Cortex High School, sekolah yang bersih akan skandal selama berpuluh-puluh tahun hari ini harus menerima fakta pahit dalam sejarahnya. Salah seorang murid diberitakan sebagai p**************a ditangkap ketika membawa barang haram itu kepada orang-orang penting.
Alhasil, guru-guru sibuk membalas telepon dari para orang tua siswa yang khawatir. Skandal ini akan mencoreng nama sekolah sekaligus menurunkan harapan anak mereka diterima di perguruan tinggi. Orang tua siswa minta rapat komite segera dilaksanakan.
Bukan hanya guru, para murid juga berseliweran hanya untuk memastikan apa berita itu benar. Terlihat para siswa yang baru saja tiba di sekolah langsung ikut bergabung dengan geng mereka, bergosip.
Sementara kelas XII.1 sendiri hening. Kecemasan terlihat menghiasi wajah mereka.
"Aku menyesal sekelas dengannya. Dia anak buahmu kan Ward," gerutu Chasandra.
Edward mengabaikannya. Laki-laki itu membuka buku, menaruh earphone di telinganya dan lanjut menulis tugas yang akan dikumpul bulan depan. Tipe murid teladan yang tak pernah menunda-nunda tugas.
"Diamlah Chasandra. Semua orang kecewa dengannya, tapi tolonglah mengerti akan keadaan sekarang," timpal Debi.
Chasandra melipat tangan di depan d**a seraya memutar bola mata. "Cih, dasar, kau tahu stratamu kan? Berani-beraninya menegurku."
Debi mengerling, menatap tajam dan bangkit dari duduknya.
"STRATA? JAGA MULUTMU!" Dia menghampiri Chasandra, melayangkan tangannya—tetapi tertahan.
Aeera dengan sigap menahannya, seraya berbisik. "Sudahlah Deb, kau tahu dia memang seperti itu."
"Dia harus menjaga mulutnya Ra." Debi berusaha mengontrol emosinya. Ingin rasanya ia meremuk-remukkan wajah Chasandra seperti adonan kue. Tetapi demi sahabatnya Aeera, ia tidak akan melakukan itu, berganti menjadi tarikan napas yang dalam. "Kalau saja bukan karena Aeera. Habis kau…"
Kedua bahu Chasandra terangkat seraya menatap Anelka dan Romi yang tersenyum kecut. Mereka bertiga meninggalkan kelas. Pergi entah ke mana.
Semua orang yang sedari tadi menyaksikan kejadian itu baru tersadar dari lamunan mereka. Arabelle menghampiri Debi dan menenangkannya. “Untung bukan aku, wajahnya yang sok sudah kutampar habis-habisan,” celetuhnya membuat Debi tertawa kecil.
"Oh iya, mana Angela, apa dia sakit?" tanya Aeera setelah hening beberapa saat. Mereka terlalu shock atas berita pagi ini sampai tak menyadari jika Angela tak datang sekolah hari ini.
"Entahlah, hmm... ya, mungkin dia sakit," jawab Juita, memperhatikan jam tangannya. “Sudah pukul delapan dia tidak akan mungkin setelat ini. Apa kita perlu menghubunginya?”
Debi menggeleng. “Ku-kurasa tidak perlu, barangkali dia kelelahan.”
Aeera dan Arabelle saling melemparkan pandangan. Pikiran mereka sama, semalam keluarga Angela tidak hadir di pesta makan malam. Pasti ada yang tidak beres.
Sementara mereka kembali membahas Bimo, Chasandra yang baru saja tiba bersama dua saha—bonekanya, memperhatikan Arabelle dan yang lainnya dari kejauhan. Ia langsung saja menghampiri mereka.
"Apa yang kau lakukan ha? Biasanya, kau yang ngotot jika ada masalah seperti ini Arabelle. Ada apa?" nada bicara Chasandra membuat dia terlihat seolah-olah memancing amarah Arabelle. “Kau malah bergabung bersama mereka seolah memiliki teman sekelas p**************a bukan adalah hal yang baik-baik saja.”
Arabelle mendongak. "Kami sedang mencari jalan keluar, lagi pun semuanya sudah berubah Chas."
Kembali bangkunya hendak memasang airpod di telinga.
"Berubah? Bukan kah kau yang membuat peraturan tentang siapa pun yang mecemarkan nama baik kelas akan dihukum?"
Arabelle terdiam, memandangi seisi kelas.
Pikirannya mulai gusar. Dengan beringas dia berdiri, mendorong Chasandra hingga perempuan itu bersandar di dinding. Tangan kanan Arabelle saat ini hampir melingkar sempurna di leher Chasandra.
Semua mata kini tertuju pada mereka. Ada yang takjub, ada yang khawatir dan ada juga yang masih dengan ekspresi datarnya.
"Jaga mulutmu! Chas. Jangan membuatku melakukan hal buruk di waktu seperti ini."
"Cekik saja aku kalau kau berani. Kenapa kau tidak melakukannya? Apa karena rahasiamu yang itu takut terbongkar."
Arabelle menelan ludah, melemaskan tangannya membuat Chasandra bisa bernapas normal kembali. Ditatapnya semua orang yang kebingungan, lalu didorongnya Chasandra kemudian pergi keluar kelas dengan membawa beberapa buku.
Edward bangkit dari duduknya, pulpennya jatuh berdenting di lantai. “Perempuan s****n kau Chas!” Ia pergi keluar kelas, mengejar Arabelle.
Semua orang terkejut. Kalimat itu baru saja keluar dari mulutnya. Dari mulut laki-laki yang terkenal good attitude seantero Cortex.
“Hahaha.. lihatlah dia, ketemu cinta langsung bego.”
Chasandra terduduk dengan wajahnya yang menyebalkan. Disaat bersamaan, mata Sinta dan Devan bertemu pandang cukup lama membuatnya seolah berbicara.
Devan semakin yakin apa yang Sinta katakan tentang Elite Student itu benar.
*
Perempuan berjaket merah tua masuk ke rumah megah. Disambut empat bodyguard di pintu. Diarahkan menuju ke lantai atas. Memasuki ruangan megah yang dipenuhi alat musik. Sementara sekelilingnya sudah ada pengiring instrumen yang handal. Juga orang tua dan anak perempuannya yang berdiri tepat di tengah.
“Selamat datang Bu…” Perempuan berpiama menyambutnya lebih dulu.
“Ya, terima kasih. Mungkin langsung saja Bu, Pak… Kalian bisa meninggalkan ruangan ini, serahkan semuanya kepadaku.”
“Tidak. Kami ingin melihat putri kami bernyanyi.”
Sang pelatih mengangguk. “Baiklah kalau begitu.” Lantas mengeluarkan batok stick dirigen-nya. “Kau sudah siap Nak… ee…”
“Angela.” Anak perempuan itu menyahut.
“Nak Angela. Nama yang bagus. Jadi kita mulai dengan instrumen apa? Kau bisa Con Te Partiro, Andrea Bocheli?” tanya sang pelatih. “Kalau tidak, aku akan memberi contoh lebih dulu…”
“Dia bisa kok Bu,” timpal sang ayah.
Angela mengangguk, menelan ludah.
“Baiklah kalau begitu…”
Sang pelatih memberitahu sang pengiring, kemudian mengangkat stick-nya tinggi-tinggi. Instrumen dimulai, lantunan nada dari penyanyi pop tenor tunanetra berkebangsaan Italia itu terdengar.
Angela menyanyi dengan lancar. Suaranya merdu meliuk-liuk, bergema di tiap sudut ruangan.
Quando sei lontana
Sogno all'orizzonte
E mancan le parole
E io sì lo so
Che sei con me, con me
Tu mia luna, tu sei qui con me
Mio sole tu sei qui con me
“Con me… con me… con mee.. Uhuk.”
Angela terbatuk kecil, tak bisa mencapai nada tingginya sementara musik pengiring terus berbunyi. Ia bernyanyi kembali. “Con te partirò…. Paesi che non ho mai…”
“Stop, stop, hentikan.” Sang pelatih berdiri, para pengiring instrument berhenti. “Jangan melanjutkan kalau kau tidak bisa Angela itu ha—”
PLAK!
Tamparan terdengar.
Sang pelatih spontan menutup mata. Lalu saat matanya terbuka Kembali, Angela sudah meringis kesakitan dihadapannya.
Sang ayah telah memukuli anaknya hanya karena sekali kegagalan mencapai highnote. Betapa mengerikannya pemandangan itu.