Seperti tidur di malam-malam sebelumnya, Neo memiliki tidur yang tidak nyenyak. Jadi rasanya akan lebih baik untuk melihat dinding kamar sederhana dibandingkan menghadapi banyak mimpi buruk. Namun, saat membuka mata, dia berada dalam kamar yang berbeda dari tempat dia menginap malam sebelumnya. Ruang tidur ini jauh lebih besar. Jauh lebih megah, lebih berkelas dari kamar yang dia gunakan untuk menginap sebelumnya. Rasanya seperti kamar ini bukan tempat yang pantas untuknya, tapi dia memilih untuk tidak memprotes. Diberikan tempat menginap seperti ini jelas sangat baik.
“Anda telah bangun, Tuan Besar.” Neo terkejut dan menoleh dengan cepat. Seorang laki-laki muda berdiri di dekat ranjang yang begitu besar, terlalu besar untuk dirinya sendiri. Laki-laki itu terlihat muda meski wajahnya tampak mati.
Seakan dia baru saja terjebak dalam tempat yang tidak dikenal, kepala Neo seperti berputar dan terikat pada ingatan yang samar. Sebelumnya, dia merasa seperti berada dalam tempat yang asing. Namun, dia merasa hal itu sangat samar.
Mata biru besar milik Neo menyipit dan memaku tatapan pada makhluk itu, baru menyadari panggilan yang dialamatkan padanya. Itu jelas sangat asing, jauh sangat berbeda dari yang dia dengar sebelum ini. “Tuan Besar? Siapa?” tanyanya.
Dengan mata yang terlihat kehilangan fokus, dia menatapi makhluk itu. Makhluk itu hanya memberikan senyum samar yang entah bagaimana terlihat seperti matanya tetap tidak tersenyum. Sesuatu yang seperti itu, tentu saja membuat Neo sedikit bergidik. Wajah itu, dia tidak tahu kalau itu adalah orang hidup atau jiwa orang mati. Wajahnya terlalu pucat, terlalu pasi dan sangat tenang. Neo sampai tidak tahu harus mengalamatkannya sebagai orang atau sesuatu yang lain.
“Maaf, Anda mungkin bingung, tapi jawabannya adalah Anda, tentu saja. Anda adalah Tuan dari Tuan kami. Jadi Anda adalah Tuan Besar,” ujarnya dengan nada suara yang ramah. Kali ini makhluk ini jelas terdengar seperti anak kecil.
Neo yang tidak mengingat apapun jadi mengerutkan wajah. Dalam diam dia berbicara dalam hati, Tuan Besar? Aku? Saat aku tidak sadar, apa yang terjadi?
Pintu sangat besar dan megah milik kamar itu kemudian terbuka dan Arthur berdiri di sana. Pintu ruangan yang sangat besar itu tidak lagi terlihat besar ketika tubuh itu berada di sana. Pintu itu seharusnya dapat digunakan untuk berselisihnya setidaknya 3 laki-laki dewasa. Namun, saat Arthur di sana, pintu itu terlihat seperti hanya dapat menampung 2 orang laki-laki yang bahkan harus sangat berdesakan.
Wajah yang awalnya sangat keras itu berubah menjadi lebih ramah. Hanya saja, senyum seperti tidak tercipta untuknya, jadi wajahnya terlihat sangat kaku. Lengkungan bibirnya terlihat seperti hampir patah ketika memaksa untuk tersenyum. Dengan mata yang tajam dan senyum yang terbentuk penuh paksaan, ekspresinya malah agak terlihat mengerikan.
“Kamu bisa segera meninggalkan kamar ini,” ujarnya, tidak tahu tengah berbicara pada siapa.
Cara laki-laki itu berbicara membuat Neo seperti mendengar sebuah perintah. Dia hampir akan bangun, namun kesadaran akibat baru bangun tidur seakan belum kembali dengan benar, dia jadi bergerak agak lambat. Lalu kemudian dia menyadari kalau perintah itu bukan untuknya. Pelayan yang tadi berada di dekatnya tampak telah berada di dekat pintu, gerakkannya sangat cepat hingga Neo merasa kalau dia hanya sekali berkedip sedari tadi dan pelayan itu sudah seperti terbang untuk sampai ke sana. Sekarang pelayan itu tengah membungkukkan tubuh, memberi hormat pada Arthur dan berjalan menjauh. Langkah kakinya tidak terdengar, hingga perlu beberapa saat bagi Neo untuk menyadarinya.
Laki-laki dengan tubuh tinggi besar yang tadi berada di ambang pintu segera berjalan mendekat dan berdiri di dekat tempat tidur Neo. “Sekarang An—”
Perkataan itu dihentikan dan dia menatap sebentar wajah seseorang yang menengadah padanya dari tempat tidur. Wajah yang pucat itu membuatnya kembali mengingat kejadian sebelum ini, kejadian di mana Dewi Bulan mengatakan kalau dia belum ingat. Itu berarti, Neo belum siap untuk segala takdir yang tertorehkan untuknya.
Dengan berat hati, dia menajamkan sedikit lagi tatapannya. “Sekarang kamu sudah bangun. Kamu ingat dengan apapun yang terjadi di ruangan itu?”
Kembali seperti sebelumnya, Arthur merasakan kepahitan di lidahnya. Berbicara dengan nada datar yang keras dan tanpa penghormatan seperti itu bukan dirinya. Jika berbicara dengan orang ini, cara berbicara yang dia gunakan seharusnya tidak seperti ini.
“Aku tidak tahu. Aku tidak ingat apapun. Sejak aku tertahan di tanah dan hampir ditembaki panah berapi, aku sudah tidak ingat apapun,” jelasnya. Semua perkataan itu sepertinya memang benar-benar bukan kebohongan.
Mata cokelat itu menghunus ke pandangan membingungkan mata biru yang berada di depannya. Mata itu, meski tidak terlihat fokus, mata itu sama sekali tidak memperlihatkan kebohongan. Kejujuran terpancar di sana dan Arthur selalu percaya sebab kejujuran adalah salah satu pilar jiwa dari tuannya.
Neo tidak ingat, Arthur merasakan kepahitan di ujung lidah juga menjalar ke hati. Dia mengatakan kalau dia tidak ingat, maka artinya tidak akan sesederhana itu. Arti yang lebih jelas adalah bahwa Neo benar-benar menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya. Seperti yang dikatakan oleh Dewi Bulan, Neo sepertinya benar-benar memilih untuk melupa. Jiwanya pasti benar-benar lelah. Alam bawah sadar telah mengambil alih dirinya dan menahan dirinya yang sebenarnya untuk bangkit. Sekarang, manusia yang berada di depannya memang hanya manusia biasa, bukan seorang manusia yang menerima berkat semesta untuk menjadi seorang pembasmi iblis.
Masih mencoba untuk membuat orang itu, ingat Arthur mengulurkan tangan. Dia sadar kalau kekuatannya sama sekali bukan tandingan yang sesuai untuk orang ini, tapi dia tetap berusaha mencoba. “Tutup matamu,” ujarnya setelah tangannya menutup mata orang itu.
Dengan perlahan, Arthur juga menutup matanya. Cahaya merah yang terasa dingin muncul dari telapak tangan itu, mengerutkan Neo yang masih memejamkan mata. Udara dingin yang menampar halus kelopak mata membuatnya benar-benar merasa tidak nyaman. Kelopak mata yang berisikan iris mata biru itu hampir terbuka, namun tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya. Dia merasa seperti kelopak matanya telah menyatu dengan permanen, seakan terjahit menjadi satu.
“Tolong jangan khawatir.” Seperti tahu apa yang tengah manusia itu rasakan, Arthur menceletuk seperti itu. “Tidak ada sesuatu yang buruk sedang menimpamu. Aku hanya ingin kamu melihat sesuatu. Tolong jangan menolaknya atau segala sesuatu itu akan lebih sulit untuk kamu lihat.”
Itu membingungkan, tapi selain menurut, Neo tidak memiliki pilihan apapun. Menolak sama saja menyakiti diri sendiri. Jika laki-laki ini tidak memperbolehkannya menolak, maka dia juga tidak dapat melakukan apapun untuk menolak. Jika dia memaksa, maka seorang iblis dapat melakukan segalanya untuk membuat apa yang dia inginkan selalu terjadi.
Namun, baru saja dia menghela napas pasrah, visual yang dia lihat sudah agak membuatnya terheran-heran. Dia dengan sangat mengejutkan telah mampu membuka matanya, namun segala sesuatu yang dia lihat bukan gambaran kamar itu. Gambaran itu jelas-jelas berbeda, namun terasa nyata.
“Sekarang …,” tutur sebuah suara yang muncul dan meninggalkan gema yang terdengar mistis, “apa sesuatu yang kamu lihat?”
Setelah suara itu muncul, Neo melihat sekeliling. Jujur saja, di keadaan seperti ini, suara yang muncul terlalu mengejutkan. Dia tidak tahu dari arah mana suara itu datang.
“Aku tidak melihat apapun. Tempat ini begitu gelap. Apa yang terjadi? Di mana aku berada?” Tanpa dia sadari, dia berteriak keras. Di keadaan seperti ini, dia tidak dapat menolong diri selain melakukan itu. Dia tidak tahu ke mana arah keluar dan tidak tahu apa yang akan terjadi. Sebagai seorang manusia yang memiliki rasa takut, yang anehnya kali ini dapat berfungsi dengan baik, dia jelas-jelas ingin keluar dari tempat ini secepatnya.
Di dalam keadaan mata yang tertutup, Arthur mengerutkan kening. Dia mencoba menilik lebih dalam dan memang hanya menemukan kegelapan di dalamnya. “Tempat ini ada di dalam dirimu. Kita tengah berada di dalam jiwamu. Ini adalah jiwamu, tempat terdalam yang menyimpan siapa dirimu sebenarnya.”
Arthur mengatakan sesuatu yang seperti itu, namun padahal ingin menyangkal kenyataan. Dia berusaha menyangkal dengan membaca isi jiwa. Biasanya, bagi iblis seperti dirinya, melihat jiwa seseorang bukan sesuatu yang aneh. Jiwa dari manusia adalah sumber kehidupan mereka, melihat jiwa yang berisikan keserakahan yang paling mereka sukai memang sudah kewajaran. Seperti memilih menu dari sekumpulan makanan kesukaan, keserakahan yang paling besar adalah keserakahan yang paling nikmat. Namun, jiwa bersih seperti Neo bahkan berisikan kegelapan seperti ini. Kegelapan itu bukan lambang dari keserakahan. Kegelapan di dalam jiwa orang seperti ini adalah bentuk dari penyembunyian jati diri, tempat penguburan keengganan paling tinggi.
“Diriku yang sebenarnya?” Neo tidak mengerti apapun. Jika ini dirinya yang sebenarnya, maka itu berarti kalau jiwanya hanya berisi kekosongan. Entah memang hanya karena kosong, tanpa jati diri atau memang dia tidak menimbulkan jati dirinya.
Sedangkan Arthur yang paling mengerti dengan apapun yang terjadi. Di sini, dia seharusnya bisa melihat segalanya dengan jelas. Alam bawah sadar Neo begitu awas, bahkan saat kesadarannya dilemahkan seperti ini, dia masih menutup diri dengan sangat baik. Kekuatan Arthur memang tidak seberapa untuk orang yang disebut sebagai tuan. Namun, tanpa kesadaran akan jati diri, Neo masihlah seorang manusia biasa. Tapi, setelah mencari tahu sendiri, Arthur baru memahami bahwa menyembunyikan jati diri itu dilakukan dengan sekuat tenaga. Sangat keras kepala, sangat penuh dengan ketangguhan yang bahkan tidak dapat diruntuhkan oleh seorang iblis yang sejenis dia.
“Dirimu yang sesungguhnya,” ujarnya lagi, masih terdengar menggema, “kamu yang sesungguhnya. Hanya saja, jiwamu tidak bersedia untuk membuka diri. Kamu, dirimu yang sekarang bukanlah kamu. Kamu hanya masih belum bisa menerima dirimu sendiri. Dan aku akan menunggu saat itu tiba, aku menunggu jiwamu itu untuk kembali menghadapi keganasan dunia. Seperti di hari itu.”