Zanara duduk mematung di depan cermin besar yang memenuhi ruangan. Tatapan matanya kosong, entah memandang bayangannya sendiri atau justru angannya melayang tak tentu arah.
Ia masih patah hati, tentu saja. Tak ada seorang pun yang bisa begitu saja melupakan setelah melalui perjalanan cinta yang cukup panjang.
Terlebih hubungannya dan Brandon tak selalu mudah. Meski ia tak pernah secara langsung menemukan pria itu mengkhianatinya, tetap saja pemberitaan yang berseliweran membuatnya terganggu.
Masih bertahan menjalani hubungan dengan pria itu hingga 5 tahun adalah sebuah pengorbanan besar baginya. Dan kini semua terasa sia-sia. Hal yang telah ia pertahankan selama ini tak berarti apa-apa.
Ia teringat suatu malam, terbangun karena suara dering ponsel yang tak henti. Nama Amelie tertera di sana. Ia tak mengenal nama itu sama sekali karena tak pernah sekali pun Brandon menyebut nama lain selain dirinya. Terlebih—tentu saja, di setiap malam indah mereka.
Deringnya tak kunjung berhenti. Rasa penasaran membuat Zanara akhirnya menerima panggilan itu.
"H-halo, Bran. Maaf menelponmu tengah malam. Aku tak bisa tidur teringat perkataanmu saat itu. Kau tahu kan kalau aku—"
Tak menunggu gadis itu menyelesaikan kalimatnya, otak dan perasaan Zanara terlanjur panas. Dimatikannya sambungan telepon itu. Raut wajahnya berubah dingin. Menanti saat dimana Brandon terbangun dan ia ingin sekali menyerang pria itu dengan banyak pertanyaan.
Siapa Amelie? Apa yang dikatakan pria itu hingga Amelie tak bisa tidur? Apa yang disembunyikan Brandon darinya?
Dan tak lama, pria—yang diharapkannya terbangun, melenguh meraba sisi ranjang yang dingin. Mencari keberadaannya, lalu menemukan dirinya sedang berdiri menatap tajam ke arah pria itu.
Brandon yang kala itu setengah sadar, bangkit dari pembaringannya dan duduk di sisi ranjang.
"Sayang, kau di sana rupanya. Kenapa kau terbangun? Apa kau bermimpi buruk lagi?" tanya pria itu yang tak langsung dijawab oleh Zanara. Ia berusaha meredam amarah yang sudah memenuhi rongga dadanya.
"Who the f**k is Amelie?" serangnya. Brandon yang belum mendapatkan kesadarannya secara penuh, tak siap dengan serbuan yang dialamatkan padanya.
Wajahnya seketika pucat pasi. Dengan cahaya yang temaram, baik Zanara maupun Brandon tak dapat memastikan mimik muka masing-masing. Yang nampak hanya siluet, tetapi mereka sadar akan atmosfer ruangan yang mulai berubah.
"A-Amelie? Memangnya kenapa kau menanyakan itu?" tanya Brandon sedikit tergagap. Namun, ia seperti berusaha menguasai kegugupannya.
Zanara yang masih berdiri di depannya bahkan tak mampu memastikan perasaan kekasihnya sekarang. Banyak hal yang bermain di dalam pikirannya. Bahkan berbagai macam asumsi manipulatif yang membuat hatinya berada di antara keraguan dan keyakinan. Namun tetap saja, keraguanlah yang mendominasinya saat ini.
Ia ragu apakah menyerang Brandon seperti ini adalah cara yang tepat. Ia tak memiliki bukti apa pun jika mencurigai kekasihnya itu. Brandon bisa saja berkelit atau melakukan apa pun untuk tidak mengakui tuduhan apa pun. Dan Zanara belum tentu akan menyadari itu. Cinta telah membutakan matanya.
"Jangan pura-pura bodoh dan membuatku mengulangi pertanyaanku, Bran. Siapa Amelie?" desisnya lagi. Pada akhirnya ia mengulang juga pertanyaannya.
Brandon masih bergeming. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Berusaha mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan kekasihnya.
"Sayang, kau tenang dulu. Duduklah, aku akan menjelaskannya." Brandon menepuk permukaan ranjang di sampingnya, sebagai isyarat agar Zanara duduk dan membicarakan masalah itu dengan kepala dingin.
Namun, hati dan kepala gadis itu terlanjur sesak tak terbendung. Cukup dengan satu sulutan, maka api kemarahannya akan berkobar. Dan Brandon tahu bagaimana sifat kekasihnya itu.
Ia paham, Zanara tipe gadis yang dominan. Gadis itu akan menang dalam setiap pertikaian yang terjadi antara mereka. Namun, entah mengapa ia justru menyukai itu. Ia suka berada dalam pengaruh Zanara, ketika Zanara mendominasinya.
Di mana pun, dalam situasi apa pun. Bahkan dalam permainan ranjang mereka, Zanara selalu bisa menyetirnya.
"Amelie itu adalah kekasih Ayden, kau ingat? Atau jangan-jangan kau sudah lupa." jawab Brandon ragu. Namun berharap kekasihnya tak akan bertanya lebih lanjut. Karena jika itu terjadi, maka ia tak 'kan mungkin bisa berkelit dari gadis cerdas dan intuitif seperti Zanara.
Mendengar jawaban Brandon, gadis itu mulai melunak. Bahunya terlihat mengendur dan suara tarikan nafasnya mulai melambat. Sorot matanya pun tak lagi menyiratkan kemarahan seperti sebelumnya.
"Lalu apa hubungannya denganmu? Kau tak tahu, 'kan, apa yang ia ucapkan saat di telepon tadi."
"Memang apa katanya?"
"Ia tak bisa tidur karena perkataanmu. Apa yang kau katakan padanya?" Suara Zanara mulai terdengar sedikit manja.
"Ooh, itu .... Saat itu ia bilang sudah putus dengan Ayden, lalu mencariku karena selama ini akulah yang dicintainya."
Mendengar perkataan Brandon, wajah Zanara kembali memberengut. Dengan cepat Brandon melanjutkan kalimatnya.
"T-tapi aku sudah menolaknya. Aku mengatakan padanya bahwa aku akan menikahi wanita tercantik di dunia. Mungkin itu sebabnya ia tak bisa tidur."
Lagi, raut wajah Zanara terlihat tenang. Ia mendekat pada kekasihnya, duduk di atas pangkuan pria itu. Brandon membelai lembut rambut panjang gadis itu, menyelipkan ke belakang telinganya beberapa helai yang terurai.
"Aku mencintaimu, Zanara, tak mungkin mengkhianatimu," ucap Brandon sembari menangkupkan tangan pada pipi Zanara, yang dibalas senyum kelegaan di wajah kekasihnya itu.
"Aku juga mencintaimu, Bran. Lain kali jangan sembunyikan apa pun dariku."
Brandon mengangguk, mendekatkan wajah dan mengecup bibir Zanara. Mengecap aroma cherry dari lip mask yang rutin dioleskan gadis itu sebelum tidur.
Zanara membalas kecupan itu lebih intens, ingin sekali melanjutkan lebih jauh apa yang mereka lakukan, tetapi dengan perlahan Brandon menjauhkan tubuhnya.
"Sayang, jangan malam ini, ya. Besok aku harus datang pagi-pagi sekali untuk syuting. Kau juga ada jadwal pemotretan, kan?!"
Gadis itu tak merasa kecewa dengan penolakan kekasihnya. Brandon benar, mereka harus berangkat pagi sekali. Dan pertengkaran mereka barusan sudah menyita beberapa jam waktu tidur mereka.
"Ah, iya, benar."
"Nah, sebaiknya kita tidur lebih awal. Kau pasti tak ingin si Fotografer itu menyindirmu sepanjang hari," goda Brandon. Zanara terkekeh sembari mengangguk.
Brandon memeluknya erat, perlahan berbaring tanpa melepaskan pelukannya, membiarkan Zanara meringkuk di dalamnya hingga terlelap.
Salah satu dari sekian kenangan manis tentang Brandon yang sering terlintas dalam benaknya.
***
Sebuah tepukan membuyarkan lamunan Zanara. Alice sudah duduk di sampingnya sejak tadi memerhatikan apa yang dilakukannya. Meski masih dalam suasana berduka karena putus cinta, ia merasa tak boleh terus menerus bersedih.
Ia bangkit lalu meregangkan tubuh, memperhatikan penampakan dirinya di cermin.
Paras cantiknya terpantul sempurna di sana. Bahkan bentuk tubuh jenjang yang ideal menambah nilai plus dirinya secara fisik. Namun, bagi kebanyakan pria, cinta tak melulu tentang fisik.
Buktinya meski dengan penampipan gisik yang mendukung, ia kini digantungkan begitu saja. Ia menyadari perkataan Brandon lebih mengarah pada sebuah keraguan. Tak seharusnya ia tersulut dan memutuskan untuk pergi begitu saja.
Sungguh, ada rasa sesal dalam hati atas keputusannya sendiri.
Namun, mengingat bagaimana pria itu membiarkannya melangkah keluar dari sana, tetap saja membuat hatinya nyeri.
"Kau bisa lalui ini, Zee. Aku yakin itu." Alice meremas pundak sahabatnya itu dan menatap pantulan bayangan mereka di cermin. Paham bahwa sahabatnya sekaramg sangat membutuhkan itu.
Zanara mengangguk mendengar kalimat dari Alice. Tentu saja, ia pasti akan bisa melalui ini. Ia bahkan pernah melalui hal yang lebih sulit daripada sekedar drama romansa tak jelas seperti sekarang.
Terlebih dengan adanya Alice di sampingnya yang selalu menguatkan, seperti sebelumnya, ia akan mampu melalui semua ini.
***
Zanara dan Alice tiba di Studio saat seluruh kru sedang mengganti background untuk pemotretan selanjutnya. Saat hendak masuk ke ruang ganti, Gabriel menghentikan langkah Zanara.
"Zanara, kudengar dari Alice kau sedang mencari tempat tinggal."
Berita buruk selalu cepat menyebar, begitu pikir Zanara. Ia hanya mengangguk menjawab pertanyaan Gabriel.
"Mumpung kau sudah tahu, aku sekalian izin untuk selesai lebih awal nanti. Aku harus mencari rumah atau apartemen untuk kutinggali. Tak mungkin terus menumpang pada Alice meski ia tak keberatan."
Gabriel mengangguk mengerti.
"Oke. Nanti aku dan Alice akan mengantarmu. Oh, iya. Kebetulan aku punya beberapa lembar brosur apartemen yang bisa kau lihat. Aku meletakkannya di atas meja riasmu. Katakan padaku jika ada salah satu yang kau suka."
Zanara terdiam sejenak berusaha menelaah arti kalimat yang disampaikan Gabriel padanya. Namun ia tak ingin berasumsi bahwa pria itu akan memghabiskan harta untuk membelikannya sebuah apartemen. Gabriel tak mungkin segila itu.
Akhirnya Zanara hanya mengangguk mengerti lalu segera menuju ruang ganti sesaat setelah Gabriel kembali menyibukkan diri memeriksa persiapan para kru.
Seperti yang dikatakan fotografernya itu, di atas meja rias terdapat beberapa lembar brosur apartemen dan rumah minimalis yang sesuai dengan kriteria tempat tinggal yang ia butuhkan. Seharusnya sejak dulu ia melakukan ini.
Sebelum bersama Brandon, ia hanya menyewa sebuah flat kecil sekedar untuk tidur beberapa jam karena ia jarang berada di rumah. Sekarang, tabungannya pastilah sudah cukup bahkan untuk memberi beberapa unit apartemen mewah jika ia mau.
Salah satu gambar menarik perhatiannya. Sebuah apartemen minimalis yang tak jauh dari tempat kerjanya. Ia memutuskan akan memeriksa lokasi dan lainnya setelah selesai nanti.
Untuk sekarang, ia akan kembali fokus dengan kesibukannya terlebih dahulu. Meski kelihatan sulit, ia pasti akan bisa melalui ini semua.
***