Curhat Pada Sahabat

696 Kata
"Hey, Na. Lo kenapa? Apakah lo sakit?" Lusi, sahabat baik Nana di kampus yang kebetulan satu jurusan menangkap gelagat Nana yang tidak seperti biasanya. Wajahnya yang biasa ceria tampak murung, dan sedikit pucat. Mereka sedang berada di kantin kampus. Bahkan minuman yang dipesannya pun dari tadi hanya diaduk-aduk oleh Nana. "Kenapa apanya? Gue baik-baik aja, kok. Lo nggak usah khawatir," Nana memberikan jawaban sambil mendesah pelan, yang justru membuat Lusi semakin curiga. Apalagi, Nana menggigit bibir bawahnya, ciri khas Nana jika sedang ada masalah. "Nggak usah bohong deh, lo. Sini cerita ke gue, meskipun gue nggak bisa bantu, setidaknya lo bakal lebih lega setelahnya. Masa gue mulu yang curhat dan lo jadi tempat sampah melulu, sekali-kali ceritalah. Gue janji kok nggak bakalan ember cerita kemana-mana. Suwer takewer-kewer," Lusi nyengir sambil mengacungkan dua jarinya. "Huffttt.. Bukan nggak percaya lo bisa jaga rahasia, tapi gue bingung cerita dari mana," Nana mendesah lagi. Kemudian ia menyeruput sedikit es lemon tea-nya  untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering. "Dari mana aja, random juga nggak papa sebisa lo. Gue nggak lemot-lemot amat kan buat nangkep maksud cerita lo. Paling kalau gue bingung cuma gue jawab oh," Lusi nyengir lagi. Berusaha mencairkan suasana biar sahabatnya tersebut lebih rileks. "Masalah keluarga, Lus. Kakak gue," Nana pun menceritakan perihal mimpinya, juga cerita detail masa lalu menyakitkan yang sebetulnya tidak ingin ia ingat, tapi terpaksa ia ingat karena mimpinya semalam. "Ya ampun lo serius, Na?" Mata Lusi berkaca-kaca mendengar cerita dari mulut sahabatnya. Ia hanyut ke dalam cerita masa lalu Nana, dan bergidik ngeri membayangkannya. "Gue udah cemas di bagian si b*jing*n Seno masuk kamar lo. Sampai mikir jangan-jangan saat itu lo nggak bisa meloloskan diri dan hal g*la itu terjadi. Ya Allah, Na. Syock banget gue. Tapi Alhamdulillah gue lega denger endingnya, dan Alhamdulillah mbak Diana udah terbuka hatinya buat percaya sama lo, ya." Lusi mendesah lega menanggapi cerita Nana. Hal yang ia takutkan pernah terjadi pada sahabatnya di masa lalu ternyata tidak terjadi, hanya hampir saja. Beruntung Allah masih menyayangi Nana dengan menyelamatkannya lewat Diana, meski setelahnya Nana harus bertahun-tahun dimusuhi oleh Diana karena kesalahpahaman yang terjadi. "Gue khawatir ada sesuatu, Lus. Kenapa juga hal menjijikan yang gue nggak mau inget malah detail banget muncul di mimpi gue setelah Mbak Diana bilang mau nikah. Gue takut ini semacam firasat buruk," Nana menarik nafas panjang lalu menghembuskannya kuat-kuat. Kepalanya terasa pening memikirkan kakaknya. Ia tidak mau kakaknya terluka lagi, atau juga keluarganya. Tapi ia sendiri tidak memiliki gambaran jelas hal apa yang membuatnya takut. "Dibawa banyak doa aja sama Allah, Na. Gue rasa kayaknya karena hati kecil lo ada ketakutan pas Mbak Diana bilang mau menikah, jadinya kebawa mimpi, deh," Lusi menepuk-nepuk bahu Nana, berusaha menenangkan sahabatnya. Sebagai sahabat, ia paham betul bagaimana perasaan sahabatnya mengingat pengalaman menyakitkan di masa lampau. Ia tidak bisa membayangkan kalau ia berada di posisinya, belum tentu akan sanggup. "Iya juga sih, Lus. Makasih ya udah mau dengerin curhatan gue. Semoga apa yang lo bilang bener, gue cuma kebawa mimpi karena terlalu parno aja," Nana memejamkan mata sambil menyenderkan tubuhnya pada kursi yang ia duduki. Hatinya sedikit lega setelah ia menceritakan masalahnya pada Lusi. "Sama-sama, Nana sayang. Pokoknya kalau lo ada masalah, cerita aja ya sama gue. Kalau gue bisa bantu, pasti akan gue bantu," Lusi memberikan jawaban dengan harapan bisa mengurangi sedikit beban di hati sahabatnya. "By the way, udah hampir jam dua, nih. Kita ke kelas, yuk. Biar bisa ambil kursi paling depan jadi gue makin semangat kuliahnya," ajak Lusi kemudian. Setiap mata kuliah ilustrasi, Lusi memang paling antusias. Kalau perlu, baginya semua jam kuliahnya berubah jadi mata kuliah ilustrasi. "Halah dasar lo. Paling mau mandangin wajah ganteng Mr. David, kan? Pakai alasan biar semangat kuliah. Semangat naksir tapi dianya enggak mah iya, tuh," cibir Nana sambil memeletkan lidah. "Yeeee, sirik aja lo. Lo sendiri mengakui dan terpesona dengan kegantengan Mr. David, kan? Hayo ngaku. Jangan-jangan malah lo nikung gue, nih!" Lusi membalas ucapan Nana sambil berjalan beriringan menuju kelas. "Idih ogah banget, Lus. Bukan levelnya beliau lah mahasiswi pas-pasan kayak gue, mah. Apalagi sama lo, jauuuh," mereka pun tertawa bersama menyadari obrolan konyol mereka berdua. Hingga akhirnya mereka berbelok menuju lorong kelas dimana kuliah ilustrasi akan berlangsung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN