Togetherness

1281 Kata
Dua bulan sebelumnya Zanara membanting majalah di tangannya ke atas meja makan. Berita utama yang terpampang di sana membuat hatinya memanas. Entah sudah berapa majalah dan surat kabar yang menuliskan berita perselingkuhan Brandon dengan lawan mainnya yang membuat Zanara mengurut kening. Sedang berada dalam pergumulan hati dan emosi, Brandon muncul dari kamar dan menyusulnya duduk di meja makan. Mengambil selembar roti kemudian mengoleskan selai coklat di atasnya. Baru hendak menggigit rotinya, manik mata pria itu tertuju pada Zanara yang terlihat memberengut. "Kau kenapa, sayang?" tanya Brandon kemudian menggigit roti lapis di tangannya. Zanara mengambil segelas jus kemudian meneguknya sedikit. "Sama seperti sebelumnya, berita utama yang membuatku sakit kepala. Apa mereka tidak punya bahan lain? Kenapa selalu kau yang jadi bahan pembicaraan?" Ia mengomel kemudian melirik ke arah Brandon yang masih mengunyah makanan di mulutnya. "Kau percaya berita itu?" selidik pria itu, menatap tajam ke arah Zanara seolah memastikan, reaksi apa yang terlihat di mata kelasihnya itu. Zanara hanya menjawab dengan helaan nafas. Brandon tak tahan melihat kesedihan gadis tercintanya itu. Ia meraih jemari Zanara dan meremasnya lembut. Zanara ingin percaya pada kekasihnya itu, tetapi di satu sisi hatinya—yang terdalam dan tak terjamah, ada rasa curiga yang tak terbendung. Selama ini ia hanya mencoba untuk meredam perasaan itu. Ia percaya Brandon-nya adalah pria yang setia. Bahkan, dengan makin maraknya pemberitaan tentang kekasihnya, ia semakin yakin akan kesetiaan Brandon. Sebuah keyakinan yang bodoh, mungkin. Karena selama ini ia tak pernah sekali pun berusaha mencari tahu kebenaran berita itu. Brandon tak suka jika Zanara meragukannya. "Sayang, kau tahu benar, tak ada yang lain di hatiku. Kau tak perlu perdulikan apa pun pemberitaan tentangku. Itu hanya cara mereka mencari uang. Di pikiran mereka hanya uang, meski harus dengan cara kotor akan tetap dilakukan." Ia melanjutkan sarapannya, sesekali memastikan Zanara tak terpengaruh apa pun isi berita yang dibacanya. Brandon menggeser kursinya mendekat pada kekasihnya, keningnya masih bertaut. Memainkan pisau dan rotinya. "Baby, apa kau marah padaku?" tanya Brandon. Zanara menjawab hanya dengan gelengan. "Lain kali aku tak perlu membeli majalah itu. Beritanya sangat menyesatkan," sungut gadis itu yang disambut tawa Brandon. "Tak masalah jika kau ingin membeli majalah atau surat kabar apa pun dan berapa pun. Tapi satu hal yang perlu kuyakinkan padamu, bahwa berita itu tak selalu benar. " Zanara mengangguk. Ia mengintip jam tangan lalu bergegas bangkit dari tempat duduknya. "Sial! Aku terlambat." Ia mengecup bibir Brandon sebelum pergi, namun ditahan oleh pria itu. Zanara terpaksa menghentikan langkah dan berbalik menatap kekasihnya "Biar aku mengantarmu, aku libur hari ini." Brandon bangkit, mengambil kunci mobil lalu berjalan di samping Zanara yang menggamit lengannya. *** Zanara bergegas melepaskan aksesori yang ia kenakan untuk keperluan pemotretan. Brandon akan menjemput kurang dari setengah jam. Alice yang berada di sampingnya—sedang memoles wajah dengan make up, sesekali mengajaknya mengobrol dan bercanda, hingga seseorang masuk dan menghampiri mereka. "Well done untuk hari ini, Zanara. Kau luar biasa!" pujinya. Zanara menoleh ke arah datangnya suara di ambang pintu. Pria tinggi tegap dengan rambut kecoklatan agak panjang yang dibiarkan sedikit berantakan, bulu tipis di rahang tegasnya semakin menambah maskulinitas pria itu. "Oh, hai, Gabriel! Terima kasih pujianmu. Kau juga luar biasa." Zanara memutar kursinya menghadap pria yang kini sudah duduk di dekatnya. "Hey, Gabe, bersiaplah setelah ini giliranku!" timpal Alice ikut nimbrung pada percakapan antara Gabriel dan Zanara. "Oh, come on, Al ... baru saja aku meletakkan b****g di sini," keluh pria itu disambut tawa lainnya. Alice melotot ke arah pria itu, mau tak mau ia bangkit setelah sebelumnya pamit pada Zanara. "Al, jika bukan kau yang meminta, aku tak 'kan patuh begini. Oke, semua, aku bersiap dulu karena tuan putri sebentar lagi akan pemotretan." kelakarnya kemudian berbalik dan menghilang. Sepeninggal Gabriel, Alice mulai melontarkan celotehnya. Menggoda sahabatnya itu hingga merona. "Percayalah, Zee, Gabriel tertarik padamu. Itu terjadi sudah sejak lama. Tak ada yang tak tahu tentang itu." Alice berhenti sejenak demi menggoda Zanara yang tetap cuek dan sibuk merapikan rambutnya. "Al, Gabriel baik pada semua model dan kru. Apa pun sikap manisnya padaku, tak lantas membuktikan ia menyukaiku," sanggahnya yang tentu saja dibalas dengan bukti-bukti yang diketahui oleh sahabatnya itu. Zanara hanya tersenyum menanggapi pemaparan Alice tentang Gabriel. Tak ada yang benar-benar membuktikan kebenaran dugaan Alice dan model lain. Gabriel memang whole package-guy. Tampan, mapan, dan baik. Satu hal yang membuat Zanara heran, di usianya yang menginjak 37 tahun tak pernah sekali pun terdengar kabar kedekatannya dengan seorang wanita. Entah karena memang ia belum menemukan wanita yang tepat ataukah memang ia tidak menyukai wanita mana pun. Namun, berita tentang perasaan Gabriel pada Zanara sudah bukan lagi rahasia. Zanara sendiri selalu menjawab berita itu dengan senyuman. Bahkan ketika suatu ketika kedekatannya dengan Gabriel menjadi berita utama di sebuah majalah, ia tak menanggapi dengan serius karena ia bahkan sama sekali tak pernah menjalin kontak dengan Gabriel dari segi mana pun. Baginya Gabriel hanyalah teman dan rekan kerja. Tak lebih. "Zee, aku pergi sekarang. Jangan merindukanku." Alice bangkit dan beranjak meninggalkannya. Di ambang pintu Alice berhenti, berbalik dan melemparkan kecupan udara untuknya. Zanara membalas dengan hal yang sama kemudian terkekeh menyadari sikap konyol mereka berdua. Ia memandang tubuh Alice yang menjauh. Perlahan muncul memori pertemuannya dengan gadis itu. Gadis itulah yang kemudian mengajaknya bergabung di Maverick Studio sebagai model eksklusif. Jika tanpa Alice entah apa yang akan terjadi padanya. Mungkin ia bukan siapa-siapa saat ini. Zanara tersadar dari lamunan sesaat. Kembali mematut dirinya di cermin. Rambut ombak berwarna kecoklatan, sepasang iris mata hazel dibingkai dengan bulu lebat nan lentik, bibir ranum berwarna pink alami yang justru ia tutupi dengan polesan lipstick. Jangan lupakan warna kulit yang eksotis dengan pipi yang selalu terlihat merona meski tanpa pemerah pipi. Ia cantik, bahkan sangat cantik. Namun, pantulan bayangannya di sana memperlihatkan sosok yang sudah jauh berbeda dari saat pertama ia tiba dan menjadi model. Ia sudah melalui 10 tahun dengan baik-baik saja. Atau berusaha untuk itu. Kini ia terlihat lebih dewasa dan matang, juga cukup kuat untuk berpijak sendiri. Bukan lagi gadis dua puluh tahunan yang kabur dari rumah dan hampir hancur hidupnya. Dering ponsel menyadarkannya. Ia merogoh tas dan mengambil benda kecil itu. Panggilan rutin dari Brandon. Pria itu selalu menyempatkan diri untuk memberi kabar atau sebaliknya, menanyakan kabarnya. Zanara tersenyum menatap benda pipih, yang kini berkedip memperlihatkan nama pria kesayangannya. "Halo." Zanara menerima panggilan itu sambil memasang anting-anting perak di telinganya. "Hai, sayang. Bagaimana pemotretannya?" tanya Brandon di seberang. Zanara tersenyum simpul mendengar pertanyaan kekasihnya. Baru saja ia akan menjawab, sebuah suara mengejutkannya. "Halo, sayang. Aku merindukanmu." Suara bariton yang khas itu membuat Zanara terpaksa menoleh ke arah pintu di mana Brandon tiba-tiba sudah berada di sana. Senyumnya merekah, membuat Zanara turut menyunggingkan ujung bibirnya. Brandon mendekat lalu mengecup bibir gadis itu, menariknya masuk ke dalam pelukannya. "Apa kau sudah siap untuk pulang?" tanya pria itu. Zanara yang berada dalam dekapan Brandon hanya mengangguk. "Oh, tunggu, aku selesaikan ini dan kita akan pulang." Ia melepaskan diri dari pelukan Brandon, kembali mematut wajah di cermin. Memoles lagi lipstick berwarna nude pada bibirnya—yang tadi sempat pudar karena kecupan Brandon. Ia menyugar rambut dengan jemarinya, kemudian meraih tas tangan yang terletak tak jauh dari tempatnya saat ini. "Ayo, pulang." Ia menggandeng lengan Brandon. Pria itu bergeming membuat Zanara menghentikan langkahnya. Mengerutkan kening tak mengerti alasan Brandon menahan langkah mereka. "Apakah tempat ini kosong?" tanya Brandon disusul kerlingan nakal. Zanara membulatkan mata, melayangkan tepukan di lengan kekar pria itu. "Brandon ... jangan gila!" semburnya setengah berbisik sembali celingukan memastikan tak ada yang mendengar ucapan Brandon yang sebenarnya hanya ingin menggoda kekasihnya itu. Pria itu tergelak melihat reaksi Zanara. "Aku bercanda, sayang. Ayo kita pergi sekarang sebelum aku benar-benar melepaskan pakaianmu di sini." Brandon merangkul pinggang Zanara dan berjalan beriringan keluar dari ruangan itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN