Debar yang Aneh

1791 Kata
Hari itu Axel bahagia bukan karena ulang tahunnya saja, di hari itu Axel berbaikan dengan Bimo. “Makasih Om, untuk semuanya, maafkan Axel sudah bikin Ayah Daniel dan Om khawatir,” bisik Axel ketika mereka tengah berdansa. Bimo hanya tersenyum dan mengacak-ngacak rambut Axel. “Kamu sudah besar Axel, dan kami tak menyadarinya. Mungkin saja karena kami belum siap bahwa ternyata suatu saat kamu akan diambil orang. Saat menikah nanti mungkin saat itulah kesiapan kami. Tidak untuk sekarang, kamu masih pakai seragam biru!” bisik Bimo di telinga Axel. Aku tak akan ke mana-mana Om, aku akan tetap bersamamu karena kelak aku akan menjadi pengantinmu, bisik Axel dalam hati. Tapi, dia cepat-cepat menepis ide gila di kepalanya. Lalu kepalanya rebah di bahu Bimo. “Boleh Om?” Tiba-tiba Firman menyela mereka dan Bimo memberikan tubuh Axel pada Firman lalu Bimo beralih pada Ira yang tengah asyik berbincang dengan Daniel. “Dansa?” ajak Bimo pada Ira. Ira mengangguk dan tertawa renyah. Sepasang mata tak lepas dari pasangan ini, sepasang mata milik Axel. Disadari mata itu tengah mengawasinya, Bimo mengedipkan sebelah mata dengan jenaka pada Axel, tak urung Axel jadi tertawa walaupun jauh dalam hati perasaannya seperti tercabik, apakah kembali dia cemburu? Dilihatnya mereka berdua pasangan yang sangat serasi. Bimo ganteng sedang Ira cantik, sempurna. Malam itu Axel tertidur dengan seragam birunya, kelelahan. Tangannya masih memegang kado yang dihadiahkan Bimo. Masih terbungkus rapi, berlari ke alam mimpi dan masih menyisakan sesungging senyuman di sudut bibir. Sepasang kupu-kupu ungu tengah berlarian di alam mimpinya. *** Pagi itu Axel bangun terlambat, kado pemberian Bimo masih dia dekap. Lalu dengan sedikit rasa kantuk yang tersisa, dirobeknya bungkus kado itu tergesa-gesa. Ini adalah kado terakhir yang belum dia buka, semua kado telah dibuka, isinya rata-rata kebutuhan yang sering dia pakai, seperti baju tidur, handuk, make-up, diary dan banyak lagi. Cuman kado dari Bimo yang dia sisakan terbungkus, Axel ingin membukanya sendirian di dalam kamar. Karena mengantuk kado urung dia buka, malah terlelap memeluknya. Pagi hari hal pertama yang dilakukannya adalah membuka kado dari Bimo. Dan dia tertegun sendiri, ketika disadari kado itu sebuah lukisan. Hal yang membuatnya tertegun adalah gambar dalam lukisan itu seperti mimpi tadi malam. Disimpannya lukisan itu di ujung tempat tidur, sambil tak henti-henti mengagumi kecantikan lukisan. *** "Om!” teriakan Axel Menggema di seluruh ruangan, Bimo yang tengah tertidur dibuat kaget dan terbangun seketika. "Om!” teriak Axel sekali lagi, dan membuat Bimo terloncat dari tidur. "Ada apa nyonya besar?” teriak Bimo dari kamar sambil menyambar handuk dari kursi, sempat beberapa hari tidak mendengar teriakan Axel sedikit membuatnya rindu dan semangat menyelesaikan mandi dengan cepat. Mengenakan jeans biru dan kaus putih polos membuat Bimo kelihatan lebih muda. "Eits, keren banget omku ini,” sapa Axel ketika Bimo menghampiri. Ada kekaguman terpancar dari sorot mata Axel. “Kamu tuh emang paling bisa kalau udah muji. Mau ke mana tuan putri?” "Aku pengen jalan sama Om seharian, ke mana saja. Makan, nonton tapi enggak pakai mobil. Naik motor dong!” “Lho, tante iraku gimana?” Axel tertegun, hatinya berdesir hebat. Lalu kenapa dengan Tante Ira? Kenapa nama perempuan itu mesti disebut-sebut terus? “Oh ya, aku lupa kalau aku sekarang punya Tante Ira, jadi Om makasih, ya! Tampaknya aku lebih baik pergi sama Firman aja deh.” Axel membalikkan tubuhnya menjauh dari Bimo, mencoba menahan bulir air mata untuk tidak jatuh lalu berlari kecil ke luar pintu. "Bye ....” Teriakannya menghilang di balik pintu, sedang Bimo termangu melihat tingkah Axel, sampai detik itu, Bimo tidak sedikit pun mengerti perilaku Axel. Bagaimana ia bisa mengerti? Axel begitu cemburu pada teman-teman perempuannya apalagi kepada Ira. Lalu bagaimana menjelaskan kepada Axel, bahwa seorang laki-laki dewasa harus punya pendamping seorang perempuan dewasa, tempat ia berbagi segala hal. Yang membuatnya heran, kecemburuannya itu tidak pernah dia tampakkan pada teman-teman perempuan Daniel. Seperti kali ini, apanya yang salah kalau ia mengajak Ira? Axel tahu bahwa ia dan Ira memiliki hubungan istimewa, apakah Axel cemburu pada Ira? Toh, ia tak pernah berusaha untuk mengabaikan Axel? Bimo menggeleng-gelengkan kepala dan berjalan gontai ke luar rumah. Barangkali hal ini harus ia diskusikan pada Daniel. Bimo berjalan di jalan setapak yang menghubungkan rumah Daniel ke perkebunan sayur milik mereka berdua. Langkahnya terhenti untuk sesaat. Ia mendengar rintihan, seseorang tengah menangis. Bimo berjingkat menghampiri muasal suara itu, disibaknya semak belukar yang menghalanginya. Dan Bimo terpaku. Punggung itu amat dikenalnya, tengah duduk di pinggir kolam, bahunya berguncang dan wajahnya terbenam di antara tangan mungilnya. “Axel!” panggil Bimo hati-hati, Axel berbalik kaget, dan sibuk menyeka air mata. "Kenapa?” tanya Bimo hati-hati. Masih tak ada jawaban. "Tidak jadi pergi?” tanya Bimo lagi, kali ini Axel menggeleng. "Kenapa?” tanya Bimo lagi, kali ini Axel terdiam. Tidak bersuara juga tidak menggelengkan kepala. “Ayo, cerita sama Om!” ajak Bimo, sambil duduk di sebelah Axel, tangannya berusaha menggapai wajah Axel, tetapi ditepis perlahan. "Axel mau sendiri Om,” pinta Axel. Bimo makin kebingungan dengan tingkah Axel. “Nanti kamu masuk angin kalau kelamaan duduk di sini Axel, kita ke rumah, yuk. Nanti, Om masakin makanan kesukaan kamu.” Bujuk Bimo, Axel tetap saja menggeleng. “Ayolah, Axel, tak baik seperti ini,” desak Bimo, Axel masih saja terdiam. Tak sengaja mata mereka beradu. Bimo melihat kilatan marah dalam sorot mata Axel. "Biasanya, kamu akan berbicara banyak pada Om, kalau kamu lagi sedih bahkan lagi bahagia sekali pun, kamu enggak pernah melewatkan curhat sama Om.” Axel masih saja terdiam. Sesekali tangannya memainkan kuncir rambut, kalau sudah begitu Bimo melihat Axel seperti anak kecil. Akhir-akhir ini Bimo memang merasa jauh dengan Axel. Bukan ia yang menjauh, Bimo merasa Axel tengah menjauh darinya, penyebabnya sampai detik ini belum terjawab. Baru tadi malam ia telah berbaikan, sekarang Axel berubah lagi. Masih terasa dekapan Axel di tubuhnya dan wajahnya penuh kebahagiaan. Kini dilihatnya Axel begitu murung, apakah karena ia tak jadi pergi dengannya? Apakah karena gara-gara ia ingin mengajak Ira? “Kalau Om salah, Om minta maaf deh?” Axel bergeming, ia melemparkan batu demi batu kecil ke dalam kolam, membentuk gelombang-gelombang kecil di tengah kolam. Bimo menjulurkan kelingkingnya pada Axel. Namun, Axel tak menyambutnya malah menatap Bimo dengan dingin. “Kalau kamu ingin jalan berdua saja dengan Om, ayo, kita lakukan. Tadi, Om mau mengajak Tante Ira karena Om kadung janji padanya. Hari ini mau mengajaknya jalan-jalan. Jadi pikir Om, kenapa enggak sekalian saja.” “Ayolah, jangan, lebay!” “Aku tidak sedang lebay Om, tinggalkan aku sendirian!” Tiba-tiba Axel mendorong badan Bimo, Bimo sedikit ternganga. "Ok, ok!” Bimo berdiri. "Aku tidak akan memaksamu, cuman Om bingung lihat tingkah kamu. Tiba-tiba ceria, tiba-tiba murung. Ada apa dengan kamu sih?” Bimo mulai kesal. Kembali Axel terdiam, kali ini dia telungkupkan wajahnya di atas lutut. Bahunya naik turun. Kenapa Bimo tak mengerti juga, bahwa dia sangat cemburu. Dan dia sendiri pun heran dengan dirinya sendiri, padahal dengan mudah Axel selalu bercerita tentang perasaannya. Tapi kali ini, dia tidak bisa. Tidak untuk perasaannya pada Bimo. DIa masih bingung dengan perasaannya. Ada apa dengannya? Dia sendiri sibuk mencari jawaban, yang jelas dia sangat cemburu apabila dia dinomor-duakan setelah Ira. Akhirnya Bimo menyerah, ditinggalkan Axel sendirian, seperti maunya kendati begitu kepalanya dijejali pertanyaan dengan tingkah Axel yang aneh. Apakah Axel jadi ABG galau? Bimo akhirnya tidak jadi menemui Daniel, ia berbalik arah ke dalam rumah, barangkali ia sendiri pun butuh waktu untuk menyendiri, menjauh dulu dari orang-orang yang sangat dicintainya, dengan begitu barangkali ia akan menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang singgah di kepalanya, takut ia sendiri pun tertular penyakit galau. Dikeluarkan motor trailnya, lalu dikendarainya melesat membelah angin, menyusuri jalan ke arah Subang. Menyesap angin pegunungan. Hatinya sakit melihat Axel murung tanpa tahu pasti penyebabnya. *** Siapa yang sedang galau? Barangkali Axel juga Bimo, mereka saling menjauh tapi juga saling merindu. Perang dingin terjadi untuk yang cukup lama. Setelah hubungan Bimo dengan Ira makin serius, Axel pun makin serius menjauh darinya. Bimo berusaha mengerti tingkah Axel, barangkali ia takut kehilangan dirinya. Namun, yang tidak dimengerti adalah sikap Axel pada Ira, kelihatan sekali kalau Axel tidak menyukai Ira, padahal Ira adalah perempuan menyenangkan sebenarnya. Hanya saja Axel menutup diri hingga Ira pun tak bisa dekat pada Axel. Dan ini sudah bulan kedua Axel menjauh darinya. Di dalam rumah sekalipun, setiap bertemu kelihatan sekali Axel berusaha menghindar darinya, makan pun tidak pernah satu meja. Pagi ini, di lorong arah kamar mandi, secara tak sengaja Axel bertemu Bimo. Dan Bimo pun sudah siap pula untuk balik arah. Namun, ia terhalang Daniel yang sama-sama punya tujuan yang sama; kamar mandi. Sedikit ada kekakuan, Daniel menangkap keanehan di antara mereka. "Lady first!” Tiba-tiba perkataan yang sama keluar dari mulut Daniel dan Bimo, mereka tertawa bersama lalu melirik pada Axel. Wajahnya masih sama, dingin, Daniel dan Bimo saling mengangkat bahu. Axel langsung masuk kamar mandi tanpa berkata sepatah kata pun, dan kamar mandi ditutup dengan agak kasar. Bimo dan Daniel saling bertatapan, tak lama setelah itu keduanya mendengar isak tangis dari kamar mandi. Keduanya lalu panik, dan masing-masing menempelkan telinga mereka pada daun pintu, berharap menangkap lebih jelas suara dalam kamar mandi. “Axel!” Teriak mereka bersamaan. Lalu tiba-tiba mereka mendengar suara kedebuk. Brak ... lalu hening. Bimo panik begitu pula Daniel, tanpa pikir panjang Bimo mendobrak pintu kamar mandi. Dilihatnya Axel setengah telanjang tergeletak di kamar mandi. Tanpa pikir panjang digendongnya tubuh mungil itu dan segera menutupnya dengan handuk. "Daniel! Siapkan tempat tidur!” teriak Bimo, melihat Daniel hanya mematung di kamar mandi. Daniel tergesa menuju kamar Axel. Diikuti oleh Bimo, ada yang bergemuruh di dadanya rasa marah kepada dirinya sendiri. Dia melihat Axel begitu rapuh. Direbahkannya tubuh mungil itu, dan langsung diselimuti Bimo. Bi Inah tampak tergopoh-gopoh menghampiri Axel, disadarinya teriakan Bimo pada Daniel begitu menggema di rumah itu. "Bi Inah, tolong bajuin Axel!” Bimo meninggalkan Daniel dan Bi Inah di dalam kamar Axel. Hatinya resah, dan mengutuk dirinya perlahan. Kenapa ia membiarkan gadis itu melewati masa sulitnya sendiri? Pasti ada hal yang begitu sangat mengganggunya hingga membiarkan tubuhnya selelah itu. "Axel ... Axel, lihat Papa, Nak!” Terdengar sayup-sayup Daniel memanggil-manggil Axel berusaha membangunkannya. Bimo kembali masuk, dia duduk di dekat kepala Axel, dielusnya kening gadis itu penuh kasih. "Axel sayang ... bangun, Nak!” Diguncangnya bahunya perlahan, sementara Bimo mengoleskan minyak angin di hidung Axel. Axel perlahan terbangun, dilihatnya wajah khawatir Daniel pun Bimo. Dia memeluk Daniel seketika, sementara Bimo menatap haru. "Kenapa Axel?” tanya Daniel. Tatapan Axel beralih ke arah Bimo, dua bulir air mata jatuh di pipinya, dan Bimo merasakan sakit yang tengah Axel rasakan. Namun entah apa? Semenjak itu Axel dan Bimo benar-benar seperti orang asing. Axel menarik diri terhadapnya dan itu membuatnya merasa tidak nyaman. Akhirnya Bimo meminta ijin pada Daniel untuk kembali ke rumah bundanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN