Lanjutan - setelah Ruby jatuh dari balkon (dalam keadaan hamil)
RUBY POV
Juan mengaitkan tali pengaman pada kursiku dengan sangat hati-hati, terutama ketika dia menyentuh perutku. Ada satu hal yang mengganjal tentang tubuhku ini tepat di bagian perut yang terasa membesar dan juga mengeras. Aku tidak mau berpikir kalau aku hamil, bagaimana mungkin aku tidak merasakannya?
Saat ini, tentu saja suamiku yang kaya raya ini akan menggunakan pesawat pribadinya untuk bepergian seperti sekarang. Dia mengatakan akan membawaku ke rumah kami yang berada di kota lain yang mungkin bisa mengembalikan ingatanku sedikit demi sedikit tentang awal mula pertemuan kami. Tapi jujur harus kukatakan kalau aku tidak ingat sedikitpun bagaimana aku bisa bertemu dengan pria seperti Juan. Aku juga tidak tahu seberapa besar kekayaan yang dimiliki suamiku itu. Dan aku yakin sebagai pemilik perusahaan Mackinnley Coorporation yang tersohor itu, Juan pasti sangatlah kaya raya. Mungkin saja dengan hartanya itu dia akan sanggup membeli sebuah negara. Pantas saja Hillary dan Mama seperti mengikat ekorku padanya. Inilah alasan mengapa mereka takut sekali aku tidak bisa mengingat Juan, suamiku yang asing.
Melihat profilnya yang sempurna, aku juga yakin bahwa suamiku itu adalah pria idaman semua wanita. Yang aku tidak habis pikir bagaimana dia bisa jatuh cinta padaku, yang hanya seorang gadis biasa? Dan bagaimana aku bisa menikah dengannya sementara hatiku masih terpaut pada Anthony? Aku benar-benar merasa aneh dengan semuanya. Ditambah hatiku sedang kesal memikirkan hubungan Anthony dan Laima, sahabatku yang menusukku dari belakang.
“Ehm, apa nama kota ini, Juan?” tanyaku.
“Cxarvbunza,” jawabnya singkat sambil mengaitkan tali pengamannya sendiri.
Nama kota yang susah disebut, terus terang aku belum pernah dengar nama kota ini sebelumnya. Sebetulnya aku penasaran kenapa aku setuju pindah ke kota ini dan meninggalkan teman-temanku di tempat lama.
“Di mana Cxarvbunza itu?”
“Kak Ruby! Lihat tuh, rumah Kakak kelihatan dari sini,” seru adikku dengan suara yang keras, terlihat sekali dia sedang mengalihkanku.
Dengan malas-malasan aku melongok ke jendela dan melihat pemandangan ke bawah. Mataku kembali membelalak melihat view di luar sana, lagi-lagi seperti melihat sebuah lukisan pemandangan tentang kerajaan di atas langit. Bangunan yang ditunjuk Hillary sebagai rumahku benar-benar terlihat seperti sebuah istana dari atas sini. Ada dua bangunan lain yang lebih besar dari rumahku tadi, bangunan itu terlihat dikelilingi awan, benar-benar seperti awan sungguhan.
Rasanya seperti masuk ke dalam negeri dongeng saja.
Lama kelamaan hanya terlihat gumpalan awan di bawah sana.
“Apa artinya Cxarvbunza itu?” tanyaku penasaran.
Juan melihatku dan kelihatan berpikir keras, matanya melirik ke arah Dimitri, asistennya. “Negeri di atas awan,” jawabnya.
Kepalaku manggut-manggut dan bergumam, pantas saja bangunannya dikelilingi awan. Ya pasti kota itu berada pada dataran tertinggi di bumi ini, karena dia benar-benar diselimuti awan tebal. Tapi kenapa aku tidak merasa kedinginan ya.
***
Juan menggamit tanganku dan mengaitkan jemariku pada jari-jarinya yang besar. Sejujurnya aku merasa risih dengan perlakuannya sekarang. Tapi aku memang istrinya, semua bukti menunjukkan hal itu, kecuali hatiku. Hatiku yang masih saja memikirkan pria lain—Anthony.
Sedang apa dia sekarang? Apa sedang bermesraan dengan Laima?
Kakiku mengikuti derap langkah Juan menuju mobil yang sudah dipersiapkan untuk menyambut kami. Keluargaku menggunakan mobil lain yang berada di belakang kami. Aku bisa tahu Juan sangat baik memperlakukan keluargaku, ini poin positif untuknya. Dia sangat memperhatikan kebutuhanku dan keluargaku.
Setelah di dalam mobil, dengan perlahan aku melepaskan kaitan tangannya, ekspresinya terlihat kecewa tapi dia membiarkanku melepaskan diri. Pria itu hanya menghela napasnya pendek sambil menatapku sebentar dan kemudian sibuk dengan ponselnya.
“Aku ingin bekerja lagi,” cetusku memecah kesunyian.
Kepalanya menoleh dengan cepat ke arahku, aku tahu pasti dia syok dan berpikir kalau sesungguhnya aku tidak perlu lagi bekerja, karena sudah menjadi istri seorang konglomerat yang kaya raya.
Tidak perlu bekerja, tinggal sebut saja apa yang menjadi keinginanku, dan taraaaa... semua akan terwujud dengan segera.
O... no... itu bukan aku sekali.
Aku tahu kalau aku sekarang adalah istri dari pemilik perusahaan besar, tapi aku tidak terbiasa tidak bekerja untuk mendapatkan sesuatu.
“Juan, apakah semua orang di perusahaan tahu kalau aku istri dari pemilik Mackinnley Coorporations?”
Juan menatapku dengan tatapan cemas. “Oh tidak! Aku tahu apa yang ada di pikiranmu, sayang,” jawabnya sambil menggeleng cepat.
Aku berdecak, “Seperti kamu bisa baca pikiranku saja...,” sahutku.
Juan mengembuskan napasnya pendek. Dia memicingkan matanya, seolah tahu benar bahwa aku tidak bisa dibantah. “Aku akan membicarakan hal ini dengan Reynold, soal kesehatanmu,” katanya beralasan.
“Tidak ada hubungannya dengan kesehatanku, Juan.”
Matanya sekilas melihat ke arah perutku, “Tentu ada Ruby.” Dia bergumam pelan sambil menelan ludahnya, kemudian dia menarik napasnya satu kali dengan cukup dalam. “Ruby… ada hal yang harus kau ketahui,” katanya.
“Ya?”
Tangannya bergerak ke arah perutku, “Kau sedang mengandung anak kita,” ucap Juan.
Mataku membesar, syok—terkejut, tercengang dan kaget. Ketakutanku menjadi nyata—aku hamil anak Juan, pria yang masih terasa asing untukku. “A-aku hamil??” Namun, dengan reflek tanganku menyentuh perutku yang keras.
Juan mengangguk, tapi ekspressinya lesu dan sedih. “Kau tidak senang?”
“Tidak, bukan begitu… hanya saja….”
“Kau mengandung bayi kembar, Ruby. Mereka adalah buah cinta kita dan kau sangat bersuka cita saat mengetahui hal itu pertama kalinya,” beber Juan.
Sekali lagi pria itu sudah membuatku kembali tercengang. Bayi kembar? Bukan satu bayi saja tapi dua! Sekarang Juan benar-benar membuatku merasa bersalah pada calon bayiku. “Kenapa kau tidak katakan hal ini dari awal, Juan?”
“Aku hanya mencari waktu yang tepat untuk mengatakan hal itu, Ruby. Dan kurasa saat ini adalah waktunya. Aku tidak mau membahayakan kesehatanmu dan calon bayi kita dengan membiarkan kau kembali bekerja di perusahaan,” katanya sambil melengos. Ada aura ketegasan dalam nada suaranya.
“Hamil itu bukan sakit, Juan. Aku rasa aku masih bisa melakukan sesuatu selama aku hamil,” sanggahku.
“Untuk apa bekerja?”
“Untuk mengisi waktu luangku,” jawabku.
“Gunakan saja waktu luangmu dengan hal-hal yang menyenangkan, yang tidak menguras tenaga dan pikiran. Kau bisa melakukan hal lain, selain bekerja kembali di kantoran, Ruby.”
Aku berdecak. Sepertinya keputusannya menolakku bekerja lagi sudah final dan aku memilih mengalah dulu untuk saat ini. Karena tanpa sadar tanganku sedang mengusap perutku yang—entah sejak kapan terlihat seperti gundukan kecil yang indah—mungkin sejak Juan memberitahuku bahwa ada dua jiwa yang sedang bernaung di dalam rahimku saat ini.
***
Mobil yang kami tumpangi memasuki area perumahan yang sangat luas. Sepertinya suamiku ini memiliki hobi mengoleksi property terutama rumah-rumah yang besar. Hunian ini jelas seperti mansion yang bisa dihuni seratus orang lebih. Dari gerbang depan—yang dijaga oleh tiga orang keamanan—menuju lobi utama, kami disambut beberapa pekerja yang menggunakan seragam pelayan berwarna merah, yang langsung membungkuk dan sibuk membawakan barang-barang kami ke kamar. Dimitri dan Odiv, bodyguard suamiku, menginstruksikan beberapa perintah dan kembali berada di dekat kami. Mereka berdua seperti perangko dan amplop, tidak terpisahkan.
Mereka juga terlihat sangat patuh sekali pada Juan. Dimitri selalu terlihat tenang dan entah kenapa dengan melihatnya saja aku merasakan kedamaian dan ketenangan yang aneh, seperti sedang berada di suatu tempat dan melakukan meditasi. Rileks, ya aku merasa lebih santai hanya dengan melihat wajahnya. Sementara Odiv, dia pria berotot, hampir sama dengan suamiku. Aku rasa tubuhnya terbuat dari besi atau semacamnya, sangat keras. Wajahnya juga keras dan tegas. Ya sangat cocok jadi bodyguard sekaligus supir pribadi Juan.
Pandanganku mengedar melihat sekeliling rumah yang seolah-olah berada di tengah-tengah hutan atau semacamnya. Karena sekitarnya tumbuh pohon-pohon besar dan sejuk, hawanya lembab dan cenderung dingin. Lagi-lagi aku tidak tahu sedang berada di daerah mana.
Aku mendekati Hillary yang berjalan di sebelahku, “Kamu pernah ke tempat ini, Hills?”
Adikku itu mengangguk dengan sangat antusias, “Bukan pernah lagi, aku memang tinggal di sini, Kak,” katanya terdengar sangat riang.
Aku berdecak melihat tingkahnya, tentu saja dia akan tinggal di sini. Dia pasti puas sekali mempunyai kakak ipar yang kaya raya. Cita-citanya adalah mempunyai suami kaya raya atau kakak ipar yang kaya raya, terwujud sudah cita-dita adikku itu.
Juan langsung mengajakku melihat kamar kami yang cukup luas, dan membuatku berdecak kagum sekali lagi. Dinding tembus pandang pada satu sisinya mempertontonkan pemandangan pegunungan yang hijau dan sejuk, kakiku melangkah perlahan di atas lantai kayu yang dingin menuju dinding kaca tersebut.
“Ini indah sekali, Juan....”
“Aku tahu kau sangat menyukai rumah ini, Ruby.”
Aku mengangguk mengakuinya, “Ya, aku menyukainya. Kita ada di mana?”
“Nebrash.”
Nebrash City, tempat tinggal lamaku. Tapi aku belum pernah menemukan pemandangan ini selama aku tinggal di Nebrash. Entah bagian mana dari Nebrash, yang pasti tempat ini memang sangat indah dan modern.
Juan bergerak ke arah tempat tidur dan merebahkan dirinya di sana. Tempat tidur itu cukup besar dengan kasur yang diselimuti seprai putih bersih selembut sutera. Tangan Juan bertepuk dengan kasurnya pada sisi kosong di sebelahnya, dia memberi tanda padaku agar ikut merebahkan diri bersamanya.
Lalu, dengan langkah yang ragu aku berjalan ke arahnya dan duduk di tepi tempat tidur. Dan tanpa kuduga Juan menangkapku sekaligus memelukku dan membaringkanku di sebelahnya. Hal itu cukup membuatku kaget, sehingga aku memberontak dan berusaha melepaskan diri dari dekapannya.
Mata birunya yang jernih menatapku dengan kecewa. “Padahal biasanya kau akan langsung memelukku jika kuperlakukan seperti tadi, Ruby,” katanya pelan.
Aku berdiri dan merasa bersalah, “Maaf Juan...,” ucapku tulus. Tapi kurasa ini masih terlalu cepat. Dan aku belum terbiasa dengan sikapnya yang spontan dan tiba-tiba seperti itu. Jantungku berdegup cepat membayangkan seperti apa jika aku dan Juan b******a. “A-aku—mau lihat kamar Hillary dulu,” dalihku sembari melangkah cepat keluar kamar.
Aku menghela napas panjang di pintu luar, fiuh... apa yang terjadi tadi? Kenapa jantungku berdegup cepat sekali? Tanganku memegang dadaku, berusaha untuk merasakan degup jantungku yang keras dan cepat. Lambat laun tanganku turun ke perut dan sekali lagi mengusapnya dengan lembut, aku memandangi perutku sambil bergumam pelan, “Bagaimana mungkin aku tidak bisa mengingat cara kalian dibuat anak-anakku?”
“Nyonya Ruby?”
Suara lembut Dimitri tetap saja mengejutkanku. Sebetulnya aku agak risih ketika dia ataupun Odiv harus menyisipkan gelar Nyonya di depan namaku. Tapi apa boleh buat, bukankah aku memang nyonya rumahnya di sini.
Aku menatap mata Dimitri yang teduh dan bertanya arah kamar Hillary. Namun, tanpa bertanya lebih lanjut pria itu berinisistif mengantarkanku ke sana. Ck, rumah ini benar-benar terlalu besar untukku. Aku jadi rindu apartemen lamaku yang mungil.
Dimitri berhenti di depan sebuah kamar dengan pintu berwarna putih. “Ini kamar Nona Hillary, Nyonya Ruby,” katanya.
“Terima kasih, Dimitri,” balasku dan membiarkannya pergi.
Aku mendorong pintu kamarnya setelah memberikan ketukan sekali. Suara Hillary bergema menyuruhku masuk. Lagi-lagi mataku dimanjakan oleh pemandangan yang menakjubkan. Bukan salah Hillary jika dia betah tinggal di tempat ini. Juan memang menyuguhkan kemewahan yang sebenarnya pada adikku itu.
“Kamar kamu bagus sekali Hills!” seruku. “Aku tidak percaya ini adalah kamar kamu.”
Hillary tersenyum riang sambil melemparkan dirinya ke atas kasur, “Itulah kenapa aku betah tinggal di sini,” katanya.
Aku menyipitkan mataku sambil memandangnya, “Ya tentu saja. Mana mungkin kamu mau meninggalkan kemewahan seperti ini dan kembali ke kamar kamu yang sempit di rumah Mama?” cibirku.
“Aku beruntung jadi adik Kak Ruby, bukan begitu?”
Aku merasa adikku itu sedang menyindirku. “Maksud kamu, aku harusnya merasa beruntung juga karena bersuamikan Juan bukan Anthony, begitu kan?”
“Nah itu pinter!”
Aku mendengus keras sambil mengempaskan bokongku di tepi tempat tidur empuk milik Hillary. “Hills… apa kau tahu soal kehamilanku?”
“Huh? Jadi Kak Juan sudah bilang ke Kak Ruby?”
Sudah pasti semua keluargaku tahu soal kehamilanku ini. Kan hanya aku saja yang hilang ingatan, pikirku dalam hati. Hillary menghampiriku dan ikut duduk di tepian tempat tidur.
“Kak. Bayi kembar ini adalah buah cinta Kakak dan Kak Juan lho. Walau Kak Ruby belum mengingat bagaimana panasnya waktu membuat mereka, tapi mereka sudah hidup di dalam sini…,” katanya sambil mengusap perutku.
Ck, memang dasar aku dan Hillary lahir dari rahim yang sama, pemikiranku pun hampir sama denngannya. ‘Lupa cara membuat si kembar’, aku tersenyum tipis sambil menunduk dan memandangi perutku sambil menyingkirkan tangan Hillary. “Issh, otak kamu tuh ya….”
“Kak Ruby bisa bayangkan kan panasnya memproduksi dua anak sekaligus?”
Pertanyaan apa sih Hillary ini! Pipiku benar-benar memanas sekarang karena mau tidak mau aku membayangkan Juan yang tanpa busana mulai mencumbuku dan lalu… argh! “Hills!” aku mendorong kepalanya, “cuci kepala kamu! Kotor pikiran kamu,” omelku.
“Jiyee… wajah Kak Ruby memerah tuh. Pasti lagi membayangkan ya bagaimana Kak Juan mulai… aakh!”
Hillary berhenti mengoceh setelah aku mencubit bibirnya yang tidak terkendali itu. Bisa-bisanya dia menggodaku dengan fantasy liarnya itu. Dasar.
“Jadi apa yang kamu lakuin selama tinggal di sini?”
“Makan, tidur, nonton, shopping, ajak teman-teman berenang….”
Sekali lagi aku menoyor kepalanya, “Jangan sembarangan! Semua ini bukan harta kamu!”
“Aduh—bukan harta aku memang, tapi punya kakak iparku yang baiknya kelewatan,” ujarnya.
Aku berdecak lagi menatapnya. “Dengar ya Hills, aku benar-benar tidak kenal siapa suamiku sekarang. Aku bahkan tidak ingat bagaimana pertemuanku dengannya!”
Hillary menarikku lagi untuk duduk di tempat tidurnya yang luar biasa empuk dan nyaman. “Kak Ruby mungkin tidak kenal, tapi Kak Ruby sekarang sedang mengandung anaknya. Dan ingat Kak… yang amnesia itu Kakak bukan Juan. Selama Kak Juan mau menerima keadaan Kak Ruby yang seperti ini—tidak mengingatnya—itu sudah cukup mengobati Kak Juan. Jangan Kakak tambah lagi dengan penolakan-penolakan lain yang membuat Kak Juan semakin bersedih! Pikiran Kak Juan itu sudah banyak lho Kak! Dia adalah pemimp—” Hillary mengatupkan mulutnya ketika melihatku melotot tajam ke arahnya, “Maksudku, Kak Ruby cuma lupa sama Kak Juan, bukannya tidak kenal! Dengar ya Kak, tidak ada pria mana pun yang bisa menandingi Kak Juan, sekalipun itu Kak Anthony,” tukasnya berapi-api.
***