Sebelum kejadian dia berlutut itu, Arthur merasakan lutut yang gemetar. Dia sangat terkejut, jika yang tidak pernah merasakan mati sepertinya berpikir kalau dia terkejut setengah mati, maka rasa terkejutnya tentu sangat besar. Kejadian itu membuatnya ingat dengan sebuah sumpah di masa lalu. Sumpah yang dilantangkan itu menggema dalam kepala hingga memenuhi dirinya. Sebuah kilasan masa lalu yang selalu bertandang setiap saat mereka kembali bertemu, berputar ulang seperti sebuah memori yang tidak akan pernah hilang.
Di pelupuk mata, Arthur dapat melihat dengan jelas setiap kilas balik kejadian yang memulai segala takdir mereka berdua. Dia yang tidak dapat mati tanpa Neo dan Neo yang tidak dapat hidup tanpanya. Semua itu akibat sumpah yang dilantangkan di masa lalu. Kejadian sumpah yang mengikat mereka pada takdir yang terlihat tidak begitu menguntungkan. Namun bagi keduanya, itu tidak begitu buruk karena pada dasarnya mereka berbagi mimpi yang sama.
Lalu, saat ini, ketika melihat bagaimana seseorang yang awalnya hanya terlihat seperti anak laki-laki biasa menjadi orang yang begitu dia hormati, dia tidak dapat menahan diri sendiri yang bertingkah seperti daun terakhir di pohon saat musim kering. Daun yang gemetar meski hanya ditiup angin secara perlahan. Jubah yang sangat putih dan berkibar, menyatu dengan cahaya biru yang begitu hangat begitu menarik perhatian. Ketika pedang ditarik, roh-roh jahat yang tadi menahan gerak orang itu menghilang seketika. Seakan takut dengan kekuatan magis dari pedang pusaka pembasmi iblis. Salah satu benda pusaka terkuat di Planet Eirini.
Seperti bukan diri sendiri, Neo yang awalnya berwajah lembut, kini menunjukkan wajah yang sedikit galak. Matanya tajam dan ketika panah api menyerang, Arthur tidak dapat menahan rasa kagum yang tumbuh di dalam relung. Tulang belikat yang berputar itu tampak sangat lincah, mengibarkan jubah di bawah hujan panah api. Sesuatu yang seperti itu, jelas terlihat seperti cahaya biru bulan yang menari bersama kelopak bunga jatuh yang menyala di bawah malam yang begitu cerah.
“Tuan sudah kembali …,” bisik Arthur pada dirinya sendiri. Wajah sangat tampan yang pucat agak terlihat lebih baik dari sebelumnya. Sebuah rasa kerinduan yang besar muncul di balik mata cokelatnya yang agak kuyu. Kerinduan itu dipadukan dengan rasa kagum yang ditunjukkan dengan sangat sungkan dan anggun, seakan Neo adalah Tuan yang begitu sempurna.
Arthur sudah hidup sangat lama, namun sebuah rasa kebahagiaan yang besar tidak dapat dia bendung. Menunggu sangat lama untuk kelahiran kembali terasa seperti sebuah waktu yang tanpa akhir. Namun saat waktu itu tiba, dia malah merasa bahwa penantianlah yang terasa sangat cepat berlalu seperti mimpi. “Akhirnya, lentera kebenaran telah menyalakan lagi sumbunya,” bisiknya lagi.
Panah api terakhir yang keluar dengan nyala yang paling terang telah ditangkis, menghentikan deret bunyi dentingan yang mendengingkan telinga hingga hampir seperti mendirikan seluruh rambut di tengkuk. Mata biru yang telah terlihat berbeda akibat terisi oleh keberwibawaan yang baru hidup itu mengarah ke arah Arthur dan kembali membuat lutut iblis itu gemetar. Tanpa dia sadari, kaki telah melangkah dengan sangat terseok, seperti tertarik sebuah magnet terkuat. Lalu, tanpa banyak waktu dia bersimpuh untuk berlutut di bawah kaki manusia itu, hampir membuat wajahnya mencium tanah.
“Tuan, akhirnya Anda telah bangkit lagi. Saya sudah menunggu kelahiran Anda kembali,” ujarnya dengan suka cita yang dibalut dengan penuh kesopanan. Dia sangat lega dan penuh dengan kepatuhan yang membuat kepalanya hampir tertanam di tanah.
Sebuah bunyi tebasan pedang membelah udara dan Arthur merasakan dingin yang membentuk arus angin di punggungnya. Dia mengenakan mantel dengan kualitas yang sangat bagus, begitu tebal dan bahkan tidak dapat membuatnya merasakan angin musim dingin dari badai sekalipun. Namun, pedang ini berbeda, dapat membuat angin yang terasa sangat dingin, sampai pada akhirnya ujung pedang yang dingin itu menyentuh pipinya. Secara perlahan, ujung pedang menyentuh kulit pucat itu hingga membuatnya menengadah.
Meski ujung pedang terhunus ke arahnya, Arthur sama sekali tidak merasakan perasaan terancam. Ketika mata biru itu menusuk mata cokelatnya, meski terlihat mengerikan, dia tidak terlihat gentar. Dari segala hal di dunia, nyawanya hanya tergantung pada pedang ini. Jika pedang ini menyayat lehernya, maka dia akan mati. Namun, dia tidak pernah takut. Dia telah terlalu lama hidup, jika tuannya merasa bahwa waktu akhirnya telah tiba, dia baik-baik saja untuk mati saat ini.
“Bangun dari posisi berlututmu.” Suara itu membuat Arthur sangat terkejut, itu adalah suara perempuan. Ini bukan Neo seperti Arthur harapkan, jiwanya tengah tertidur di bawah pengaruh sesuatu yang anehnya terasa tidak asing.
Perlu sedikit waktu baginya untuk berpikir, lalu seakan sudah terbiasa, Arthur langsung berdiri. Dia belum tahu siapa yang menggunakan tubuh tuannya, tapi keyakinannya berkata bahwa itu adalah bagian dari semesta. Meski Arthur adalah seorang iblis, dia sudah banyak berurusan dengan para pengurus semesta. Iblis itu memiliki hubungan yang sangat baik saat menunggu kelahiran dari jiwa tuannya. Dia yang dulunya berusaha menghancurkan kedamaian di dunia, kini malah tunduk dengan yang mengurus semesta. Pada akhirnya terlihat seperti pengecut akibat keluar dari takdir yang seharusnya dia jalani.
Neo tersenyum dan Arthur baru menyadari kalau cara mata itu menatapnya memang terasa asing. Sejak beratus tahun yang dulu, tatapan itu tidak pernah seasing ini. Jadi, dia yang berinisiatif bertanya dengan kepala yang masih menunduk dalam, “maaf atas ketidaktahuan hamba. Pada siapa kiranya hamba sedang berbicara?”
Sejak malam yang melantangkan sumpah itu, Arthur terbiasa merendahkan diri. Mata cokelatnya yang telah ditakdirkan untuk selalu menatap keras serta kasar kini terlihat sedikit melembut hingga terlihat agak kontras dengan rupanya. Wajah sangat congkak yang tidak terlalu terlihat, namun sangat patuh itu, membuat seseorang yang mengisi tubuh Neo tersenyum lembut.
“Aku adalah seseorang yang menguasai malam. Aku berada dalam sesuatu yang selalu menemanimu di setiap malam penantian yang panjang. Aku sumber cahaya di malam hari yang gelap.” Dia berbicara dengan sangat misterius, namun kembali tersenyum dengan senyuman yang begitu lembut.
Mendengar sesuatu yang seperti itu, Arthur sudah tahu siapa yang tengah dia hadapi. “Anda Dewi Bulan, apa yang terjadi? Apa yang membuat Anda menemui hamba?”
Tubuh itu bergerak, mendentingkan lagi bel mistis yang tergantung rendah di dekat kaki mereka. Roh-roh jahat yang tadi terkubur di bawah tanah terlihat mulai memunculkan diri. Namun, melihat adanya cahaya biru dan aura Dewi Bulan di sana, roh-roh jahat itu menjerit serta kembali menguburkan diri. Teriakan yang melengking malah membuat Dewi Bulan tersenyum seraya berjalan ke arah rumah. Rumah itu begitu sederhana, ada sedikit sekali perabotan. Hanya terdapat meja, kursi, nakas serta sebuah cermin yang besar.
“Jiwa yang kamu cari, kali ini tidak sesederhana itu. Jiwa itu tidak dapat serta merta kembali dengan mudah kali ini. Kelahirannya sebelumnya di dunia ini selalu dipenuhi banyak hal buruk, namun di kesempatan kali ini, dia disertai dengan banyak ketidakberuntungan. Kami memerlukan banyak sekali waktu dan tenaga untuk membuat dia terlahir kembali. Jiwa yang tidak diterima di surga dan dicaci maki di dunia sudah hampir terurai, jiwanya hampir hilang. Roh yang hilang ke antah berantah telah sedikit pudar dan begitu sulit untuk ditemukan. Dia mungkin tidak ingat, tapi dia sudah sangat putus asa.” Dewi Bulan berjalan ke arah cermin dan berdiri di depan sana.
Arthur berdiri agak jauh dari sana dan melihat dari sana apa yang terjadi, seakan menjaga jarak untuk tidak mengganggu. Dari pantulan cermin, dia melihat seorang perempuan yang sangat cantik. Pakaiaannya sangat putih dengan sedikit paduan biru malam yang memiliki banyak selendang. Dengan mulut yang masih tersenyum, dengan perlahan tangannya menyentuh cermin.
Cermin yang awalnya datar menunjukkan riak seperti rintik hujan yang jatuh jarang-jarang. Lalu, pelan-pelan riak air itu berubah menjadi pusaran air yang besar. Arthur merasa seperti tenggelam ke dalamnya dan sebuah gelembung udara kecil menarik perhatian. Namun, saat dilihat dengan seksama, sedikit demi sedikit gelembung itu membesar, menelan pandangan mereka dan membuat mereka seakan masuk ke sana. Pada akhirnya berada di sebuah tempat yang menunjukkan sebuah asap putih bersih yang sangat samar.
Dewi Bulan berbalik dan menatap Arthur dengan tatapannya yang lembut. “Dia hampir terurai dan terkunci di antah berantah untuk selamanya. Namun, karena tekad untuk menegakkan kebajikan masih melekat kuat padanya, kami berhasil memasukkan jiwanya pada sebuah raga dan mengikuti takdir untuk melahirkannya kembali.”
Setelah berbicara seperti itu, asap roh putih bersih yang pudar berubah menjadi gambaran bayi mungil yang kecil. Pipinya bersemu merah dan Arthur dapat melihat wajah yang dimilikinya dalam kelahiran kali ini. Arthur juga dapat melihat bunga yang merupakan lambangnya tumbuh subur di sekitar bayi itu. Bunga amaran dengan berbagai warna tumbuh dengan subur di sekitarnya. Arthur tersenyum melihat itu, merasa sangat terhibur melihat bayi yang tertidur dengan nyaman. Sebagai seorang hamba, melihat seorang Tuan yang begitu dihormati dan dihargai tidur dengan tenang seperti itu, itu adalah sebuah kepuasan tersendiri.
“Tapi …,” kata Dewi Bulan, mengintrupsinya. Lalu, satu per satu batang bunga amaran menjadi layu. Tumbuhan layu itu dengan mengejutkan malah menumbuhkan tumbuhan yang memunculkan duri yang besar-besar dan terlihat sangat tajam. Tumbuhan itu merambat, membentuk lingkaran yang untung saja tidak menyentuh bayi.
“Apa yang terjadi? Maaf, Dewi Bulan, apakah itu adalah sebuah peringatan? Atau memang sesuatu akan benar-benar terjadi?” tanya Arthur dengan wajah yang tidak dapat mengekspresikan diri dengan sangat baik. Meski dia takut, wajahnya masih terlalu kaku. Sepertinya dia perlu beberapa ratus tahun lagi untuk terus berlatih mengenai ekspresi, untuk dapat mengekspresikan diri.
Dewi Bulan yang begitu tenang hanya melebarkan senyum. “Kehidupannya telah dituliskan dengan semesta. Hidup kali ini akan lebih berat dibandingkan hidup-hidup sebelumnya. Hanya saja, jiwanya sudah cukup lelah, dia sekarang berdiri goyah untuk membela kebajikan. Akan ada banyak tantangan di depan sana.”
Di dalam setiap kehidupan yang mereka hadapi sebelumnya, mereka selalu menemui kesulitan. Jadi dia tidak mengerti mengapa Dewi Bulan mengatakan kalau kelahiran kali ini akan memberikan lebih banyak kesulitan. Arthur menumbuhkan resah di dalam hati. Dia akan menjaga Neo yang adalah seorang manusia, makhluk yang berumur pendek, memastikannya tetap sehat saja sudah cukup sulit.
Sepertinya, Dewi Bulan bisa membaca setiap ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh Arthur. “Kesulitan ini akan menjadi lebih berbeda. Kalian akan menghadapi keserakahan kaum manusia, kekejaman kaum iblis, kesalahpahaman masa lalu dan kemarahan kaum pembasmi iblis. Kehidupan kali ini tidak dapat diselesaikan tanpa kebijaksanaan dan hati nurani. Planet Eirini sedang berada di ambang kehancuran.”
Arthur tercenung, kebijaksanaan dan hati nurani. Bagaimana bisa seorang iblis sepertinya memiliki kebijaksanaan? Dia hanya memiliki ego untuk selalu mementingkan diri sendiri. Selain itu, untuk hati nurani, bagaimana bisa dia memiliki hati nurani? Iblis diciptakan tanpa hati nurani, dia bahkan tidak tahu bagaimana dan seperti apa hati nurani bekerja.
“Oleh karena itu,” ujar Dewi Bulan lagi, “dia memerlukan waktu untuk ingat.”
Kali ini, cermin kembali ke bentuk semula dan pantulan di dalam cermin berubah-ubah. Bayangan itu kadang menampilkan Neo dan kemudian beberapa kali juga menampilkan pantulan Dewi Bulan. “Dia menolak untuk ingat. Di alam bawah sadarnya, jiwanya telah benar-benar hampir termakan oleh kegelapan menuju antah berantah. Dia hampir menyerahkan diri untuk segera dihilangkan.”