Brandon berjalan santai menuju kursi yang sudah disediakan, telah tertera nama masing-masing di sana. Ia duduk di salah satu bangku, mengambil ponsel dari saku lalu menggulir aplikasi chat dan memandang foto salah satu kontak bernama 'AmeNagano' yang merupakan akun milik Amelie.
Ia menghela nafas membaca pesan dari gadis itu, sungguh merasa dilema dan seolah telah berkhianat di balik punggung Zanara. Namun, bagaimana lagi? Banyak hal yang tak ia dapatkan dari Zanara meski gadis itu seperti satu paket lengkap. Justru ia dapatkan itu semua ada dalam diri Amelie.
Ia harus segera membalas pesan Amelie jika tak ingin gadis itu merajuk. Baru hendak membalas, Amelie tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Sayang ...." Ia menghambur ke dalam pelukan Brandon yang masih dalam posisi duduk. Tingkah Amelie saat itu membuatnya celingukan berharap tak ada kru atau lainnya yang melihat kemesraan mereka.
Setelah memastikan tak ada seorang pun yang menyadari, ia mengecup pucuk kepala gadis itu. Merengkuh Amelie ke dalam pelukannya.
"Aku merindukanmu, Bran. Kenapa kau menutup telepon begitu saja malam tadi?" rengeknya.
Brandon tersenyum gemas pada gadis itu. Baginya Amelie selalu menjadi sosok gadis yang menyenangkan sejak dulu. Itu yang membuatnya mencintai gadis cantik berdarah Jepang-Prancis itu.
Meski mungkin sekarang ia telah memiliki Zanara, namun keberadaan Amelie membuat kisah cintanya semakin lengkap.
Jika ditanya siapa yang paling ia cintai, mungkin ia akan menjawab Amelie-lah orangnya. Atau mungkin Zanara? Entahlah, dirinya pun tak bisa memastikan. Karena kedua gadis itu memiliki keistimewaan berbeda yang melengkapi ekspektasi juga fantasi pria seperti Brandon.
Fantasi dalam berbagai artian tentunya, bergantung interpretasi setiap orang. Brandon tak 'kan menyalahkan itu. Karena dirinya seorang pria maka wajar rasanya jika ia memiliki berbagai keinginan. Bukankah lelaki berhak memilih?
"Maafkan aku, sayang. Zanara tiba-tiba masuk ke kamar. Aku tak ingin ia curiga pada kita, karena itu aku memutus panggilan. Namun, setidaknya kita masih bisa bertemu seperti ini, kan?!"
Amelie mengangguk senang merasa perasaannya bersambut. Ia bangkit dan menarik tangan Brandon agar berdiri.
"Ayo kita bicara sambil berjalan-jalan!" ajaknya, yang tentu saja tak dapat ditolak oleh pria itu.
Jika kepatuhan Brandon pada Zanara adalah karena d******i gadis itu, pada Amelie sebaliknya. Rasa patuhnya adalah untuk menyenangkan gadis berpostur mungil itu, juga dirinya sendiri. Ia senang menuruti keinginan sederhana Amelie, senang melihatnya tersenyum ketika keinginannya terpenuhi namun tak pernah terkesan mengatur dan memaksakan keinginan padanya. Sedikit berbeda dengan Zanara
Brandon bangkit dan menurut saja ketika gadis itu menggamit lengan dan menuntunnya berjalan kemana pun ia mau.
Sesekali mata mereka bertumbuk, kemudian saling melempar senyum. Gadis cantik keturunan Jepang itu tersenyum membuat matanya menyipit dan terlihat makin memesona.
Baik Brandon maupun Amelie terlihat dimabuk cinta. Namun, sepertinya hanya orang-orang yang peka yang bisa menyadari hubungan dua sejoli itu. Karena yang mereka ketahui, Brandon mengakui Amelie adalah saudara yang berasal dari kota kelahiran yang sama.
Brandon mencintai Amelie sejak lama. Mereka adalah teman sepermainan saat di kota asal mereka, Esternville. Tumbuh bersama dan bertemu sepanjang hari membuat benih cinta tumbuh di hati Brandon.
Namun, sebaliknya dengan Amelie. Pada mulanya ia justru merasa jatuh cinta pada Ayden, kakak Brandon yang berusia 3 tahun lebih tua dari Brandon. Bagi Amelie, Ayden lebih dewasa dan matang, hingga mampu membuat gadis itu kasmaran. Bahkan ciuman pertamanya dilakukan bersama Ayden.
Mengetahui perasaannya bertepuk sebelah tangan, Brandon memutuskan untuk pergi dari rumah dan mengadu nasib di Evermont, kota besar dengan total penduduk 3 juta jiwa. Bertemu orag-orang baru bahkan kemudian si cantik dan memesona, Zanara Miller, membuatnya perlahan melupakan Amelie.
Hingga kemudian entah dengan alasan apa, gadis itu datang ke kota yang sama dan dengan sengaja menemui Brandon dan memaksa berada dalam naungan manajemen yang sama.
Bermula dari karir sebagai seorang model, ia merambah karirnya sebagai aktor kenamaan. Tak ada yang tak mengenalnya. Namun, sepertinya tak ada pula yang menyadari hubungannya dengan Amelie. Atau mereka hanya bersikap masa bodoh karen merasa hal semacam itu sudah biasa terjadi dan dilakukan aktor terkenal.
Brandon menghentikan langkah di dekat sebuah bangku panjang. Ia memandu Amelie dan memberi isyarat pada gadis itu untuk duduk di sana. Ia berjongkok di hadapan Amelie, menggenggam jemari gadis itu dengan lembut.
"Amelie, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Tentang hubungan kita," ucapnya.
Wajah Amelie terlihat sumringah. Ia membayangkan Brandon akan melamar atau setidaknya mengatakan perasaan padanya. Selama ini pria itu tak pernah sekali pun mengucapkan dua kata itu. Hal yang selalu dinantikan Amelie.
"Katakanlah, Bran, aku mendengarkan."
Brandon menghela nafas berat. Ia sesungguhnya tak mampu melakukan ini, tetapi jika tak memberi kejelasan pada gadis itu, akan berbahaya bagi hubungannya dengan Zanara. Ia tak ingin kehilangan Zanara, tetapi juga takut berpisah dari Amelie.
Mendapatkan Amelie seperti sekarang merupakan mimpinya sejak dulu, tetapi memiliki Zanara juga bukan hal yang mudah. Butuh perjuangan yang tak main-main untuk meyakinkan gadis itu agar menerima dirinya sebagai kekasih.
Namun, dihadapkan pada pilihan sulit seperti ini pun membuatnya kebingungan. Ia menginginkan Amelie, karena gadis itu mampu membuatnya menjadi lelaki yang berbeda. Merasakan menjadi lelaki yang sebenarnya.
Ia bisa merasakan bagaimana rasanya dicintai dan dipuja, sementara dengan Zanara justru sebaliknya. Ia begitu tergila-gila pada gadis itu hingga sangat memujanya. Sungguh sesuatu yang sekilas terdengar sama. Memuja dan dipuja. Namun yang jadi masalah adalah siapa yang mejadi objek dan siap subjeknya.
"Hubungan kita ini ... kurasa harus kita akhiri sekarang juga."
Ucapan Brandon membuat Amelie terhenyak. Matanya mulai berembun siap untuk menjatuhkan tiap tetes bulir ke pipinya. Ia tak menyangka Brandon dengan mudah mengatakan hal ini padanya.
"A-apa maksudmu?" tanya gadis itu, parau.
Brandon menyugar rambutnya, tak tahu harus menjawab apa. Namun baginya apa yang sudah ia katakan seharusnya cukup jelas dan bisa dimengerti oleh Amelie. Kenyataannya gadis itu seolah tak memahami apa pun. Bahkan alasan mengapa hubungan mereka harus diakhiri.
Ataukah ia hanya tak mau tahu?
"Maafkan aku, Amelie. Aku dan Zanara akan segera menikah. Ia begitu setia, rasanya tak adil jika aku berbuat sebaliknya."
Amelie menggeleng cepat. Antara menolak dan tak percaya kisah cintanya akan berakhir seperti ini. Selama ini ia tak masalah harus menyembunyikan hubungan dengan Brandon, asalkan bisa selalu bersama pria itu, apa pun ia rela lakukan.
"Kau pasti bercanda, kan?" lirihnya, dengan bibir bergetar. Memaksakan senyum di wajah mulus yang basah karena air mata.
"Maafkan aku." Hanya itu yang mampu diucapkan Brandon, yang kemudian disusul kepergian Amelie setelah mendaratkan sebuah tamparan pada pipinya.
Pria itu hanya mematung memandang tubuh Amelie yang perlahan menjauh. Ia mengembuskan nafas lemah, pundaknya serasa lunglai. Namun, ini hal terbaik yang harus ia lakukan. Demi keutuhan hubungannya dengan Zanara.
***
Beberapa hari berlalu sejak Brandon memutuskan hubungan dengan Amelie, ia tak pernah bertemu dengan gadis itu. Rasa rindu mulai menyeruak dinding hatinya. Berbagai pertanyaan tentang Amelie mengganggu pikirannya.
Apakah gadis itu baik-baik saja? Apakah ia memutuskan untuk bunuh diri sehingga tak pernah terlihat di lokasi syuting? Ia sungguh merasa gelisah mempertanyakan keberadaan dan kabar Amelie.
Ia tak berani bertanya secara langsung pada sutradara atau pun manajernya, khawatir kedekatan mereka akan mudah terendus terlebih oleh media. Karenanya ia hanya bisa pasrah menanti gadis itu muncul di hadapannya, atau setidaknya mendengar kabarnya.
Brandon mengembuskan nafas kasar. Pikiran tentang Amelie dan Zanara membuatnya lelah secara mental. Secangkir kopi mungkin akaan bisa menenangkan, sekaligus mendinginkan pikirannya yang sedang tak karuan.
Saat berjalan menuju Cafe yang tak jauh dari lokasi syuting, lengannya ditahan oleh seseorang. Ia berbalik dan menemukan Amelie yang tanpa canggung langsung berjinjit mengecup bibirnya.
"Hai, sayang. Kau mau membeli kopi, ya? Boleh aku ikut denganmu?" tanya gadis itu, dengan nada suara manja yang khas. Brandon menoleh ke kanan dan kiri, khawatir seseorang memerhatikan mereka.
"Apa yang kau lakukan, Amelie?" desisnya, setengah berbisik.
Gadis di hadapannya—dengan rok setinggi paha dan tanktop berwarna putih yang dipadu cardigan pink, terlihat santai, tak terganggu dengan kegusaran Brandon.
"Kenapa, sayang? Apa aku salah karena menyapa kekasihku?"
Brandon menarik lengan Amelie, membawanya ke sudut sebuah bangunan, agar tak seorang pun melihat apa yang ingin ia lakukan dan katakan pada gadis itu.
"Amelie, aku sudah katakan padamu, hubungan kita sudah berakhir," ucapnya, setengah berbisik, tanpa perduli bagaimana reaksi gadis itu.
Gadis itu terlihat tetap tenang meski ucapan Brandon sudah layaknya sembilu. Ia merasa nyeri di hatinya, tapi tak menampakkan itu semua jika dilihat dari mimik mukanya saat ini.
"Kau ini kenapa, Bran? Tumben sekali bicaramu kasar padaku." Mata gadis itu terlihat berkaca. Brandon mengembuskan nafas kasar, tak menyangka gadis itu akan mengeluarkan jurus andalan para wanita, tangisan.
"Aku katakan sekali lagi, Amelie. Dengarkan baik-baik, ini demi kebaikan kita. Hubungan kita sudah berakhir, oke?! Jangan temui aku terlebih dengan cara seperti ini. Sangat berbahaya untuk karir kita, juga hubunganku dengan Zanara."
Gadis itu terbelalak. Bukan karena terkejut atas apa yang diucapkan pria yang dikasihinya itu, melainkan karena amarah yang setengah mati ditahannya.
"Tidak! Brandon Nelson dan Amelie Nagano tak akan pernah berpisah sampai kapan pun."
Kali ini Brandon dapat melihat kilat kemarahan di mata gadis itu. Ia bukan lagi Amelie yang dikenalnya. Gadis itu tampak berbeda, Brandon dapat merasakan itu.
Namun, selanjutnya dalam jarak waktu sepersekian menit, ekspresi wajah Amelie berubah drastis. Ia tersenyum manis pada pria di hadapannya. Menangkupkan kedua telapak tangan pada pipi Brandon dan membelainya lembut.
"Baiklah, sampai bertemu lagi, sayang. Aku mencintaimu." Amelie mengecup bibir Brandon yang masih mematung. Kemudian melenggang pergi dan menghilang di balik dinding bangunan yang berhimpitan. Brandon menghela nafas, antara lega dan panik dengan sikap Amelie.
Brandon kemudian kembali melanjutkan langkahnya menuju ke Cafe sembari berharap dalam hati tak akan ada yang memerhatikan apa yang dilakukan Amelie terhadapnya.
***