PART 9 - THAT

1384 Kata
RUBY POV  Aku masih berada di kamar Hillary, kulangkahkan kaki perlahan menuju dinding kaca milik kamar Hillary. Pemandangan di luar sana begitu menyejukkan. Pohon-pohon besar dengan batang-batangnya yang kokoh, seolah menjadi penjaga rumah Juan yang luas ini. Gemerisik daun yang bergesek terkena tiupan angin mungkin agak menyeramkan jika didengarkan di malam hari nanti. Namun, saat ini, ketika suasana masih terang benderang, suara daun yang bergesekan itu ibarat musik hutan yang indah. Tanpa sadar kakiku melangkah ke arah pintu balkon kamar Hillary. Tapi suara Hillary menyentakku dan membuatku bergeming, “Berhenti di sana Kak! Kak Ruby dilarang berada di area balkon!” serunya sambil berlari menghampiriku dan menarikku masuk lagi ke dalam kamarnya dan dia mengunci pintu balkon itu. Ya ampun! Ini sudah pasti arahannya Juan, si over protektif itu. Pria itu benar-benar terlalu khawatir kalau aku jatuh lagi. Padahal letak kamar Hillary ini hanya di lantai dua—maksudku tidak setinggi rumah Juan yang bak istana di Cxarvbunza itu. Dengan terpaksa aku menghela napas pasrah. “Oke, baiklah-baiklah…,” kataku dan menuju sofa yang ada di sudut kamar Hillary. “Kalau begitu mari kita dengar saja ceritamu tentang Anthony dan Laima,” tuntutku. Ekspresi adikku berubah aneh, dia terlihat gugup sambil mendekatiku di sofa, “Ehm, Kak Ruby—soal itu aku mau Kak Ruby berjanji dulu—,” “Janji apa?” Aku menatapnya curiga, adikku ini memang banyak akalnya. “Janji untuk tidak marah—setelah mendengar penjelasanku nanti,” katanya. “Memangnya kenapa aku harus marah?” “Ya ampun repot banget deh. Ayo janji aja dulu cepetan!” desaknya aneh, malah semakin membuatku curiga. “Hills… tergantung apa yang akan kamu sampaikan, kalau memang bukan hal yang membuatku marah, ya untuk apa aku marah??” Hillary mendengus sambil menunduk—kesal lebih tepatnya. “Susah memang kalau kepalanya keras seperti batu,” dumalnya pelan. “Seperti kepalamu tidak keras saja,” balasku. “Ayo, lekas katakan Hills.” Aku menuntutnya. Hillary menghela napasnya panjang, “Anu Kak, sebenarnya—emhh—waktu itu—waktu yang aku bilang Kak Anthony sudah menikah—” Dia menelan ludahnya gugup. Aku semakin fokus dan serius menatapnya, menuntutnya agar dia terus melanjutkan kalimatnya. Tapi adikku itu malah terdiam sambil menunduk, “Hills?” “Maaf aku sudah berbohong tentang masalah itu, Kak,” ujarnya pelan. Mataku menyorot tajam ke arahnya. Hh? Bagaimana maksudnya tadi—berbohong? “Eits! Kak Ruby sudah janji tidak akan marah kan?” Aku menggeleng, “Aku tidak berjanji apa pun,” tegasku. “Coba jelaskan maksud kamu itu??” "I-iya, maksudku aku sudah berbohong tentang Kak Anthony yang sudah menikah dengan Kak Laima,” katanya. “Kenapa kamu harus berbohong sih Hills??” tanyaku geram. “Ya, karena aku tidak mau Kak Ruby ninggalin Kak Juan demi cowok masa lalu Kakak itu!” Iiish! Adikku ini memang suka menyimpulkan sendiri teorinya. Dari mana dia punya pikiran kalau aku akan meninggalkan Juan untuk Anthony? Walaupun aku tidak ingat menikah dengannya tetapi kenyataannya aku adalah istri sahnya saat ini. Tidak mungkin bisa semudah itu aku meninggalkan Juan demi Anthony. Atau mungkin saja? Tidak! Sepertinya aku bukan wanita seperti itu, apalagi saat ini aku mengandung anaknya. “Apalagi Kak Ruby tahu kalau ternyata Kak Anthony juga punya perasaan yang sama setelah sekian lam—” Hillary menutup rapat-rapat mulutnya sambil membesarkan matanya, seperti merasa bahwa dia telah salah bicara. “Ups!” “Apa kamu bilang barusan Hills?” Demi Tuhan, aku mendengar kalau Hillary mengatakan bahwa Anthony juga memiliki perasaan yang sama denganku. Benarkah? Setelah sekian lama aku memendam perasaan pada pria itu, akhirnya berbalas juga. Tidak kupungkiri muncul rasa hangat dalam dadaku. Akhirnya. Aku menatap manik mata milik Hillary yang penuh perasaan bersalah, dia menggelengkan kepalanya masih sambil menutup mulutnya dengan rapat. “Mmmh—aku tidak bilang apa-apa!” katanya berdalih. Tapi aku sudah terlanjur mendengarnya dengan jelas. Yang aku heran, jika memang Anthony memiliki perasaan yang sama denganku, kenapa aku malah menikah dengan orang lain? “Aku mendengarnya Hills. Tapi yang aku tidak habis pikir, kenapa aku malah menikah dengan Juan, bukan Anthony?” “Karena Kak Anthony itu lamban! Dia terlambat mengatakan kalau perasaannya ternyata sama dengan Kak Ruby. Saat itu Kak Ruby dan Kak Juan sudah bertunangan…,” tutur Hillary—seolah ada rasa lega karena Anthony terlambat menyatakan perasaannya padaku. “Tapi aku bersyukur dia terlambat, karena kalau tidak, pasti Kak Ruby tidak bertemu Kak Juan.” Aku berdecak bisa membaca arah pikirannya. *** “Kita harus menyampaikan secara perlahan padanya, Juan. Dia bisa syok jika mengetahui identitasmu dan juga siapa dirinya jika kita mengatakannya sekarang. Kau harus memikirkan kondisi kehamilannya.” Aku mendengar suara sepupu Juan yang dokter itu dari luar ruangan. Aku baru saja melewati sebuah ruangan—setelah dari kamar Hillary dan mendengar suara Juan dengan seseorang dari dalam—ternyata Reynold. Saat ini aku merasa mereka sedang membicarakanku. “Berapa lama lagi menurutmu aku bisa menyampaikan kebenarannya Reyn?’ “Tunggulah sampai Ruby bisa menerima bahwa kau adalah suami yang dicintainya dan calon anak kembar dalam rahimnya adalah hasil buah cinta kalian berdua,” ujar Reynold. “Dia bisa menerima kehamilannya dengan baik pada saat aku memberitahunya. Dan aku yakin kalau dia juga akan bisa menerima identitas dirinya dan juga aku….” Juan berkata. “Aku sangat frustasi tidak bisa membaca pikirannya, Reyn,” tambah Juan. Membaca pikiran? “Kau belum mencoba telepatinya, kan?” “Dia akan menganggapnya itu suara hantu—sudah pasti,” timpal Juan. Sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan sih? Membaca pikiran, telepati? Aku bisa mendengar Reynold sedikit terkekeh. “Aku percaya itu.” “Hillary sudah memberitahu Ruby bahwa berita pernikahan Anthony dan Laima adalah kebohongan yang terpaksa dibuat untuk mencegah wanita itu lari ke pelukan cinta sama lalunya.” Juan menjelaskan. Eh? Tunggu, Juan tahu dari mana kalau Hillary memberitahu hal itu padaku? Bukankah aku baru saja dari kamar Hillary. “Kau menguping, huh?” sela Reynold. Juan tidak menjawab atau aku yang tidak mendengar jawabannya. Ya, bisa saja dia melewati kamar Hillary dan menguping seperti aku saat ini. Ck, “Aku tidak bisa menyentuhnya Reyn….” Suara Juan terdengar cukup putus asa. Karena harus menyampaikan keluhannya pada sepupunya itu dan entah kenapa aku merasa bersalah karenanya. Dia memang suamiku, tapi untuk saat ini aku benar-benar belum bisa menganggapnya atau membiarkannya seperti itu. Aku memberanikan diri mengetuk pintunya. Suara bariton Juan terdengar menyuruhku masuk. Reynold menyapaku dengan membungkukkan tubuhnya sedikit saja. Dan aku membalasnya dengan senyuman yang tulus. “Hai Reyn….” “Kalau begitu aku pamit, Juan.” Reynold malah memilih pergi daripada harus berada di tengah-tengah aku dan Juan. Setelah dalam ruangan hanya ada aku dan suamiku saja, aku melihat ke arah Juan—pria sempurna yang hampir putus asa menghadapiku—istri yang hilang ingatan tentangnya. Aku bisa mencium aroma maskulin kayu mint yang menguar dari tubuh pria itu—walau jarakku dengannya kurang lebih dua meteran. "Maaf Juan, aku tahu penyakitku ini pasti membuatmu sangat kecewa karena aku tidak ingat apa pun tentang kita," kataku sambil memandang dan memutar cincin yang melingkar pada jariku. Juan mengulum bibirnya sambil menghela napasnya. "Ya, terus terang aku memang sangat kecewa... tapi tidak padamu, Ruby," ujarnya sambil menghampirku dan memegang bahuku. Dia menatapku dengan matanya yang tajam. "Tapi aku akan membuatmu mengingat lagi setiap detil tentang kita, Ruby." Aku mengangguk pelan dan tidak mengelak ketika Juan menarik tubuhku dalam dekapannya. Tubuhnya hangat, keras dan nyaman. Tanpa sadar tanganku melingkar di pinggangnya—seolah tubuhku memang sangat pas menempel padanya. “Aku akan berusaha untuk mengingat semua tentangmu Juan. Kumohon kau mau bersabar…,” kataku, jujur. Dia mendorong tubuhku dengan tangannya dan memandangku dengan wajah yang berbinar, seolah apa yang kukatakan membuatnya senang. “Aku dengan senang hati membantumu membangkitkan ingatan itu, Ruby,” katanya sambil mendongakkan kepalaku ke arahnya. Sepertinya dia mau melakukan sesuatu—dia mau menciumku. Tenggorokanku tercekat dan menjadi gugup seketika. Kakiku dengan sendirinya melangkah mundur dan membuat Juan mengurungkan niatnya. Dia memnatapku sambil tersenyum, “Tapi kesabaranku ada batasnya, My Queen….” Senyum tipisnya menggetarkan dadaku. Juan melepasku setelah mencium puncak kepalaku. Lalu dia berjalan menuju keluar ruangan sambil berujar, “banyak hal yang harus kita bicarakan nanti. Istirahatlah lebih dulu,” katanya. Aku menghela napas sambil bergumam dalam hati, Ya… memang sepertinya banyak yang harus kita bahas, Juan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN