...adalah orang yang kamu kirim!”Seva mengigit bibirnya, sekarang ia jadi kepikiran dengan siapa ia b******a semalam. Apakah itu adalah pria random yang memang sedang melintas, lalu ia pikir itu adalah orang pesanannya.
“Terus orang itu siapa, Sev? Dia nggak ngomong apa-apa?”
“Nggak, soalnya aku ...ah sudahlah, Di,lupakan aja. Aku juga udah sampai di sini kok. Harta bendaku masih aman. Aku udah selipkan uang ke kantongnya, jadi, anggap saja dia itu kusewa semalam.” Seva dan Diana tertawa bersamaan. Setelah itu mereka mengakhiri sambungan.
Seva menopang dagunya, pikirannya terusik dengan kejadian semalam, malam terakhir di kota Makassar. “Siapa laki-laki itu, lagian kenapa mau juga aku seret ke kamar. Ah, lagi pula laki-laki mana yang bisa menolak kalau diajak tidur, apa lagi kalau dia single.” Seva menggelengkan kepalanya dengan keras.”Udahlah, lagian dia jauh di sana, mana mungkin datang mau nuntut. Yang penting aku puas dan dia sudah kubayar.”
Wanita itu menepuk-nepuk bantalnya, kemudian berbaring. Ponselnya berbunyi, dua pesan masuk di Grup Chat Manager. Seva mendengkus, pesan dari Zayn yang mengingatkan jangan lupa untuk datang besok, ke acara syukuran tujuh bulanan sang istri di sebuah restoran yang terdekat dengan kantor.
Sepertinya Zayn sengaja mengadakan di sana supaya tidak ada yang beralasan untuk tidak datang. Tapi, Seva tidak akan datang. Ia pasti akan bertemu dengan mantan mertua, yang dulu mencanangkan perceraiannya dengan Zayn.
Besok, tepat satu tahun perceraiannya dengan Zayn, dan bertepatan dengan tujuh bulan kehamilan istrinya yang sekarang. Seva tersenyum tipis, tentu saja Istri Zayn segera hamil setelah menikah karena yang bermasalah dengan kesuburan adalah dirinya.
Wanita itu menonaktifkan ponselnya dan menyimpan di atas nakas. Ia memandang langit-langit kamarnya.”Aku lahir atas kehendak Tuhan, aku ditakdirkan tidak bisa punya anak juga oleh Tuhan, tapi, kenapa manusia menyalahkan aku atas itu semua. Aku tidak pernah membenci takdirku, tapi, aku hanya membenci orang-orang yang terus menyalahkan keadaanku.” Perlahan air mata Seva menetes, luka itu masih basah, luka yang diciptakan oleh Zayn, pria yang sudah bersamanya selama lima tahun pacaran dan lima tahun mengarungi bahtera rumah tangga. Kini semuanya tinggal kenangan.
**
Senin pagi, jalanan padat, semua orang ingin cepat karena takut terlambat. Sebuah gedung tinggi bewarna merah di pinggiran pusat kota Medan itu mulai ramai. Usai memarkirkan kendaraan, mereka harus melewati sistem keamanan kantor. Setiap kali masuk, harus memakai ID perusahaan, bagi tamu akan disediakan ID khusus, dan diwajibkan melewati pintu pemeriksaan.
Pintu lift di lantai sembilan terbuka. Sekumpulan orang keluar lalu pergi ke ruangan mereka masing-masing. Di sebelah kiri lift, sebuah ruangan besar dengan cat bewarna biru muda sudah mulai dipenuhi para staff. Biasanya mereka akan duduk dulu,berkumpul di meja meeting sebelum jam kerja dimulai.
“Bu Seva hari ini udah masuk lagi ya.” Ritual pagi di Divisi HRD ini adalah menggosipkan atasan. Seva, memang selalu menjadi sasaran empuk untuk digosipkan, tidak hanya di divisi yang ia pimpin, tetapi di divisi lain juga. Fania, sang walfare staff memulai pembicaraan.
“Iya. Padahal seharusnya hari ini dia masih cuti. Karena banyak yang ngomongin dia nggak bisa move on dari Pak Zayn, jadinya beliau memutuskan untuk masuk,”sahut Jenny, payroll staff di sini sambil merapikan lipstik di bibirnya.
“Hubungannya apa sama Manager GA itu?”tanya Ghandi.
“Bu Seva kan mantan istrinya Pak Zayn,”kata Fania memelankan suaranya.
“Serius? Tapi, kok udah jadi mantan...padahal satunya ganteng...satunya cantik, sama-sama manager pula. Kalau Aku jadi Pak Zayn, bakalan kusayang-sayang deh punya istri begitu.” Ghandi terkekeh.
“Mereka udah nikah lima tahun, terus cerai gitu. Katanya Bu Seva nggak akan bisa kasih keturunan.”
“Karena itu?” Arian yang sedari tadi cuek ikut berkomentar.
Jenni mengangguk.”Iya, hari ini semua divisi diundang ke acara syukuran tujuh bulanan istrinya Pak Zayn, kan?”
Fania merapikan alat-alat make up miliknya, lalu menyimpannya dengan baik di dalam tas.”Iya, sih...kan Bu Seva langsung share undangannya di grup chatting? Ya datang ajalah, makan gratis ini, dekat juga tuh...”
“Tapi, Bu Seva bakalan datang nggak tuh?”celetuk Ghandi.
“Ya datanglah!”kata Fania.
“Aku rasa sih nggak!” balas Jenni.
“Eh...eh, kalian ini kok malah gosipin Bu Seva, sih...tolong hargai atasan kita. Bu Seva juga tidak mau hal ini terjadi padanya. Seharusnya kita berempati padanya. Kalau tidak bisa memberi dukungan moral, setidaknya jangan bicarakan dia di belakang.” Fadli, HRD-recruitment memperingatkan para staff di Divisi ini.
“Ba...baik, Pak.”
“Ya udah sekarang pergi ke meja masing-masing, lakukan apa tugas kalian. Mungkin aja habis ini Bu Seva bakalan nagih laporan-laporan yang minggu lalu dia minta,”kata Fadli lagi menakut-nakuti.
“Iya, Pak.” Semuanya langsung ke posisi masing-masing.
Fadli bernapas lega, semoga saja ini bisa membantu mengurangi beban Seva. Satu tahun, tidak akan pernah mudah bagi wanita berusia tiga puluh tiga lima tahun itu untuk melewati semuanya. Hari-hari penuh cemooh dan hujatan orang-orang di sekitar.
Entah siapa yang memulai hingga akhirnya beredar desas-desus kalau rumah tangga Seva berantakan karena wanita itu juga memiliki pria idaman lain. Lalu hujatan semakin diberikan padanya, wanita tidak sempurna, masih bisa berkhianat pula. Tapi, hujatan itu berasal dari kalangan yang memang dulunya adalah pengagum Zayn.
Pintu ruangan terbuka. Seva tersenyum pada Fadli yang berdiri tak jauh dari sana.”Selamat lagi, Pak.”
“Pagi, Bu Seva...”
“Ini saya bawa oleh-oleh, dibagikan ya!” Seva tersenyum ramah sambil menyodorkan bungkusan berisi bannang-bannang dan baruasa, cemilan khas dari kota Makassar yang sering dijadikan oleh-oleh.
“Terima kasih banyak, Bu!”kata Arian yang mejanya tak jauh dari sana.
“Sama-sama, Yan. Oh ya...kamu sudah selesaikan materi seminarnya belum?”
Arian tersenyum.”Masih sembilan puluh persen, Bu.”
Seva mengangguk-angguk,”kalau hari ini selesai, tolong perlihatkan sama saya ya. Saya mau lihat dulu, karena kali ini sasarannya harus tepat.”