Malaikat Penolong

746 Kata
Nana menggigit bibir bawahnya. Bolak balik ia mengeluarkan ponsel dari tas untuk mengecek waktu. Ojek online yang ia pesan sudah lewat lima belas menit masih belum juga datang. Situasi jam pulang kerja di Jakarta jelas banyak ruas jalan yang dipadati kendaraan. Macet dimana-mana. "Duh, aku bisa telat kalau begini caranya," Nana merasa frustasi sendiri membayangkan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Kalau saja Siska, rekan kerjanya tidak membuat kesalahan dalam membuat laporan kemarin, dan hari ini ia malah berhalangan masuk kerja, Nana tidak mungkin harus terkena imbas bertanggung jawab merevisinya dan menyebabkannya pulang over time sejam lamanya. "Duh, keburu nggak ya ngejar waktu ke kampus?" Nana menggumam lirih. Hari ini, ia ada ujian mata kuliah Nirmana. Kalau saja dosennya bukan Mr. Bram, ia masih bisa bernafas lega karena bisa minta ujian susulan atau remidial sekalian. Tapi Mr. Bram? Membayangkan wajahnya saja sudah membuat Nana takut sendiri. Beliau adalah dosen yang tidak mudah untuk diajak negoisasi. Harus tepat waktu, tanpa terlambat sedetik pun. Meminta beliau memberinya jadwal ujian susulan jelas merupakan hal yang mustahil. Sudah pasti amarah yang akan ia dapat, belum lagi nilai yang tidak bakal keluar meski akhirnya ia bisa memperoleh jadwal susulan. Terlambat ujian bukan karena hal urgent seperti misal sakit dengan surat keterangan dokter, artinya harus mengulang mata kuliah dari awal pada semester berikutnya. "Kamu lagi buru-buru, ya? Ayo kalau butuh tumpangan, kebetulan saya bawa motor, jadi bisa nyelip-nyelip lah cari jalan tikus," seorang laki-laki dengan ransel di punggungnya menyapa Nana tiba-tiba. "Umm, iya.. T..tapi, tujuan saya jauh, nanti ngerepotin kalau nggak searah," Nana ragu-ragu menjawabnya. Bukan hanya karena ia tidak mengenal laki-laki asing tersebut, tapi bisa saja orang yang menawarinya tumpangan tersebut arah pulangnya tidak searah dengannya, kan? Tidak mungkin ia harus merepotkan orang lain untuk kepentingan pribadinya. "Tujuan kamu kemana memangnya?" tanya lelaki itu kemudian. "Eh itu, saya ke Kedoya, Jakarta Barat. Dekat gedung Metro TV," jawab Nana gugup. "Walah, itu sih searah banget. Rumahku di Sunrise Garden. Yuk cepetan, keburu telat nanti acaramu," lelaki tersebut menyeret lengan Nana menuju parkiran motor, kemudian ia memberikan satu helm untuk dipakai Nana, dan satunya lagi ia kenakan sendiri. Tidak ada pilihan lain, Nana pun menurut saja. Mungkin saja laki-laki tersebut memang Allah yang kirim untuk menyelamatkan ujian kuliahnya kali ini. Sepanjang perjalanan, Nana duduk dalam diam sambil terus melangitkan doa agar perjalanannya tanpa hambatan, dan ia bisa sampai kampus tempatnya kuliah tepat waktu. "Mas, stop di samping Rumah Sakit di depan, ya," setengah berteriak, Nana memberikan instruksi kepada lelaki yang memboncengnya karena motornya melaju cukup kencang. "Kamu mau ke Rumah Sakit?" balasnya sambil memelankan laju motor. "Bukan, saya buru-buru karena ngejar waktu ujian. Kampus saya ada di belakang Rumah Sakit," jawab Nana kemudian. "Oh kalau begitu ya mending langsung masuk ke dalam saja. Jarak ke gerbang kampus lumayan jauh, loh. Belum lagi dari gerbang hingga lobi juga. Kalau ditempuh dengan jalan kaki, nanti waktu kamu makin terpotong," sahut si laki-laki sambil terus melajukan motornya untuk kemudian berbelok ke jalan di samping sebuah Rumah Sakit swasta yang di belakangnya berdiri sebuah bangunan kampus berlantai 4. Laki-laki yang memberinya tumpangan menghentikan motornya tepat di depan lobi kampus. Melihat jam di tangannya menunjukkan waktu pukul 18.05, masih cukup bagi Nana untuk sholat maghrib sebelum jam masuk pukul 18.30 nanti. “Mas makasih banyak ya tumpangannya, saya permisi dulu soalnya buru-buru,” Nana menganggukkan badan sambil menangkupkan kedua tangannya di depan d**a. “Siap, sama-sama. Besok dan besoknya lagi juga seterusnya, bisa banget kalau mau bareng lagi, ya. Biar saya anterin,” laki-laki tersebut memandang Nana sambil tersenyum lebar. Sorot matanya terus memandang wajah teduh Nana, membuat Nana merasa kikuk. “Eh nggak usah, saya buru-burunya hari ini saja. Ya udah makasih ya sekali lagi,” Nana pun segera bergegas meninggalkan laki-laki tersebut. Tidak ingin ada teman kampus yang melihatnya dan menimbulkan kesalahpahaman. Sampai ia lupa menanyakan nama lelaki yang sudah menjadi malaikat penolongnya hari ini. *** Nana segera menuju mushola kecil di lantai tiga, tidak jauh dari ruang ujiannya nanti. Baru usai ia melepas sepatu dan kaos kakinya, Nana baru sadar kalau di kepalanya masih ada helm yang tadi dipinjamkan pemilik motor yang memberinya tumpangan. Udah dikasih tumpangan gratis dan lupa tanya nama, eh helmnya juga lupa tidak ia kembalikan. Rasanya malu dan merasa tidak tau diri. Tapi tidak mungkin ia kembali turun ke lobi dan mengejarnya untuk mengembalikan helm. Laki-laki tersebut bisa saja sudah pulang, dan lagipula waktunya tidak keburu. Nana tidak mau telat mengikuti ujian. Perkara mengembalikan helm, biar nanti dia pikirkan caranya belakangan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN