bc

Cinta Putih Axel

book_age16+
716
IKUTI
2.6K
BACA
drama
bxg
like
intro-logo
Uraian

Adakah di dunia ini cinta putih? Cinta yang tanpa syarat dan menerima orang yang dicintai apa adanya. Tentu ada dan cinta itu adalah milik Axel. Bermula dari rasa kagum berkembang kepada memuja dan akhirnya mencintai. Bagi Axel cinta menjadi tujuan hidupnya. Karena orang yang dicintainya adalah muskil. Ia mencintai Bimo yang telah dianggapnya sebagai papa kedua.

Cinta tidak bisa memilih akan datang dan pergi pada siapa, ia akan menemukan jalannya sendiri lewat caranya sendiri.

Axel yang semula mengagumi Bimo sebagai sahabat ayahnya telah berusaha mengusir perasaannya kuat-kuat. Begitu pun Bimo yang selalu merutuki perasaannya.

Tapi, apakah cinta lantas menjadi sebuah a*b karena hadir di antara mereka berdua. Semua orang di sekelilingnya menuduh cinta mereka berangkat dari sebuah nafsu belaka? Axel yakin cintanya adalah murni dan suci. Dia mencintai Bimo apa adanya. Begitu pun Bimo, ia merasa cintanya pada Axel begitu kuat. Tapi, Bimo tahu diri. Siapa ia? Siapa Axel. Bila perlu demi kebahagiaan Axel, ia rela pergi sejauh mungkin. Tempat yang tak akan bisa dijangkau Axel, bila perlu ke planet lain sekalipun.

Tak ada cinta yang sia-sia, takdir cinta Axel yang diperjuangkan mati-matian dan meyakinkan semua orang, adalah tidak mudah.

Sementara Bimo yang malu pada perasaannya sendiri akhirnya hanya melukai perasaan Axel bertubi-tubi.

Apakah cinta mereka akan bersatu?

chap-preview
Pratinjau gratis
Kupu-Kupu Ungu
Tidak hanya udaranya yang sangat dirindukan Axel, tempat ini adalah napas baginya. Semua yang dia cinta ada di sini, Ayah juga Om Bimo. Di sebuah perkebunan organik di kaki Gunung Tangkuban Perahu, di mana kedua orang yang dicintainya menghabiskan waktu. Mereka mengurus perkebunan, pemasaran sekaligus distribusi. Liburan semester sangat dinanti Axel, di waktu-waktu seperti ini dia bisa menghabiskan rindu yang dibawanya dengan leluasa. Kaki yang jenjang menyusuri rerumputan yang menghampar, sebelum akhirnya sampai di perkebunan sayuran organik milik Daniel, ayahnya. Sejauh mata memandang, dia seolah melihat keindahan yang menyejukkan mata, belum lagi udara pegunungan yang sejuk menerpa wajah cantiknya. Mata Axel mencari-cari sosok yang wajahnya selalu terbayang dalam benak akhir-akhir ini. Di sana dia melihat punggung laki-laki itu. Dengan baju kotak-kotak biru dan jeans belel membalut kakinya, Bimo tampak keren di mata Axel. Dia pun menghambur, melesat membelah angin merengkuhkan pelukan pada punggung itu, tawanya renyah penuh kerinduan. Bimo berbalik dan membalas pelukannya hangat, ketika disadari yang memeluknya adalah Axel. Sedang dari arah berlawanan sepasang mata tengah menatap mereka dengan rasa iri, mata itu milik Daniel. Axel pun sedikit jengah ketika tahu sang ayah tengah menatap mereka. Dengan cepat dia pun menghambur ke pelukan ayahnya manja. “Aku kangen Ayah!” Satu kecupan mendarat di kening Axel. Tak ada perkataan apa-apa hanya sebuah kecupan di kening dan pelukan hangat. Seolah sebuah kecupan telah mengartikan banyak hal daripada sekadar kata-kata. Ya, begitulah Daniel, sedikit berkata, tetapi banyak bekerja hingga mengantarkannya menjadi pengusaha sayuran organik yang sukses. “Kamu sudah makan belum?” tanya Bimo, memecah kekakuan di antara ayah dan anak. Axel menggeleng, tatapannya lekat pada wajah Bimo. Setelah mengobrol sebentar, lalu mereka pun beranjak menuju sebuah rumah mungil yang terletak agak naik dari letak perkebunan. Axel dengan riang berlari, beberapa saat kemudian menghilang di balik pintu, diantar dua tatapan mata. Daniel dan Bimo saling bertatapan, seolah tak percaya anak kecil itu kini beranjak menjadi wanita dewasa. Waktu terasa berlalu sangat cepat, bergulir tanpa jeda mengantarkan Axel pada dunianya kini. Dunia anak muda penuh gejolak. Axel sudah berada dalam kamar mungilnya, tak ada yang berubah semua masih sama, bau kamar dan barang-barang masih terletak pada tempatnya, sempurna! Di dinding tempat tidur tergantung sebuah lukisan sepasang kupu-kupu berwarna ungu, pemberian Bimo di hari ulang tahunnya. Ditatapnya lukisan itu, tiba-tiba ada perasaan hangat menjalari hatinya. Perasaan itu, dia rasakan kerap kali mengingat sosok laki-laki itu. Rasa itu, dia rasakan menguat, ketika harus berpisah untuk indekos di Bandung. Axel kuliah di perguruan tinggi negeri jurusan seni rupa. Jarak antara Bandung dan Lembang memang tidaklah jauh. Namun, Axel ingin fokus kuliah. Dia berkomitmen pulang ke Lembang hanya jika ada keperluan mendadak atau liburan kuliah saja. "Axel!” Suara Bimo membuyarkan semua lamunan, sebuah ketukan menyusul di daun pintu kamar yang setengah terbuka, dilihatnya Bimo melonggokkan wajah di sana, wajah itu masih tampan meski berangkat tua. Tapi, laki-laki makin berumur justru makin seksi bukan? tanya Axel dalam hati. Dia menepis kata hatinya segera. Ngaco kamu! Bisik malaikat putih ke telinganya. "Hello, are you ok?” tanya Bimo melihat Axel yang tengah menatapnya. Lalu gelagapan mendapat sebuah pertanyaan yang tiba-tiba. "Of course, i’m ok, Om. I miss you so much.” Kembali Axel memeluk Bimo tanpa canggung sedikit pun, dibalas Bimo dengan pelukan hangat sambil mengacak-ngacak rambut Axel. Kembali perasaan aneh itu menjalari hati Axel, hingga pipinya bersemu merah. "Ah, kamu baru dua minggu saja enggak ketemu!” Dua minggu ya? Kok dua minggu lama banget ya? Aku begitu kangen sama Om Bimo, sama harum tubuhnya, sama suaranya? Sama bahasa tubuhnya? Oh, my God, kok sama Ayah enggak sekangen ini ya? Apa ini salah? Beberapa pertanyaan menggelitik hati Axel. Ya, dua minggu yang lalu Bimo sempat mampir di tempat kosnya menitipkan sayuran pemberian ayahnya. Saat itu kebetulan Bimo mengantar pesanan ke sebuah toko sayuran organik di Bandung selatan. “Hello!!” teriak Bimo lagi, Axel terperanjat seolah kaget dan disambut tawa Bimo lepas. Matanya beralih lagi pada lukisan di dinding kamarnya. “Om, lihat lukisan itu!” “Yups!” Tentu Bimo ingat, lukisan itu ia buat dengan segenap hati. Kala itu ia bingung harus memberi kado apa untuk hari spesial Axel, kado yang akan diingat Axel seumur hidupnya. Senyum mengembang di bibir Bimo. “Kenapa Om lukis sepasang kupu-kupu? Kenapa tidak satu saja. Aku tahu alasannya, Om. Yang itu Om dan yang itu aku kan? Kita selamanya tak akan terpisahkan.” Hati Bimo bergetar hebat, ia melihat binar di mata Axel dan ia sempat terpukau. Tangannya meraih tangan Axel cepat mengalihkan semua pesona yang menyihir dan mengutuk habis-habisan getar yang dirasakannya. "Ayo, makan dulu!” Otaknya masih diserbu keheranan atas pesona yang menawannya untuk beberapa saat. Namun, ia berusaha mengalihkan perhatian Axel. Anak ini lama-lama berbahaya juga, bisik hati Bimo. "Om, masak apa sih?” tanya Axel kemudian, setelah mereka mengambil posisi di kursi makan. Dilihatnya Ayah Daniel tengah menuangkan nasi ke piringnya sendiri. “Lihat saja sendiri, tuh!” tunjuk Bimo dengan sudut matanya. Segera saja Axel menyapukan tatapan ke atas meja makan. Seperti biasa, ada sup gurame kesukaannya dan satu lagi tempe goreng kering. "Bisa saja si Om ini.” Lagi-lagi pancar kekaguman tersirat di mata Axel tertangkap oleh mata Daniel, sesaat sempat membuatnya resah, lalu mengalihkan arah pembicaraan dengan tiba-tiba. "Bagaimana kuliah kamu Axel?” tanya Daniel, suaranya berat. Wah pertanyaan serius nih, bisik hati Axel. “Ya, gitu deh!” “Kalau jawab yang benar, dong. Masa ditanya jawabannya, ya gitu deh!” protes Bimo, lagi-lagi Axel hanya menatapnya melongo. Bimo makin aneh melihat tingkah Axel Ada apa dengan anak ini? Aneh banget, batin Bimo. Jarang-jarang ia lihat Axel bertingkah aneh seperti itu. "Maksud Axel, sejauh ini baik-baik saja enggak ada masalah, puas guys?” Daniel dan Bimo saling menatap lalu melempar senyum. "Lalu keadaan di sini gimana?” "Ya, gitu deh!” jawab Bimo dan Daniel bersamaan, dilihatnya bibir Axel ditarik ke atas membentuk cibiran keki. Pura-pura acuh sambil menyantap makanan, dongkol di-smash satu-satu. Awas ya kalian! Teriak hati Axel. *** Ketika kabut masih menyelimuti pagi dan matahari seolah enggan muncul segera, badan Axel terlihat menggigil. Lalu dia menarik selimut menyelimuti seluruh tubuh, menyerah pada pagi yang terlambat datang lalu rebah kembali, kalah oleh kantuk yang menggelayut di dua kelopak mata. Namun, telinganya sayup-sayup mendengar lagu milik Tania Maria, lagu jazz lawas kesukaan Bimo. Tak urung selimut yang tadi ditarik untuk menyelimuti tubuh, dia singkirkan segera. Axel gegas bangun, tubuh mungilnya tampak tenggelam dalam kemeja piyama longgar milik Daniel. Hal pertama yang dilakukannya adalah membuka jendela kamarnya lebar-lebar, membiarkan angin dingin pegunungan Lembang masuk lepas dan menerpa wajahnya dengan lembut. Menghirup udara segar itu, menghelanya dengan panjang seolah ingin mengendapkan udara itu ke dalam paru-paru selama dia mampu, lalu menghembuskannya secara perlahan, badannya terasa segar. Kalau di kota Bandung udaranya sudah tidak sesegar itu, barangkali terlampau sesak oleh bangunan dan jalan beraspal atau mungkin efek rumah kaca. Hari apa ini hari apa? Axel panik mencari-cari kalender, dilihatnya satu tanggal telah dilingkari dengan tinta merah. Cepat-cepat Axel menyambar handuk dan mandi ala koboy yaitu mandi hanya lima menit saja. Sekejap kemudian dia telah berada di ruang tengah. Dilihatnya Bimo tengah menyesap kopi hitamnya, harum kopi seketika menyerbu penciuman Axel. Mata Bimo sedikit melebar ketika disadari anak itu sudah berada tepat di depannya, tersenyum manis sekali. "Om, mau pulang ke Jakarta?” tanya Axel. Ada nada sedih dalam suara Axel, seketika kening Bimo berkerut, selama ini setiap tanggal tua di setiap bulannya memang Bimo pulang ke Jakarta memberikan jatah waktu untuk bundanya, barang satu minggu hanya untuk melepaskan rasa kangen. Selama ini tidak ada masalah, pun ketika Axel masih kecil. Kepulangannya semacam ritual yang tidak pernah ditinggalkan. “Kenapa, Xel?” “Enggak, sedih aja. Baru Axel ketemu Om, sudah pergi lagi!” “Kan, ada Ayah Daniel. Kamu bisa minta Ayah kamu, menemani kamu ke mana kamu suka. Mumpung liburan.” Tiba-tiba Axel duduk di pangkuan Bimo, menyandarkan kepalanya seperti yang sering dia lakukan sewaktu kecil, entah apa yang membuat Bimo sedikit canggung. Mungkin dulu waktu Axel masih kecil, perlakuan seperti itu sangat ia senangi. Tapi, kini Axel adalah wanita dewasa, bersentuhan seperti itu, dikhawatirkan Bimo akan berdampak pada hubungannya kelak, setidaknya Bimo menyadari Axel tetap bukan anaknya bukan darah dagingnya. "Tapi, enggak seasyik dengan Om.” Lagi-lagi Axel beralasan. “Kamu mau ikut sama Om?” tanya Bimo, semula ajakan basa-basi. Tapi, dilihatnya ada binar di kedua bola mata Axel. "Boleh Om? Aku kangen sama bunda Om juga,” rajuk Axel. Sesaat Bimo tampak berpikir sebelum akhirnya, “Tanya deh sama Ayah kamu!” “Asyik, pasti boleh Om.” Satu kecupan mendarat di pipi Bimo, ia tertegun menepis seluruh perasaan yang menjalarinya dengan tiba-tiba dan kembali merutukinya habis-habisan. Anak itu menghilang dari tatapannya dengan riang mencari Daniel. *** Sepanjang dalam perjalanan kereta api, Axel tertidur dengan posisi kepala bersandar ke bahu Bimo. Diperhatikan anak itu, kini tumbuh jadi anak yang cantik, pintar, tetapi moody. Karakternya campuran antara karakter dirinya dengan Daniel. Satu saat, dia bisa menjadi pendiam. Namun, di saat yang lain dia bisa jadi hangat dan ceria. Dilemparkan pandangan ke luar jendela kereta api, semua pohon seolah tengah berlarian. Tiba-tiba seraut wajah cantik terbayang dalam benaknya, wajah cantik Axel adalah wajah milik Ratih. Dulu mereka bertiga adalah tetanggaan di Bandung, rumah mereka saling berdekatan. Ibu-ibunya pun dekat satu sama lain, sejak kecil mereka satu sekolah. Ya TK, SD, SMP sampai SMA, walaupun tidak dalam kelas yang sama. Ternyata tanpa sepengetahuan Bimo, Daniel dan Ratih menjalin hubungan yang serius hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah di usia muda. Kala itu perasaannya campur aduk, ada perasaan bahagia juga takut kehilangan. Bimo takut dua sahabatnya itu akan meninggalkannya. Namun, ketakutan itu sirna, ternyata persahabatan itu terus berlangsung. Waktu menikah, Daniel dan Ratih masih kuliah di tingkat satu, setahun kemudian mereka dikaruniai Axel. Hal yang terberat harus dilalui Bimo adalah melihat kepergian Ratih dan melihat kesedihan yang dialami oleh Daniel. Ratih mengalami pendarahan hebat ketika melahirkan Axel, kelahiran Axel sekaligus merenggut nyawa Ratih. Ia harus memberikan dorongan, semangat hidup dan motivasi pada Daniel yang terpuruk setelah kematian Ratih. Dan itu memakan waktu yang cukup lama bertahun-tahun kemudian bahkan hingga kini kesedihan Daniel bisa ia lihat dari sikapnya yang tertutup. Sedang ia sendiri pun sudah mencoba beberapa kali menjalin hubungan serius dengan beberapa gadis. Namun, selalu kandas di tengah jalan. Selepas kuliah selesai dan ibunya pindah mengikuti Rara kakak perempuannya ke Jakarta, Bimo memutuskan untuk tinggal bersama Daniel dan membangun perusahaan di bidang Agrobisnis. Daniel membangun semacam paviliun kecil untuk Bimo di belakang rumahnya, agar Bimo memiliki privacy tersendiri. Paviliun cantik terhubung jalan kecil yang ditumbuhi bunga perdu di sisi kanan kirinya menuju rumah mungil milik Daniel. Ingatan Bimo berlarian ke masa lalu, lipatan-lipatan waktu terentang kembali bagai layar putih menyuguhkan masa demi masa melengkapi setiap episode kehidupan. Baginya Daniel bukan hanya sekedar sahabat. Namun, ia telah menganggapnya sebagai saudaranya sendiri. Sedih dan bahagia silih berganti telah mereka lalui bersama, sebagian hidupnya telah ia dedikasikan untuk Daniel terutama Axel. Ia melihat pertumbuhan Axel dan telah membagi sebagian pengalamannya bagi Axel. Dilihatnya Axel masih tertidur di pundaknya, pulas. Semula ia dan Daniel mengharapkan Axel untuk mengambil jurusan manajemen atau marketing, agar kelak Axel dapat mengaplikasikan semua ilmunya di perusahaan yang mereka bangun. Tapi, Axel bersikeras mengambil jurusan seni rupa. Meski Axel sempat bersitegang dengan Daniel atas pilihannya itu, Bimolah yang menjadi penengah di antara mereka berdua. Akhirnya, Daniel melunak dan memberikan pilihan kepada Axel sepenuhnya. Selalu jika ada permasalahan di antara keduanya, Bimo akan tampil sebagai penengah sekaligus sebagai penenang. Kini tidak hanya Daniel yang bangga melihat pertumbuhan Axel, dirinya pun menjadi bagian di tengah pertumbuhan Axel. “Om, kok Om senyum-senyum sendiri sih?” Sebuah pertanyaan membuatnya terkejut, dilihatnya Axel terbangun dan tengah menatapnya menggoda. “Om ingat kamu lagi kecil Axel.” “Kenapa Om?” “Om paling enggak tahan kalau kamu sudah merajuk, nyerah deh. Akibat kelakuanmu itu tak jarang Om dimarahin ayahmu, dianggapnya om terlalu lunak sama kamu,” urai Bimo, Axel tersenyum sama-sama mengingat tingkahnya waktu kecil. Dia paling bisa merajuk Bimo, dan ia pun mati kutu dibuatnya. “Seperti sekarang ini ya Om? Om enggak bisa nolak aku kan untuk ikut?” Tatapnya masih menggoda, Bimo hanya bisa tersenyum dan seperti biasa mengacak-ngacak rambut Axel greget. “Gimana Bunda sekarang, ya, Om?” tanya Axel mengalihkan pembicaraan. “Yang pasti tambah tua.” "Ah, si Om itu mah sudah pasti, emang Om enggak tambah tua gitu?” “Eits, tua-tua juga Om kan masih ganteng, masih banyak gadis yang antre di belakang Om tuh.” Tiba-tiba, ia melhat wajah Axel memerah dan beringsut menjauh, Bimo terpana melihat perubahan sikap Axel, kembali hatinya bergetar. Ada apa denganmu Axel, jangan katakan kau cemburu? Debar yang aneh kembali menyerbu perasaan Bimo, hatinya resah seketika. *** Sepanjang sisa perjalanan, mereka berdua saling berdiam diri. Bimo masih sibuk bertanya-tanya tentang perubahan sikap Axel. Sedang Axel sendiri pun tak menyadari sikapnya. Dia begitu marah ketika Bimo mengungkit gadis-gadis yang selalu mengitarinya. Tak sedkit gadis-gadis itu masih terkagum-kagum melihat kegantengan Bimo, dan sumpah Axel marah pada dirinya karena tak bisa mengendalikan rasa cemburunya. Lalu kenapa mesti cemburu? Seharusnya, dia bisa senang bukan? Om Bimonya bisa menikahi salah satu gadis yang memujanya? “Ayolah, sayang, kenapa kamu jadi marah sama Om? Apa ada yang salah dari ucapan Om?” Bimo berusaha memecah kekakuan di antara mereka, walaupun ia masih bingung dengan tingkah Axel. “Axel takut, Om!” “Takut kenapa?” “Suatu saat Om pergi dan meninggalkan Axel.” Ada kegelisahan dalam nada suaranya, Bimo pun tertegun. “Om tak akan pergi ke mana-mana Axel, Om tetap akan di sini bersama kamu selamanya.” “Benar Om? Bagaimana kalau Om menikah?” Masih ada nada sedih dalam suaranya. Bimo terdiam untuk waktu yang cukup lama, ia tidak mau kata-katanya nanti diartikan lain oleh Axel seperti sebuah janji misalnya. “Axel, kenapa kita mesti khawatir oleh masa yang akan datang? Yang belum tentu kita melaluinya, betul kan?” Axel terdiam, kali ini dia begitu serius. “Yang penting sekarang, Om masih tinggal sama kamu dan Ayah Daniel, Om tidak bisa janji untuk masa yang akan datang, karena Om tidak tahu apa yang akan terjadi lima menit lagi apalagi besok, Sayang. Percayalah. Suatu saat pun kamu akan menikah Axel, di saat itulah Ayah Daniel dan Om harus rela melepasmu.” Bimo berusaha memberi pengertian kepada Axel bahwa perpisahan pasti terjadi apa pun alasannya. Axel menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap Bimo resah dan di sudut mata itu, Bimo melihat kristal-kristal kecil yang siap jatuh. “Axel ingin kita seperti kupu-kupu ungu dalam lukisan itu, Om. Selamanya.” Giliran Bimo sekarang yang terdiam, ia takut salah mengartikan semua perubahan sikap Axel padanya, apa terlalu dini dan naif? Barangkali karena Axel terlalu memujanya? Berkali-kali Bimo mengusap wajahnya seolah ingin mengusir seluruh rasa bingungnya. Bimo kehabisan kata-kata, ia melemparkan seluruh pandangannya ke kaca jendela, dilihatnya seluruh pepohonan seolah saling berkejaran. Lagi-lagi Axel menyandarkan kepala di bahunya, dan Bimo tak bisa mengelak. Semuanya masih samar-samar. Namun, Bimo merasa tidak nyaman. Tingkah Axel meninggalkan beberapa pertanyaan dalam hatinya. Semakin Axel memperlihatkan bahasa tubuhnya, semakin Bimo berusaha menyangkal semua teori yang menghampiri pikirannya bahwa apa yang dilakukan Axel adalah hal yang tidak pantas ia terima. Axel masih begitu polos, dan ia takut ialah yang menghilangkan kepolosannya itu. Setibanya di stasiun Gambir, Bimo berusaha menelepone ibunya, ia sengaja tidak memberitahu Ibu sejak awal. Pertama, ia yakin ibunya pasti tahu ia akan pulang karena ini minggu ke empat di bulan ini dan kedua, ia ingin memberi kejutan pada ibunya bahwa ia tak datang sendirian karena diantar Axel. Ibunya pasti senang karena sudah lama Axel tidak datang yang sudah dianggap sebagai cucunya sendiri. “Hallo, Bun. Bimo dah nyampe Jakarta nih, sebentar lagi pulang.” “Oh ya, cepat pulang, Nak, Ibu kangen banget sama kamu ...,” balas ibunya hangat. Bimo menutup telepone dan segera mencegat sebuah taxi. Setengah jam kemudian Bimo telah sampai di sebuah perumahan. Dengan semangat menggandeng tangan Axel menuju pintu rumah. Dilihatnya pipi Axel agak kemerahan tersengat matahari, Bimo sejenak tertegun. Axel begitu polos tapi kecantikannya hampir sempurna di usianya kini. Tak terasa mata mereka beradu, dan ia melihat rasa kagum yang sama di mata Axel. Bimo walaupun mendekati kepala empat masih terlihat tampan dan jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Mungkin karena gaya hidup Bimo yang sehat meski tampak selengean. “Hai ....” Tanpa sadar pintu rumah Bunda Bimo sudah tebuka lebar dan perempuan tua itu tengah merentangkan kedua tangannya, siap memeluk mereka berdua. “Axel?” Bunda Bimo tak percaya melihat Axel datang dan hampir tak mengenalinya. “Kamu sudah besar Sayang.” Sebuah kecupan mendarat di pipi Axel, Axel membalasnya dengan hangat. “Bunda, aku kangen Bunda,” kata Axel manja. “Ayo, masuk!” ajak bunda Bimo kemudian. Bimo segera menyusul bundanya ke dalam rumah disusul Axel dari belakang tubuhnya. “Bunda sudah punya firasat kamu pasti pulang hari ini, jadi Bunda enggak berani ke mana-mana walaupun tadi Rara memaksa Bunda untuk ikut menemaninya ke Mall.” Bunda Bimo membuka obrolan di meja makan. Bimo hanya tersenyum mendengar penjelasan ibunya, di seberang meja Axel masih mencuri-curi menatapnya. “Daniel nggak ikut?” tanya bunda Bimo lagi. “Ayah sibuk Bun, ini juga Axel memaksa Om, supaya bisa ikut.” “Oh, gitu. Kenapa mesti maksa segala. Kamu pasti boleh ke sini Axel, kapan saja kamu mau ke sini. Bila perlu tidak mesti sama ommu ini.” “Iya Bun, nanti kalau liburan semester depan Axel janji mau ke sini tanpa Om.” Bunda Bimo tersenyum. Lalu tatapannya beralih kepada Bimo. “Dan kamu, kapan akan membawa calonmu ke sini? Janji terus tapi belum ada yang serius.” Tiba-tiba sebuah pertanyaan dilontarkan bunda Bimo, dan menohok tepat di jantung Bimo. Bimo terdiam dan menatap Axel hati-hati, mencoba melihat reaksi yang diberikan Axel. Namun, anak itu pura-pura acuh tak acuh. “Tahu nggak Bun? Kenapa Bimo malas pulang? Karena selalu itu yang ditanyakan Bunda, apa ada pertanyaan yang lain?” “Alasan aja, coba deh Axel bantu ommu ini dapetin cewek, masa mau sampai tua membujang terus.” Bunda Bimo mulai menggerutu. Dan tanpa disangka-sangka jawaban Axel membuat Bimo terperangah walaupun ia tahu pasti kalau Bunda pasti menganggap sebagai sebuah lelucon semata. “Jangan pusing-pusing cariin jodoh buat Om, Bun, jodohnya Om itu sangat dekat dan dia tak akan ke mana-mana.” Kali ini rasanya seluruh makanan tercekat di kerongkongannya, hati Bimo berdesir hebat tak karuan. Bagaimana mungkin anak itu memberi jawaban seperti itu. Untung Bunda tak menanggapi karena sibuk menata piring di atas meja, sekali lagi dilihat wajah Axel dengan saksama, masih polos. “Ah, sudahlah. Biarlah jodoh datang dengan sendirinya. Kenapa Bunda harus selalu membahasnya. Bikin aku risi aja sih,” kata Bimo. Mencoba bersikap santai dan tak menanggapi jawaban Axel. Bunda kali ini serius menatap Bimo, tepat ke mata Bimo dan seolah tembus sampai ke hati Bimo. “Hey, Nak. Waktu terus berpacu, seriuslah mencari pendamping. Nanti bundamu, sudah enggak ada baru menyesal.“ “Bunda akan hidup seribu tahun,” balas Bimo. Sementara itu dilihatnya Axel tengah menatapnya dengan tatapan paling aneh. ***

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

TERNODA

read
198.7K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.6K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.3K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
58.0K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook