Bayang-bayang Masa Lalu
"Nana, Mbak Insyaa Allah mau menikah bulan depan tanggal 8. Kamu bisa pulang, kan?" Nada suara Diana di ujung telepon terdengar bahagia. Sebagai adik, Nana tentu saja merasakan hal yang sama, ikut bahagia. Namun ada kegamangan dalam firasatnya. Entah kenapa, perasaan tidak enak hati seolah menggema di alam bawah sadarnya.
Apakah aku hanya terlalu takut kejadian serupa dulu kembali terulang? Nana membatin dalam hati. Ia sungguh ingin mengenyahkan perasaan tak enak yang mengungkung hatinya.
"Kamu tenang saja, Na. Tidak perlu mengkhawatirkanku. Calonku kali ini, Insyaa Allah baik akhlak dan agamanya. Mbak tidak pacaran seperti yang sudah-sudah. Kali ini Mbak menempuh jalan ta'aruf, melalui perantara Ummi Rasidah dan suaminya," Mendengar adiknya menghela nafas berat tanpa langsung menyahut ucapannya di ujung telepon, Diana seakan mampu membaca apa yang terpikir oleh adiknya.
"Alhamdulillah kalau begitu, Mbak Di. Semoga semuanya lancar, ya. Doaku selalu menyertaimu. Aku tentu saja bisa pulang bulan depan, nggak mungkin banget aku nggak datang di hari bahagia kakak tercintaku," sebersit kelegaan merasuki hati Nana. Semoga saja harapannya mewujud nyata. Diana, kakaknya akan segera menggenggam kebahagiaan yang sempurna. -
***
"Assalamu'alaikum, Pak, Bu," Nana mengucap salam di depan pintu rumahnya. Wajahnya sumringah penuh kegembiraan. Di sekolah tadi, ia baru saja mendapatkan kabar kalau ia lolos seleksi test beasiswa masuk kuliah di sebuah perguruan tinggi di Jakarta yang ia ikuti dua bulan lalu. Ia sudah membayangkan kebahagiaan yang akan tergambar pada wajah-wajah orang yang sangat ia sayangi. Kedua orang tua, dan kedua kakaknya. Namun kebahagiaan yang baru saja ia bayangkan, tiba-tiba menjadi gelap. Semuanya sirna dalam sekejap.
"Pak, Bu?" karena salamnya tidak kunjung mendapatkan jawaban, Nana mencoba membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. "Bapak dan Ibu kemana, sih? Kok pintunya tidak terkunci,"
Tanpa menaruh curiga, Nana pun masuk ke dalam rumah untuk kemudian masuk ke kamarnya. Baru saja ia melepas jilbab dan melepas kancing seragam sekolahnya, seseorang tiba-tiba masuk kamarnya tanpa permisi.
"Mas Seno ngapain di sini?" Nana merasa ketakutan menjalari tubuhnya melihat sosok laki-laki yang merupakan calon suami kakaknya tersebut tiba-tiba saja berada di kamarnya dengan tatapan mengancam. Dengan sembarang ia pun menarik selimut yang terlipat di atas kasur, untuk menutupi bagian depan tubuhnya yang sudah terbuka karena kancing bajunya baru saja usai ia lepas semua.
"Santai aja, Na. Mas nggak berniat jahat, kok," setelah menutup rapat pintu kamar Nana, Seno perlahan mendekat.
"Mas Seno ke..." belum usai Nana mengeluarkan kalimatnya, tangan kekar Seno sudah membekap mulut Nana dan tangan satunya lagi mendekapnya dari belakang, membuat tubuh kecilnya tidak kuasa untuk melepaskan diri.
"Aroma kamu wangi sekali, Na. Bibirmu yang ranum juga pasti sangat manis," Nana menjerit dalam hati. Tidak ada yang dapat ia lakukan sekarang selain hanya berdoa semoga saja tiba-tiba bapaknya atau siapapun datang memberikan pertolongan. Selimut yang tadi ia pakai untuk menutupi tubuhnya pun sudah Seno lemparkan sembarang ke lantai.
"Tidaaaakkkkk...." tepat saat bibirnya menjerit sampai terdengar sayup di telinganya sendiri, Nana terbangun. Mimpi itu. Kejadian yang sudah bertahun-tahun lalu terjadi kenapa harus muncul dalam mimpinya sekarang? Kejadian yang menyisakan trauma mendalam dan sempat membuat hubungannya dengan sang kakak, Diana, menjadi renggang.
Nana yang masih gemetar terduduk di ujung tempat tidur. Kepalanya tiba-tiba pening mengingat rentetan kejadian yang dulu membuatnya menjadi bahan ejekan tetangga akibat fitnah yang disebarkan oleh Seno. Yang sayangnya, Diana percaya dengan fitrnah tersebut dan malah memusuhi Nana, adiknya sendiri.
Diana sama sekali tak memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Hanya kakak laki-lakinya - Danu, juga kedua orang tuanya yang mempercayai ucapan Nana. Bertahun-tahun lamanya Diana menyalahkan Nana karena kejadian tersebut membuat dia kehilangan restu kedua orang tua serta kakaknya. Dan lagi, Seno juga akhirnya memilih meninggalkannya, pergi bersama perempuan lain.
"Ya Allah, firasat apa ini?" Nana menangkupkan kedua tangan ke wajahnya. Bulir bening berdesakan keluar dari matanya. Rasa takut dan khawatir berpadu, membuat perasaannya bimbang.