Tiga bulan Bimo meninggalkan Axel dan Daniel. Bimo ingin memberi ruang untuk Axel dan Daniel. Ia merasa sudah tidak dibutuhkan lagi oleh mereka. Ternyata Bimo salah, Daniel menelepon memintanya untuk kembali. Ia tak hanya membutuhkan Bimo sebagai rekan bisnisnya, lebih daripada itu. Semenjak kepergian Bimo, ia lihat Axel menjadi pribadi yang murung. Dan Daniel sangat mengkhawatirkan perkembangan Axel.
Hubungan Bimo dengan Daniel dan Axel tentu sangat berpengaruh terhadap hubungannya dengan Ira, perempuan ayu itu lambat laun menangkap keanehan sikap Axel. Dan untuk pertama kalinya Bimo mendengar penilaian sikap Axel dari orang lain, orang lain itu adalah Ira perempuan yang dipujanya dan diharapkan kelak menjadi istrinya.
“Kamu nyadar enggak sih, ada yang aneh pada tingkah Axel?” tanya Ira suatu senja, di teras rumah di Jakarta rumah bundanya, gerimis baru saja turun menghias senja yang syahdu.
“Aneh gimana sih?” Bimo balik bertanya, mukanya entah tiba-tiba memerah dalam penglihatan Ira.
“Coba tatap aku, Bim!“ Ira malah menyuruhnya balik menatap, Bimo gelagapan. Entahlah kalau menyangkut Axel hatinya tak bisa menerima secara terbuka.
“Sepertinya kamu tak bisa melepaskan dia untukku.” Suara Ira bergetar penuh rasa cemburu, pernyataan yang sungguh menjebak. Bimo sendiri pun ngeri dengan jawabannya. Bagaimana bisa ia begitu seterikat itu pada Axel.
“Kamu ngawur Ra, masa kamu menyuruh aku memilih antara kamu dan Axel?“ Kembali Bimo berkilah, sebenarnya berusaha ngeless. Tapi, lagi-lagi obrolan Ira terus mengarah kepada Axel. Seperti sedang ada yang tengah diujinya. Ya, Bimo merasa Ira tengah berusaha mengorek perasaannya pada Axel. Kendati saat itu Axel masih sangat kecil untuk dilibatkan antara ia dan Ira.
“Entah, ada sesuatu yang salah antara kamu dan anak itu.“ Lagi-lagi Ira berargumentasi, semakin Bimo mengelak semakin Ira sangat tertarik mendalami perasaan Bimo.
“Tak sadarkah Ra, tatapanmu itu seolah tengah mengadili aku?” kata Bimo mengejutkan Ira, saat dirinya tengah dalam menatap ke bola mata Bimo.
“Hey, siapa yang tengah mengadilimu? Aku sedang make sure aja, bahwa cintamu hanya untukku,“ kilah Ira. Tentu pertanyaan Bimo sebenarnya memang telah menyadarkan dirinya bahwa dia memang tengah mengamati Bimo. Bimo menatap Ira lagi lebih dalam, ia merasakan Ira tengah meragukan cintanya.
“salah ya?“ tanyanya lagi, dijawab gelengan kepala Bimo. Saat itu sebenarnya Ira begitu cantik dalam pandangannya. Tapi, sudah lama Bimo tak ada hasrat untuk merayunya. Semenjak Axel berubah sikap, semenjak itulah ingatannya malah tertuju pada anak itu. Jika apa yang dikatakan Ira itu benar, apakah salah jika Axel begitu mencintai dan takut kehilangan dirinya? Toh, Axel telah menganggap dirinya mungkin sebagai papa kedua.
“Aku minta dengan sangat, Bim. Jika kamu berharap hubungan kita sampai jenjang pernikahan. Untuk sementara kamu tak usah kembali ke Lembang. Kamu bisa tetap berbisnis dengan Daniel dan support ia dari jauh. Kita bangun jaringan pasar di Jakarta saja. Toh, aku yakin banyak supermarket besar yang membutuhkan sayuran organik kita, lalu kita cari juga pihak ketiga yang menjual langsung kepada customer yang menerapkan pola hidup sehat di Jakarta ini, aku yakin peluang pasarnya masih besar, Bim.” Ira kembali menyodorkan gagasannya, semestinya Bimo gembira. Tapi, justru ia merasa sedih. Apakah ia bisa meninggalkan Lembang dan keindahannya. Apa ia bisa melepaskan Daniel sendiri mengelola perkebunan, dan khususnya apa ia tega meninggalkan Axel? Lalu bagaimana kalau ia benar-benar pergi, apa Axel bisa bertahan dengan kesulitannya. Tanpa Bimo sadari, ia menarik napas panjang di depan Ira, sebuah sikap yang diartikan lain oleh Ira.
“Bim, tatap aku, please!“ desak Ira. Bimo melemparkan pandangan, jujur ia cemas Ira menangkap kegelisahan dirinya. Perempuan itu masih saja memaksanya untuk menjelaskan perasaannya secara gamblang, sedang ia sendiri. Tak mengerti apa yang tengah bergejolak dalam hatinya. Rasa khawatir terhadap keadaan Axel melebihi apa pun untuk saat itu.
“Bim, aku lelah.” Tiba-tiba perkataan Ira mengagetkan Bimo. Bimo terpana, apa yang membuat Ira menjadi lelah. Toh selama ini, ia berusaha membagi perhatiannya pada Ira seadil mungkin. Ia hanya berharap, Ira mengerti posisinya bahwa ia tidak mudah begitu saja melepaskan diri dari kehidupan Axel.
Dua bulir air mata tiba-tiba turun dari sudut matanya dan Bimo hanya bisa terpaku. Ia tak menyangka membuat Ira menangis, membenamkan luka yang tak sengaja ia lakukan. Tapi, tak sedikit dirinya ada niat untuk memperbaikinya, kata-katanya tercekat di kerongkongan. Bimo tak lagi bisa berargumentasi karena Ira telah memiliki asumsinya sendiri.
“Jelas sekarang bagiku, Bim, kamu tak bisa pergi dari mereka. Cinta yang kamu perjuangkan untukku tak cukup untuk bisa meninggalkan Axel demi aku!” Suara Ira agak meninggi, Bimo salah tingkah. Tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya untuk menyangkal perkataan Ira. Cuma ia merasakan gejolak hati Ira. Ia tak kuasa untuk memutuskan. Ira adalah perempuan terakhir yang mampu memikatnya.
Seharusnya Bimo bisa menepis perasaan sentimentilnya pada Lembang dan kedua orang di sana. Ketika pikirannya tengah menyimpulkan perasaannya. Ira meninggalkan dirinya dengan rasa marah. Sialnya, ia tak berusaha menahannya apalagi memanggilnya.
Ira pergi dengan tergesa, mukanya tampak memerah sekaligus sedih. Apalagi Bimo pun tak berusaha mengejarnya apalagi mencegahnya. Ia seperti dengan sengaja membiarkan Ira pergi, perempuan yang selama ini telah berusaha membangkitkan lagi gairah cintanya yang seolah mati. Tentu Ira berharap reaksi yang lain dari Bimo. Setidaknya dia menenangkan dirinya bahwa keadaan akan baik-baik saja. Namun, Ira merasa terperangkap pada perasaan Bimo yang selalu gelisah, tidak tenang dan ketika berbicara jiwanya sedang tak ada di sampingnya. Ira emosional dan pergi adalah cara Ira protes.
Sementara dalam benak Bimo yang terbayang malah wajah bundanya, betapa akan kecewanya beliau. Bunda adalah orang pertama yang selalu mendorongnya untuk segera mengakhiri masa lajangnya. Selain itu tentu Axel, Bimo tak kuasa memberikan rasa luka pada hati Axel. Jika ia harus menikah, tentu restu yang diharapkannya juga dari Axel selain dari Bunda. Agar semua senang dan menerima keadaannya. Ia merasa, jika memaksakan pernikahannya saat itu, ia tak hanya memercikkan bara malah menyulutnya menjadi percikan api yang lebih besar. Ada hati yang tak ikhlas dan terluka.
Ketika Bimo melihat ke arah Ira, tubuh perempuan itu telah menghilang. Hatinya berkecamuk, di sisi yang lain ia ingin menahannya untuk tak pergi. Namun, Bimo seolah tak kuasa mengejarnya.
Ada perasaan luka sekaligus perasaan seolah terlepas dari beban.
***
Semenjak itu, Bimo tak pernah lagi menemui Ira begitu pun Ira. Semuanya seperti terhenti begitu saja. Ada rasa lengang setelahnya. Beberapa hari kemudian, Bimo akhirnya memutuskan untuk kembali ke Lembang. Keputusan yang sangat berat memang. Melepaskan Ira demi menjaga hati bidadari kecilnya.
Setelah berdebat begitu alot dengan Bunda dan tentu berkali-kali Bimo membuat Bunda kecewa. Seorang ibu yang paling bijaksana sebenarnya adalah membiarkan anaknya membuat keputusannya sendiri dan menjadikan bahagia sebagai tujuan hidup, itu yang selalu Bunda lakukan.
Bimo minta restu kembali ke Lembang. Ada cemas di kedua mata Bunda. Bimo sangat tahu. Harapan bundanya agar ia segera menikah tertunda lagi entah sampai kapan. Bimo tak lagi mengerti perasaannya, yang ia tahu pasti, ia tak bisa meninggalkan Axel dalam keadaan hati terluka, ada tanggung jawab yang mesti ia tunaikan. Jika Axel menikah kelak. Mungkin ia akan leluasa menikah dengan siapa pun tanpa beban. Dan ia berharap, pada saat yang tepat ia akan menemui perempuan seperti Ira Gustira. Atau kalau Ira Jodohnya, Bimo yakin Tuhan akan mempermudah jalannya.
***
Bimo tiba di Lembang saat hujan baru saja reda. Sengaja tak memberitahu dulu Daniel maupun Axel. Maunya bikin surprise saja, ia ingin melihat reaksi Daniel maupun Axel.
Rumah Daniel yang berada di atas sudah terlihat dari arah jalan besar. Bimo sudah tak sabar ingin segera tiba di sana. Terbayang wajah anak itu. Sudah berapa lama Bimo tak melihatnya, ada rindu yang membuncah. Pasti dia terkejut. Bimo sudah begitu saja membayangkan ekspresi dan keriuhan Axel, anak yang rame dan membawa kebahagiaan kepada sekitar. Axel dapat dengan mudah membangun suasana menjadi hidup. Sebentar kemudian Bimo sudah berada di ambang pintu.
“Hello!” Suara Bimo menggema di ruangan tamu. Tak ada sahutan. Penasaran Bimo masuk ke dalam. Masih tak ada sahutan.
“Dan, Axel!”
Rumah tampak sepi.
Langkah Bimo berakhir di dapur, didapatinya Bi Inah sedang memasak sesuatu.
“Assalamualaikum, Bi," sapa Bimo. Bi Inah langsung menoleh dan tampak terkejut.
“Idih, Aden mengagetkan Bibi saja.”
“Daniel? Axel pada ke mana?” tanya Bimo tak sabar.
“Sudah seminggu Daniel pulang ke Sumedang, sementara Axel di tempat neneknya, Den,” jawab Bi Inah, tentu kabar mengecewakan buat Bimo. Lama termenung, akhirnya ia memutuskan sesuatu.
“Kalau Daniel pulang, bilang aku ke sini, ya, Bi. Aku kayaknya mau ke Bandung saja nyusul Axel.” Bi Inah mengangguk dan mengantar Bimo sampai ke pekarangan.
Lalu Bimo masuk ke garasi di samping rumah, ada dua motor di sana. Bimo memutuskan menggunakan salah satunya.
Perjalanan Lembang-Bandung menggunakan motor tentu akan menjadi kegiatan mengasyikkan. Salah ia juga, kenapa tak memberi kabar terlebih dahulu. Tadinya hanya ingin memberi sebuah kejutan.
“Ya Bi, aku pergi ya. Titip tas ransel aku, masukin ke kamar. Aku mau tinggal di sini lagi.” Disambut anggukan kepala Bi Inah. Dilihatnya laki-laki itu. Deru motor meninggalkan asap knalpot di garasi.
Lembang – Bandung, bisa ditempuh dalam waktu satu jam kurang lebih dalam keadaan santai dan tidak macet. Bimo selalu merasakan sensasi yang menyenangkan jika mengendarai motor melewatinya, ia sudah hapal betul lekukan-lekukan jalan itu, desir angin Lembang yang menerpanya.
Tiba-tiba saja, ia teringat kepada Ira. Ada sakit di ulu hatinya, mengingat perempuan itu dan cara perpisahan yang terjadi kemarin.
Ia merasakan pelukan tangan Ira di pinggangnya dan rebahan kepala Ira dipunggungnya. Sepanjang jalan, Bimo membayangkan Ira ada di dekatnya, diboncengnya dalam perjalanan kali ini. Tentu akan sangat menyenangkan, sebenarnya Bimo berharap Ira berubah dan tak memberikan asumsi apa pun tentang perasaannya pada Axel. Bagaimana mungkin Ira menangkap hal yang ganjil tentang perasaannya pada Axel. Perasaan yang sebenarnya kadang memang muncul begitu saja, tanpa bisa ia kendalikan.
Dan Ira adalah orang yang telah menelanjanginya habis-habisan. Beberapa kali Bimo menyangkal dan bertengkar gara-gara Axel, ketika Ira merajuk meminta perlindungan darinya karena perlakuan iseng Axel padanya. Ada-ada saja yang dilakukan Axel untuk membuatnya tak nyaman di dekat Bimo, bukannya membela dan menegur Axel. Bimo malah minta pemakluman dari Ira atas sikap Axel yang tak masuk akal.
“Cobalah untuk mengerti!” pinta Bimo pada saat itu, ketika Ira tidak mendapatkan sebelah sepatunya karena disembunyikan Axel di balik pohon. Kejadian berulang dan Bimo terus saja meminta pengertian Ira.
Ira Gustira tahu Axel cemburu padanya. Tingkahnya yang kekanak-kanakan dan rasa manjanya yang terlalu berlebihan kepada Bimo akhirnya membuat Ira muak. Perasaannya mengatakan bahwa hubungan antara Axel dan Bimo sudah tak wajar.
***