Prolog
Breaking News
“Nathan Adinata umumkan pernikahan anak sulungnya.”
Nathan Adinata baru saja mengumumkan pernikahan anak sulungnya, Jihane Adinata dengan putra tunggal pengusaha Bamantara, Adrian Bamantara.
Sontak saja kabar ini mengundang berbagai reaksi dari warganet. Berikut beberapa komentar yang berhasil di kutip oleh tim @ anakhitzjaksel.
“Akhirnya mereka mengumumkannya.”
“Apakah Adrian Bamantara akan memegang 2 perusahaan?”
“Adinata Group akan semakin berkembang,”
“Wow, pasangan yang serasi. Selamat atas pernikahannya.”
“Ku kira Jihane akan menikah dengan Evan Alexander, Well ... selamat, semoga bahagia selalu,”
“Aku penasaran dengan bungsu Adinata, apakah dia akan datang? Sudah lama dia menarik diri.”
----***----
Selamat untuk Jihane Adinata dan Adrian Bamantara.
[Written by Anakhitzjaksel]
“Apakah dia akan datang? Aku juga penasaran akan hal itu,”
Brakk
“Elina!!” Ucap seseorang sembari membuka pintu ruangan dengan sedikit kasar.
“Ada apa?” Ucap sesorang dengan nama Elina itu sembari melihat orang yang baru saja masuk keruangannya.
“Apa kau telah membacanya?”
“Maksudmu berita ini?” tanya Elina sembari menunjukkan layar telepon genggamnya yang menampilkan berita yang baru saja dia baca.
“Benar, apa ini artinya kau akan pulang?”
“Entahlah Dery, kalau aku mendapatkan undangan, aku akan pulang. Namun bila tidak, maka aku tetap di sini, bekerja denganmu,” ucap Elina santai.
“Lalu bagaimana dengan rencanamu?”
“Soal itu ... Entahlah. Daripada memikiran itu lebih baik kita membereskan kafe, sudah waktunya tutup,”
“Ahh kau benar, kalau begitu kau bereskan dapur dan meja kasir biar aku membereskan yang lain,” ucap Dery sembari melihat ke arah jam dinding yang kemudian beralih menatap Elina.
“Baiklah kalau begitu,” ucap Elina.
Sigh
“Menarik diri? Dibuang adalah kata yang tepat untukku.” batin Elina
Awal bulan Juli, 5 hari setelah berita itu di rilis. Langit Jakarta sedang cerah-cerahnya dan disinilah Elina berada, Bandara Internasional Soekarno-Hatta, menunggu asisten pribadi sang ayah menjemputnya. Lima hari lalu, tepat sesuai perkiraannya sang ibu memintanya untuk pulang untuk datang ke acara yang tengah diperbincangkan seantero Jakarta, atau mungkin se-Indonesia. Perjalanan yang panjang membuatnya lelah dan tanpa sadar sang asisten telah berdiri disampingnya.
“Nona Elina,”
“Paman Rendi? Akhirnya paman datang juga,” Elina merajuk.
“Maafkan saya Nona, saya sempat terjebak macet,”
“Paman ... sudah aku bilang panggil Elina saja. Aku kan teman Karina, jadi santai saja padaku, oke?”
“Baiklah kalau begitu, ayo paman bantu,” ucap Rendy sembari membantu Elina membawa barang bawaannya menuju mobil yang telah menunggunya.
“Putra Bungsu Nathan Adinata terlihat di Bandara Soekarno-Hatta.”
Setelah menempuh perjalanan selama hampir satu jam, mereka akhirnya tiba di rumah keluarga besar Adinata.
“Elina Adinata,” Panggil Nathan Adinata dengan lembut. Nathan Adinata, ayah Elina. Seorang pengusaha ternama di Indonesia, maka dari itu setiap apa yang dia maupun keluarganya lakukan akan menjadi sorotan orang-orang dan Elina tidak suka itu, maka dari itu dia lebih memilih tinggal di Swiss sejak sepuluh tahun lalu tentu saja dengan pengawasan penuh orang tuanya.
“Papa.” Elina memeluk Nathan dengan erat. Rindu itulah yang Elina rasakan, meskipun orang tua ataupun kedua kakaknya beberapa kali mengunjunginya tapi hal itu tak dapat mengobati rasa rindu yang semakin besar setiap harinya.
“Bagaimana perjalananmu?” tanya Nathan sembari merangkul sang anak membawanya masuk ke dalam rumah.
“Macet dimana-mana, yang lain di mana Pa?” tanya Elina pada sang papa setelah tak melihat mama ataupun kedua kakaknya.
“Ada ... mereka ada di lantai atas. Ayo ikut Papa,” ajak Nathan.
“Ke mana?”
“Sudah ikut saja. Oh iya Ren, letakkan saja barang-barang Elina di ruang keluarga biar pelayan yang membawanya ke atas. Terima kasih telah menjemput Elina, kau boleh kembali ke kantor,” ucap Nathan yang setelahnya membawa Elina untuk ke kamar sang anak.
Nathan mengajak Elina masuk ke dalam kamar dan ...
“Surprise” ucap tiga orang secara serentak.
Elina yang terkejut hanya bisa menutu mulutnya dan menatap tak percaya.
“Welcome home Elina,” ucap Laki-laki yang usianya terpaut 3 tahun dengan Elina.
“Mama ... kakak ...” Elina mulai terisak dan berjalan mendekat dan memeluk mereka.
“Elina ... kangen,” ucap Elina dengan tangis yang semakin kencang.
“Sstt ... sudah jangan menangis kan sekarang Elina sudah di rumah,” sang Mama menenangkan sang anak bungsunya.
“Papa tidak di ajak berpelukan juga?” tanya Nathan berpura-pura sedih.
“Papa ikut juga,” ucap Elina seraya merentangkan tangannya menyambut sang Papa ikut dalam acara berpelukan itu.
Sementara itu di bagian Jakarta yang lain, terlihat seorang pemuda tengah menatap gedung-gedung pencakar langit dari balik kaca besar diruangannya.
“Dia telah sampai Jakarta ... dengan selamat.”
“Biarkan dia menikmati waktu bersama keluarganya terlebih dahulu.”
Makan malam menyambut kepulangan Elina dari ‘pengasingan’ diadakan dikediaman utama Nathan Adinata. Irene si Nyonya Adinata sangat antusias dengan kepulangan sang anak bungsu. Meja makan penuh dengan makanan kesukan Elina dan itu semua sang Nyonya besar yang memasaknya.
“Betapa aku rindu masakan Mama, masakan Mama semakin enak,” puji Elina setelah merasakan sepotong daging gurami asam manis kesukaannya.
“Makanlah yang banyak, Mama memasak ini semua khusus untukmu,”
“Tapi ... tetap saja aku marah pada kalian,” ucap Elina yang sedikit serius.
“Marah kenapa?” tanya sang Ayah bingung.
“Kenapa kalian tidak memberitahuku lebih awal tentang pernikahan kakak? Kenapa aku justru tahu dari berita? Apa kalian melupakanku?” tanya Elina.
“Bukan ... bukan begitu Elin. Kakak minta maaf ya, sebenarnya ini ide kakak untuk memberitahu mu secara mendadak supaya kamu tak memiliki alasan untuk tidak pulang,” ucap Jihane, kakak pertama Elina.
“Alasan untuk tidak pulang? Menghindar maksudnya? Bukankah tidak terbalik? Aku selalu memiliki alasan untuk pulang tapi kalian selalu menghalangiku, aku masih keluarga kalian bukan? Lagi pula ini pernikahan kakakku jadi tidak mungkin aku tidak datang,” ucap Elina yang sedikit menaikkan oktav suaranya.
“Elin ...” tegur Irene pelan.
“Sudah. Cukup! Ini meja makan, bukan tempat untuk berdebat,” ucap Nathan untuk menghentikan perdebatan yang hampir terjadi.
“Maaf Papa,” ucap Elina dan Jihane serentak.
“Apakah pekerjaanmu baik-baik saja?” tanya Jayden, kakak kedua Elina yang mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Semuanya baik-baik saja, aku hanya berdiri di meja kasir sepanjang waktu jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan,”
“Syukurlah kalau begitu,”
“Lalu bagaimana hubunganmu dengan Lily? Apakah kalian juga akan segera menikah?”
“Menikah itu pasti, tapi tidak dalam waktu dekat,”
“Memangnya ada apa? Bukankah sudah hampir dua tahun kalian bertunangan?” tanya Elina bingung.
“Lily masih terikat kontrak dengan agensi modelnya, masa kontraknya masih 1 tahun lagi jadi ya ... aku harus menunggu 1 tahun lagi,” jelas Jayden.
Elina hanya ber oh acuh mendengar penjelasan kakaknya.
“Lalu bagaimana denganmu Elin, apakah ada laki-laki Swiss yang menarik perhatianmu?” tanya Jihane.
“Tidak. Tidak ada yang menarik di Swiss. Aku hanya fokus bekerja,” jawab Elin.
“Menurut Papa Hendery pria yang baik, memangnya kamu tidak tertarik dengannya?” tanya Nathan yang berniat menggoda sang anak.
“Pa ... Dery sudah memiliki kekasih. Lagi pula dia bukan tipeku,” jawab Elina merajuk pada sang Papa.
“Oh iya Mama hampir lupa. Besok pagi Elin pergi ke butik Bibi Jessica ya, fitting baju untuk acara pernikahan kakak,” ingat Irene.
Elina hanya mengangguk untuk menanggapi ucapan sang mama.
Di menit-menit berikutnya hanya suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Keluarga Adinata terlalu menikmati makan malam yang dihidangkan oleh Nyonya besar Adinata hingga tanpa sadar seluruh makanan telah habis di santap.
“Aku jadi kenyang, terima kasih atas makan malamnya Mah,” ucap Jayden.
“Syukurlah kalau kalian menyukai masakan mamah malam ini,”
“Pah, Mah, Kak, Elina ke kamar duluan ya ... Elin masih kena jet lag,” ucap Elina.
“Iya sayang, tidur yang nyenyak ya,” ucap Nathan.
“Selamat malam semuanya,” ucap Elina sembari berdiri dari kursinya dan melangkah kembali kekamarnya.
Belum ada sepuluh langkah dia melangkah, Elina berbalik dan menatap sang ayah untuk mengatakan sesuatu.
“Pah, aku tidak akan kembali ke Swiis, selamat malam.”
Setelah mengucapkan kalimat itu Elina melanjutkan kembali langkahnya tanpa menunggu respon sang papa.
Nathan yang mendengar ucapan putrinya hanya bisa tertegun. Putrinya telah dewasa tak bisa lagi dia setir setiap pergerakannya.
Elina memejamkan matanya mencoba untuk segera tidur tapi dia tidak bisa, padahal dirinya yakin besok telah banyak kegiatan menantinya. Dirinya merasa akan ada hal besar yang datang menghampirinya.
Huh
Elina menghela nafas berat “Mengapa rasanya sesak sekali? Apa karena aku berbagi udara dengannya?”
Sepuluh tahun berlalu tidak banyak yang berubah dari rumah yang selalu memberikan rasa hangat dan nyaman baginya. Sepuluh tahun tinggal sendiri di negara orang mengajarkan banyak hal untuk dirinya. Hingga suatu hari keraguan muncul dalam benaknya, apakah semua orang dapat di percaya? Apakah semua ini nyata? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang selama ini dia tanyakan pada dirinya sendiri.
Elina Putri Adinata, bungsu dari tiga bersaudara. Mendengar namanya saja orang-orang akan langsung tahu siapa dia sebenarnya. Menjadi bagian dari Adinata merupakan hal yang tak mudah, setiap langkahnya akan mendapat sorotan penuh dari media dan Elina tak menyukai itu, maka dari itu ketika sang ayah menawarkan untuk melanjutkan studi ke luar negeri Elina langsung menyetujuinya. Dua tahun pertama Elina merasa baik-baik saja, namun di tahun-tahun berikutnya Elina mulai merasakan keanehan. Setiap kali ingin pulang ke Indonesia, baik papa ataupun sang mama selalu melarangnya dengan berbagai alasan. Mulai dari situlah dirinya menyadari sesuatu. Dirinya diasingkan.
***