Axel Kecil dalam Ingatan

1802 Kata
Barangkali Bimo menganggap perkataan Axel hanya sebuah gurauan semata, tetapi tidak bagi Axel. Apa yang dikatakannya adalah sungguh-sungguh. Walaupun sering juga Axel berusaha menyangkal seluruh perasaannya. Dia tidak bisa memungkiri bahwa dia begitu memuja sosok Bimo, tidak saja sebagai sahabat ayahnya. Juga sebagai laki-laki dewasa. Sering kali Axel mencoba dan menguji rasa kagumnya hanya sekedar rasa kagum belaka dan tidak lebih, dengan cara menjalin hubungan dengan beberapa teman laki-lakinya. Tapi, tak ada satu pun di antara mereka yang bisa meninggalkan perasaan nyaman di hati Axel, semua sama hambar. Tidak ada seorang pun yang bisa membuatnya merindu, seperti ia sangat merindukan omnya. Semenjak kecil Bimo telah menjadi tumpahan segala pertanyaan tentang banyak hal, hanya satu yang tidak bisa Axel tanyakan kepada Bimo yaitu masalah kewanitaan. Axel begitu malu ketika menyadari buah dadanya mulai tumbuh ketika usianya menginjak dua belas tahun, rasa gatal yang tiba-tiba menyerang dan tumbuh benjolan kecil di dadanya sempat membuatnya panik, dia ingin berlari pada Bimo dan bertanya banyak hal tentang semua itu. Namun, dia malu. Pada saat seperti itu dia rindu sosok seorang ibu, ibu yang hanya dia kenal lewat cerita Ayah Daniel dan omnya serta beberapa lembar foto yang masih disimpan ayahnya, kalau sudah begitu Axel hanya bisa menangis, berlari ke kamarnya, memerlukan waktu untuk sendiri dan berusaha berdamai dengan keadaan bahwa dia harus lebih kuat dan mandiri. Ketika menginjak kelas dua SMP saat Axel mendapat haid yang pertama, jauh sebelum itu, Bimo telah memberikan sebuah novel remaja yang isinya tidak lebih menyisipkan edukasi dan permasalahan seputar organ reproduksi. Jadi kehadiran Bimo tidak hanya sekadar sahabat ayahnya, ia lebih berarti dari segalanya, novel itu masih disimpannya sampai sekarang. Axel tahu, lewat novel itu Bimo barangkali ingin membagi pengetahuan yang tak bisa ia share secara langsung dan tentu Axel sangat berterima kasih, sementara Axel pun tak mempermasalahkan kurang pekanya Ayah Daniel kepada hal-hal detail seperti itu. Secara tidak sengaja memang Axel lebih banyak mengadaptasi kepribadian Bimo daripada Daniel. Dari mulai selera musik, film juga minat bidang yang kelak digelutinya. Secara tidak langsung Bimo telah membentuk karakternya. Di usianya yang ke lima belas saat-saat usia labil, dan banyak pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya adalah masa-masa yang sangat berat. Apalagi saat itu Bimo tengah dikerubuti banyak perempuan yang memujanya, tak jarang Axel berusaha membuat para perempuan itu senewen, dan satu demi satu gugur tak bertahan dengan kelakuan Axel. Axel mencari-cari masalah agar perempuan itu tak nyaman berada di dekat Bimo hingga menimbulkan konflik dan dia selalu ada di antaranya, Bimo akan selalu mengalah pada Axel atau mungkin Bimo tak benar-benar ingin bersama perempuan-perempuan itu? Axel tidak tahu pasti. Namun, apabila perempuan itu mampu mengikat hati Bimo untuk waktu yang cukup lama, pasti ada yang istimewa di diri perempuan itu, perempuan itu bernama Ira Gustira, dan Axel sangat membencinya. Gara-gara perempuan bernama Ira Gustira ini, nyaris waktu Bimo terpecah untuknya. Bagaimana Bimo tidak jatuh cinta pada Ira? Ira memiliki tubuh ideal dengan tinggi 170 dan berat badan yang hanya 48 kg tentu membuat tubuhnya sangat ramping belum kulitnya yang putih mulus dan wajah sedikit oriental, membuatnya tampil sangat sempurna. Ira tak hanya cantik juga smart. Justru di mata Axel, Ira bagai nenek lampir yang siap dia singkirkan dari hadapan Bimo, perempuan pertama yang berhasil membuatnya cemburu sekali karena tampaknya kali ini Bimo benar-benar jatuh cinta. Kali ini pula Axel benar-benar tidak berkutik karena Axel melihat pancaran kebahagiaan di mata Bimo, yang tak pernah dilihatnya sebelum itu, bagaimana mungkin dia sanggup mematahkan rasa bahagia itu hanya untuk sekadar rasa cemburu yang tak beralasan? Dan untuk waktu yang cukup lama Axel berusaha menyimpan perasaannya sedalam mungkin, hanya kepada buku diary-nya dia curahkan semua bahwa Bimo telah direbut perempuan bernama Ira Gustira. Foto Ira Gustira terselip di diary Axel dengan wajah berkumis dan coretan di sebelah dadanya “Nenek Lampir”. Untuk kali pertama, Axel berusaha berpaling pada laki-laki lain. Namun, tak ada yang benar-benar membuatnya jatuh cinta, tak ada. Laki-laki itu bernama Firman, Axel yakin bahwa perasaannya pada Firman hanyalah buah kekecewaannya, sebuah pelarian. Sebenarnya hati kecilnya menolak, tetapi Axel yakin keputusannya menjadikan Firman sebagai orang terdekatnya setidaknya akan mengembalikan perhatian Bimo padanya. Dan keputusannya menjalin persahabatan yang lebih dengan Firman membuat Ayah Daniel juga om Bimonya panik bukan kepalang, umur lima belas tahun terlalu dini untuk punya teman dekat, walaupun Firman seorang anak baik-baik dari orang-tua yang baik-baik pula ... but that isn’t the point. Mereka belum siap, putri kecilnya membawa seorang laki-laki ke rumah dan diperkenalkan sebagai seorang pacar. Tentu yang paling panik bukan Ayah Daniel malah omnya sendiri dan itu membuat Axel sangat marah. Dia berusaha mengerti perasaan Bimo dengan merelakannya bersama Ira. Tapi, kini, justru Bimo yang paling menentangnya? Apakah omnya cemburu? Ada sedikit perasaan senang di hati Axel, kepedulian Bimo terhadapnya sedikit menghapus rasa sakitnya. Axel berhasil mencuri perhatian Bimo. “Kamu terlalu kecil Sayang, kalau temenan it’s ok ... tapi kalau pacaran. Eits, nanti dulu,” protes Bimo pada saat itu, sesaat setelah deru motor Firman tertinggal di halaman rumah. “Kenapa sih, Om, aku kan sudah gede. Lima belas tahun. Kata Om, di usia berapa aku sudah boleh pacaran?” tantang Axel pada waktu itu dan dia lihat Ayah Daniel hanya menunduk duduk di kursi. Sementara Bimo agak gelagapan berusaha menjawab pertanyaan Axel. “Ok, dengar, Sayang. Pada saat kamu sudah cukup kuat untuk merasakan rasa sakit hati.” Dan jawabannya sangat tidak memuaskan Axel. “Kenapa?” tanya Axel lagi. “Karena di usiamu kini, itu bukan sebenarnya perasaan cinta.” "Lalu, Om kira apa yang Axel rasakan?” "Itu hanya cinta sesaat.” Tiba-tiba rasa marah tidak bisa dibendung lagi oleh Axel, rasa marah yang akhir-akhir ini dia tumpahkan pada buku hariannya. Rasa marah karena seluruh waktu Bimo ia habiskan bersama Ira. Air matanya siap jatuh, tak ada yang mengerti perasaannya, bahwa dia butuh seseorang yang begitu care terhadapnya. Ayah Daniel terlalu sibuk dengan perkebunannya, sedang Bimo ia terlalu sibuk dengan Ira, Bi Inah? Bi Inah terlalu lugu untuk tahu perasaannya, kepada siapa? Axel tidak sanggup melihat kilatan aneh di mata Bimo, dia membalikkan badan lalu berlari meninggalkan mereka berdua, masuk ke dalam kamar dan membenamkan dirinya di atas kasur juga segala kepedihannya. Menangis sepuasnya, sedikit melegakan perasaannya. Sejak saat itu, Axel tidak mau lagi bertemu dengan Bimo. Perlahan dia berusaha menghindar untuk bersinggungan dengan Bimo. Melihat tingkah Axel demikian, Daniel dan Bimo berusaha melunak dan berkompromi dengan perasaan Axel, barangkali memang Axel sedang jatuh cinta, walaupun mereka yakin itu hanya cinta monyet, dan mereka benar-benar telah merasa siap jika Axel patah hati. Pagi hari di meja makan ketika sedang sarapan pagi. "Aku antar ke sekolah, ya, Say.” Bimo membuka percakapan sembari mengoleskan selai kacang pada rotinya, sudut matanya mencuri ke arah Axel. Dilihatnya anak itu pura-pura acuh. "Axel kalau enggak mau diantar ommu, biar Ayah saja yang antar, ya.” Tawaran mereka berdua bikin Axel keki. Kemana saja mereka selama ini? Sok perhatian, jerit hatinya, belum Axel menjawab tawaran mereka, tiba-tiba terdengar suara klakson motor di halaman, Daniel dan Bimo saling menatap. Tanpa menjawab Axel menghambur ke luar diikuti oleh Bimo. Dilihatnya Firman telah siap di atas motornya. “Selamat pagi Om!” sapa Firman dan dibalas lambaian tangan Bimo. “Hati-hati, ya!” pinta Bimo disambut dingin oleh Axel. Anak itu masih marah, batin Bimo. Apakah Bimo harus rela Axel menjalin hubungan dengan laki-laki? Dia masih terlalu kecil dan Bimo takut Axel akan terluka, ia tak mau Axel berkali-kali merasakan sakit yang pernah dirasakannya. Ia mau Axel hanya satu kali pacaran lalu menikah, dan sekarang belum waktunya. Apakah ia salah? Bagaimana ia harus menjelaskan pada Axel bahwa ia terlalu khawatir. Ia terlalu sayang. "Sudahlah Bim, kita tak bisa menghentikan apa yang menjadi keinginannya. Dia tak akan mengerti kekhawatiran kamu juga kekhawatiranku. Tapi, kita hanya bisa berdoa bahwa Axel tidak benar-benar serius pacaran.” Tiba-tiba Daniel menepuk pundaknya, membuyarkan segala lamunannya tentang Axel. Masa-masa Axel sekarang adalah masa yang sangat labil, ia harus lebih terbuka dan memahami perasaannya. "Betul, Dan, aku hanya belum siap. Axel telah berubah.” “Setiap saat kita tercengang-cengang melihat setiap perubahannya. Waktu sangat cepat berlalu Bim. Jika tidak ada kamu. Aku belum tentu bisa survive sejauh ini.” “Ayolah, kawan jadi sentimentil begini, yuk ah, kita ngantor,” ajak Bimo sambil membalas dengan menepuk pundak Daniel. *** Di sekolah seluruh perhatian Axel tertinggal di rumah, terbayang wajah kecewa dua lelakinya, sebenarnya barangkali Axel tidak mau meninggalkan kesan membangkang. Namun, Axel tampaknya sedang mencari perhatian, agar perhatian dua lelaki itu kembali jatuh padanya. Sebenarnya ia tidak benar-benar suka sama Firman, Firman bukan type Axel banget. Tapi, Axel berhasil mencuri perhatian! Dia lihat kekhawatiran yang sama di wajah ayah Daniel maupun Bimo. Dan yang paling bikin sesak, adalah ketika Axel harus berjauhan dengan Bimo, ada seperti sayatan kecil di hatinya. Sejauh ini belum pernah Axel merasa sangat tertekan dan sesakit itu. Mereka padahal satu rumah. Tapi, tidak bertegur sapa satu sama lain, padahal satu minggu lagi Axel akan ulang tahun, yang selalu heboh menyambutnya pastilah Bimo. Sekarang Axel menyesal telah melalukan perang dingin pada Bimo, dia gengsi juga kalau harus berbaikan lebih dulu. Tanpa sepengetahuan Axel, Bimo dan Daniel tengah menyediakan pesta kecil-kecilan untuk Axel, malahan Bimo sedang menggarap sebuah lukisan untuk kado ultah Axel, sebuah lukisan sepasang kupu-kupu berwarna ungu dengan latar perkebunan sayur yang mereka miliki, Dan Bimo tidak menyadari kalau hadiahnya ini kelak akan berbekas di benak Axel bertahun-tahun lamanya dan menuntunnya pada suatu keyakinan, kalau dia dan Bimo adalah sepasang kupu-kupu yang ada dalam lukisan itu. *** Tanggal yang dinanti mereka akhirnya tiba, dan Axel tidak menyadarinya sama sekali, bahwa di belakangnya Daniel dan Bimo sibuk menyiapkan sebuah pesta. Pesta itu digelar di beranda rumah, ketika matahari jatuh menjelang sore. Pesta itu hanya dihadiri oleh teman-teman Axel di sekitar rumahnya, Daniel, Bimo tak ketinggalan juga Ira. Ketika Axel pulang sekolah dengan perasaan yang agak bad mood karena sampai sore tak ada satu pun ucapan selamat yang diterimanya, Semua memang sudah lupa padaku, pikir Axel. Di belakang Firman mengikutinya dan membuat Axel heran. Malah Firman seolah tengah menyembunyikan sesuatu darinya. “Lho, kamu enggak langsung pulang?” Firman malah tersenyum geli lalu digandengnya tangan Axel ke beranda rumah. Axel terkesiap. “Surprise!!!!” Di sana orang-orang yang dicintainya tengah berdiri memberi kejutan. Beranda telah disulap, ada balon-balon tergantung di langit-langit, semuanya berwarna ungu, warna kesayangannya. Ada butiran-butiran air mata yang siap jatuh karena terharu. Axel malu pada dirinya sendiri. Semua orang menyayanginya ternyata. Tapi, dia malah mencari-cari perhatian. Dilihatnya Bimo merentangkan tangannya siap memeluknya, semua rasa marah akhirnya lumer tak bersisa. Axel berlari ke pelukan Bimo juga ayahnya. Ada deru di jantungnya, diliputi rasa rindu. “Met ulang tahun, Sayang!” ucap Daniel seraya memberikan kecupan di kening putrinya dan Axel kembali ke pelukan Bimo, pelukan yang selama ini dia rindukan. Dia tak peduli sama sekali akan kehadiran Ira. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN