"Ya sudah, kita berhenti di sini," ucap Tier berdiri tepat di bawah sebuah pohon rindang.
Jangan heran dengan adanya pohon rindang di mana-mana, para fairy memang sengaja menanam ini untuk tempat peristirahatan.
"Cantik sekali ...," gumam Perly melihat pemandangan di depannya sambil menghirup udara segar yang menguar dari penghasil oksigen di depannya.
Lagi-lagi, Marta dibuat geleng-geleng kepala melihat tingkah Perly, "Kau bilang jurang itu cantik? Akan lebih cantik jika kau terjun ke bawah," ucapnya sudah duduk di atas rumput, di bawah pohon itu.
Perly berbalik badan dan memberikan tatapan mematikannya pada Marta, sedangkan Marta hanya menatapnya datar.
Mendengus pelan. Jika saja Perly benar-benar melakukannya, dia yakin, Marta yang paling pertama bertindak bodoh dengan ikut terjun ke jurang sana untuk menyelamatkannya.
"Dasar tidak berperasaan," gumamnya lalu berjalan ke arah mereka bertiga.
"Ada yang ingin aku tanyakan," ucap Perly ketika mereka sedang memakan bekal yang mereka bawa.
"Tentang alat pembayaran itu?" terka Befra yang ternyata disambut anggukan oleh Perly.
Sesaat Perly berfikir, apakah pemikirannya sangat mudah untuk di terka?
"Iya. Apa hubungannya alat pembayaran dengan ditawannya queen dan king?" tanyanya.
"Kalau dipikirkan secara logika, ya memang seperti itu, tidak berhubungan. Tapi para queen dan king-lah yang membuat alat pembayaran itu," jelas Tier membuat Perly sedikit terkejut, namun di detik berikutnya keningnya kembali berkerut.
"Apa tidak ada yang bisa membuatnya selain mereka? Maksudku, pasti mereka juga mempekerjakan orang lain bukan?"
"Mereka semua dibunuh oleh Pengendali Dark," ucap Marta menjawab.
Perly yang ingin menggigit apel yang ada di tangannya menjadi terhenti.
"Kenapa? Dengan tujuan apa mereka membunuhnya?" tanya Perly semakin penasaran.
"Ya untuk apa lagi kalau bukan untuk memusnahkan seluruh pengendali secara perlahan. Karena itulah pelayan dan prajurit istana membagikan apapun secara cuma-cuma di setiap daerah setiap satu minggu sekali," lanjut Marta menjelaskan.
Perly tertegun mendengar itu, "Berarti ini sudah berlangsung sangat lama?" tanya Perly pelan.
"Begitulah. Jadi tidak ada yang salah bukan kalau mereka semua sangat mengharapkan kehadiranmu?" ucap Befra menatap Perly dalam, menyiratkan tatapan penuh harapan.
Perly terdiam dan menunduk. Buah Apel yang ada di genggamannya bahkan sudah tak menarik lagi baginya.
"Bagaimana jika aku tidak bisa mewujudkan mimpi mereka? Bagaimana jika aku malah berbuat yang sebaliknya? Apa itu bisa terjadi?" tanyanya masih menatap ke bawah.
"Kenapa kau berpikiran seperti itu? Kamu di takdirkan untuk menyelamatkan, bukan untuk menghancurkan. Jadi berpikirlah bagaimana cara menyelamatkan, jangan pikirkan yang lain selain itu," ucap Tier memegang bahu Perly membuat Perly mengangkat kepalanya sebentar.
Lalu kembali menunduk, "Tapi semuanya bisa saja berubah bukan? Tidak semua takdir yang tertulis akan terjadi," ucapnya semakin lirih.
"Ya memang kamu benar," ucap Marta membuat Perly menatapnya.
"Meskipun sudah tertulis, tak menutup kemungkinan kalau takdirnya berubah bukan?" ucapnya lagi. Marta tersenyum lembut, "Tapi apakah kamu tau? Sesuatu yang sudah kita ketahui akhirnya, akan berakhir dengan akhir yang sama. Hanya saja jalan untuk menuju akhir itu yang berubah. Bukankah ada banyak jalan untuk menuju suatu tempat?" lanjutnya.
Perly masih diam, dirinya yang banyak bicara dan memiliki banyak kata untuk menyanggah, kini tak mampu berkata. Tak tau caranya bagaimana menyusun kata yang tepat untuk berbicara.
Marta melanjutkan, "Jika nanti kamu membuat kesalahan, bukan berarti kamu merubah takdirnya tapi kamu merubah jalannya. Entah itu jalan yang panjang atau pendek, akhirnya akan tetap sama. Kamu akan sampai pada tujuanmu."
Perly lagi-lagi menunduk, menunduk lebih dalam kali ini lengkap dengan air matanya yang mulai menetes.
"Hey, kenapa kamu menangis?" ucap Befra mengangkat dagu Perly, memperlihatkan wajah memerah Perly yang dibasahi air mata di pipi.
"Perly, apa kamu tersinggung dengan ucapanku? Aku min--"
"Tidak, bukan karena itu," ucap Perly cepat menggeleng sambil mengapus jejak air matanya.
"Aku hanya merasa seperti seorang pengecut yang ingin lari dari masalah. Kenapa kalian begitu yakin bahwa aku adalah penyelamat itu? Aku saja tidak yakin dengan diriku sendiri, aku terlihat sangat bodoh untuk seorang penyelamat," ucapnya.
"Jika seorang pengecut ingin belajar menjadi seorang pemberani, kenapa tidak?" ucap Tier tersenyum, "Yakinlah pada dirimu sendiri, yakin pada apa kata hatimu, dan yakin pada semua yang akan kamu lakukan. Perly, kupu-kupu harus merangkak sebagai ulat baru setelah itu bisa terbang tinggi sebagai kupu-kupu," lanjutnya masih tersenyum.
Mereka benar-benar seperti seorang kakak yang sedang menasehati adiknya.
Tiba-tiba Perly bergeser dan langsung menubruk tubuh Tier membuat pemuda itu terkekeh dan membalas pelukan Perly dengan kedua tangannya yang menepuk punggung dan mengelus rambut Perly.
"Terimakasih ...." Hanya itulah yang Perly ucapkan berulang kali di pelukan Tier.
Marta dan Befra ikut bergabung memeluk mereka berdua, menepuk pelan punggung Perly dan mengusap rambutnya penuh sayang.
"Apakah ada orang di atas sana!"
Suasana haru itu hilang seketika saat mendengar teriakan itu. Mereka melepaskan pelukannya satu sama lain dan sama-sama menoleh pada asal suara.
"Tolong aku! Aku di bawah sini!" Lagi terdengar suara itu berteriak.
"Siapa itu?" tanya Befra dijawab gelengan oleh Perly.
"Sepertinya ada orang di bawah sana. Ayo kita lihat," ucap Marta diangguki mereka bertiga.
Melangkah lebih dekat ke arah jurang itu dan sedikit menengok ke bawah. Dan dapat mereka lihat, ada seorang pria di sana, sedang bergelantungan pada sebuah akar yang licin di tebing jurang. Lagi pula kenapa pria itu bisa berada di sana? Maksudnya, sedang apa? Apa dia tidak memiliki pekerjaan yang lebih bermanfaat selain bergelantungan di sana?
"Hey! Tolong aku. Aku tidak bisa naik, ataupun menggunakan kekuatanku!" teriaknya lagi. Berarti sudah cukup lama pria itu berada di sana, dan baru sekarang dia berteriak meminta bantuan. Bagus sekali.
"Tier cepatlah tolong dia," ucap Perly dan Tier hanya mengangguk.
Tier memejamkan matanya dan menjentikkan jarinya. Tanah yang ada di tebing itu menonjol ke depan membuat pria itu mempunyai tempat untuk berpijak. Sebuah tangga.
Namun baru saja pria itu berpijak, tiba-tiba tanah tempat Perly dan yang lainnya bergetar membuat Marta tidak sengaja mendorong bahu Befra sehingga Befra terjatuh ke atas rumput.
Tidak, tidak. Bukan Befra yang mereka khawatirkan, tapi pria di bawah sana. Gerakan refleks saat Befra terkejut membuat gadis froz itu tidak sengaja mengeluarkan es miliknya. Bongkahan es yang begitu besar dan runcing.
Tak ada lagi tangga yang Tier buat. Tanah itu retak, dan terbelah, seiring dengan jatuhnya tubuh si pemuda di bawah sana. Namun si gadis bergelar penyelamat itu tak tinggal diam menonton dan menyaksikan bagaimana pria itu terjatuh lalu tiada di bawah sana. Perly menjulurkan tangannya ke bawah, sedangkan tangan kanan bekerja di atas kepalanya dengan posisi tertekuk. Tak lupa, tatapannya seolah fokus pada tubuh pria itu.
"Arrgghh ...!" Pekikan itu terdengar seperti sebuah teriakan sakit saat punggungnya membentur keras pada es yang Perly buat untuk menahannya agar tidak jatuh ke bawah.
Baamm!
Es yang runcing itu hampir saja menembus leher pria itu jika Perly tidak cepat menggunakan perisainya.
Mata pria itu membulat sempurna melihat betapa runcingnya es yang kini menancap di perisai Perly. Dirinya seolah hilang akal. Tak tau apa yang harus dia perbuat sekarang, membuat tubuhnya hanya diam menyaksikan kilauan runcing yang kapan saja bisa menembus nadinya. Dia terkejut, sangat terkejut.
Tak jauh hal dengan si pria di bawah sana yang hampir kehilangan nyawa. Di atas, Tier, Marta, dan Befra juga hanya bisa terdiam melihatnya dengan mulut menganga. Seolah mereka sedang berada di dalam sebuah film di mana adegan tersebut di pause. Terlihat seperti patung.
Dan kala Perly meringis, "Cepatlah tolong dia, ini sangat berat." Barulah mereka tersadar dari lamunan, melihat Perly yang menutup mata karena menahan sakit.
Sungguh bodoh! Maki mereka pada diri sendiri.
Marta bergerak cepat, menggunakan kekuatannya, Marta kembali membuat pijakan untuk pria itu, "Kau!" serunya kencang membuat pemuda di sana tersadar, "Naiklah ke tangga itu!" teriak Marta pada pria itu.
Dan tanpa tunggu perintah yang kesekian, pria itu langsung saja bergegas untuk berpindah ke tangga yang sudah Marta buat, barulah Perly melepaskan perisainya membuat es itu jatuh ke bawah.
"Huh ... huh ... huh ...." Pria itu langsung terbaring di atas rumput saat sudah sampai di atas. Begitupun dengan Perly yang terduduk lemah akibat kekuatannya terkuras.
Padahal baru saja kekuatannya kembali.
"Kamu tidak apa-apa? Apa jantungmu terasa sakit?" tanya Tier khawatir memegang kedua bahu Perly. Sedangkan dalam tunduknya, gadis itu menggeleng lemah berusaha menjawab, "Tidak, aku hanya merasa lelah," jawabnya.
Digulir matanya untuk menatap pria yang baru saja meregang nyawa, "Kau baik-baik saja?" tanya Perly pada pria itu.
Si pria langsung menoleh dan memaksa tubuhnya untuk duduk meski dengan nafas yang masih belum beraturan, "Terimakasih, aku sangat berterimakasih. Aku pasti sudah mati tadi jika kamu tidak menolongku," ucapnya tulus seraya membungkuk beberapa kali dan Perly hanya mengangguk.
Perly kemudian berkata, "Ikutlah dengan kami, sepertinya kamu masih terkejut dengan kejadian tadi." Namun pria itu hanya diam dengan mata melirik pada tiga pengendali lain di sana. Perly ikut mengedar pandangan, dan menoleh pada Tier, "Bisakah kita membawanya ke rumah Bupo?" tanyanya.
"Baiklah. Ayo aku bantu kau berjalan," ucap Tier membantu pria itu.
Sedangkan Befra dan Marta membantu Perly.
Namun belum beberapa langkah mereka berjalan, kesadaran Perly sudah di ambang batas membuatnya tak dapat lagi menyeimbangkan tubuh dan berakhir pingsan.
"Perly!" pekik kedua gadis itu dengan nada khawatir.
"Kalian berdua bantu dia, biar aku yang menggendong Perly," ucap Tier seraya menggendong Perly, "Cepat, kita harus cepat." lanjutnya berjalan dengan tergesa-gesa.
•
"Bupo! Bupo! Kamu di mana?!" Tier berteriak saat masuk ke dalam rumah Bupo dengan Perly yang ada di gendongannya.
Gadis itu masih tak sadarkan diri di gendongan Tier, meski pemuda itu sempat terjatuh akibat berlari.
Tier membaringkan Perly di tempat yang pernah mereka tempati, dengan sangat hati-hati.
"Ke mana dia? Bupo!" Tier mencari Bupo di sekeliling rumah, mengedarkan pandangan ke setiap sudut mencari keberadaan pria berbadan besar pemilik rumah itu.
Tak menyerah saat tak mendapati tubuh Bupo di mana-mana, Tier berlari ke arah belakang rumah, di mana pria itu sering menghabiskan waktu di sana.
"Kamu tunggu di sini," ucap Marta pada laki-laki yang baru saja mereka tolong, setelah membantu pria itu duduk di tempat tidur lain di samping Perly. Marta kemudian beralih menatap Befra, "Befra, kamu temani mereka. Aku akan membantu Tier mencari Bupo." Dan hanya dijawab anggukan singkat oleh Befra.
Sedangkan laki-laki yang melihat kejadian itu hanya bisa terdiam dalam perasaan bingung. Dirinya sekali lagi menatap Perly yang masih setia pada alam bawah sadarnya, lalu bergulir menatap Befra yang juga setia memandangi Perly dengan tatapan khawatir, "Kenapa kalian begitu panik? Apa dia dalam bahaya?" tanya pria itu pada akhirnya.
Befra terdiam sejenak. Dalam hatinya, dia menyimpan rasa tak suka pada pria ini. Untuk alasan yang jelas terpampang di depan matanya, bahwa, pria inilah yang membuat Perly menjadi begini. Namun sebagian dari dirinya juga berusaha untuk menerima bahwa ini memanglah takdir. Jika bukan karena pria ini, mungkin Perly akan celaka karena hal lain.
Juga, dia merasa jika, Perly begini karena kecerobohan dirinya.
Maka dengan hembusan pelan dia menjawab, "Kamu tidak akan mengerti jika aku jelaskan," ucapnya tanpa menatap pria itu.
Pria itu hanya mengangguk tidak ingin bertanya lebih lanjut. Merasa tak punya hak untuk ingin tau lebih dalam.
Namun ada yang mengganggu penglihatannya saat melihat Perly, tepatnya saat melihat punggung jari manis tangan kanan gadis itu.
Di menunjuk dengan mata sedikit memicing memperhatikan dengan seksama, "Itu, seperti la--"
"Kenapa kalian tidak melarangnya?" Sebuah suara menarik perhatian Befra dan pria itu.
"Ini terjadi secara tiba-tiba. Kami juga tidak tau kalau dia akan mengeluarkan kekuatannya sebesar itu," jawab Marta menjelaskan.
Bupo, pria itu langsung duduk di samping Perly dan menggenggam tangan kanan Perly lalu memejamkan matanya. Memeriksa sejauh mana Perly cedera.
Dan tak lama, Bupo kembali melepaskan tangannya dan membuang nafas lega. Dia menoleh ke belakang di mana teman-teman Perly sedang menatap harap-harap cemas padanya, "Untunglah jantungnya tidak apa-apa. Dia melemah, karena dia menggunakan energi, bukan kekuatannya," jawab Bupo.
Mereka ikut bernafas lega. Untunglah Perly tidak apa-apa. Mereka sangat takut kalau keadaan Perly seperti pertama kali dia dibawa ke sini. Dan juga, mereka baru menyadari kalau gadis kecil yang selalu berbuat ceroboh karena ketidaktahuannya, kini sudah bisa menempatkan kekuatan dan energinya.
Secara tidak sengaja, tatapan Bupo mengarah pada pria yang sedari tadi hanya diam memperhatikan mereka.
Mengerti akan tatapan Bupo, Marta segera menjelaskan, "Dia adalah orang yang kami tolong tadi, periksalah dia juga. Tadi dia juga melemah," ucapnya pada Bupo.
Bupo mengangguk dan berpindah ke samping pria itu. Bergantian memeriksa pemuda yang tampak bugar itu. Ah, Bupo terlihat sedikit kesal, kenapa lelaki yang datang ke rumahnya, tampan semua? Dia menjadi merasa sangat tersaingi.
"Dia tidak apa-apa. Tampaknya dia hanya terkejut," ucap Bupo dan pria itu mengangguk.
"Kudengar, punggungmu terbentur es. Apa masih terasa sakit?" tanya Bupo padanya. Pria itu menggeleng pelan, "Tidak. Tapi sesekali masih terasa sedikit nyeri," jawabnya.
"Oh, itu tidak masalah."
"Ini semua salahku," Tiba-tiba Befra berucap sambil mengusap air matanya. Mereka semua beralih menatapnya, meski hanya diam tapi tidak dengan tatapan yang seolah menuntut Befra untuk berbicara lebih panjang sebagai penjelasan.
"Aku terlalu ceroboh dalam mengendalikan kekuatanku. Karena aku, Perly mengalami hal yang sama dua kali," lanjutnya masih terisak di samping Perly, membawa tangan Perly yang berada di genggamannya pada keningnya.
"Hey, sudahlah. Jangan menyalahkan dirimu. Bukankah seharusnya kita senang karena sekarang kekuatanmu kembali?" ucap Marta memeluk Befra dari samping. Menenangkan gadis yang sedang sensitif ini.
"Lebih baik kekuatanku tidak perlu kembali kalau seperti ini jadinya," ucapnya lagi. Dia dongakkan kepala menatap Marta dengan mata yang berair, "Dia celaka karena aku, Marta. Aku penyebabnya," ucapnya bersikeras. Benar-benar sepenuhnya menyalahkan dirinya sendiri.
Dan saat itu juga, mata Tier berbinar, senyumnya tampak lebar, begitupun yang lainnya terkecuali Befra yang dalam keadaan menunduk. Namun belum sempat berseru, gadis itu lebih dulu meletakkan telunjuk di bibirnya memberi perintah untuk diam.
Perly mengalihkan tatapan pada Befra, di ikuti oleh Tier yang juga menatap Befra. Perly seolah memberinya sebuah kode.
Maka tak perlu membuang waktu untuk Tier segera berkata, "Baguslah jika kau merasa begitu." Yang secara spontan membuat Befra mendongak menatap Tier yang memasang tampang datar nan dingin, "Jadi, aku tak perlu lagi mengatakannya padamu," tambahnya dengan nada luar biasa sinis.
Befra, gadis itu kembali tertunduk, lebih lesuh dari sebelumnya. Sepertinya liquid di matanya sudah sangat banyak diproduksi sehingga tak tahan lagi untuk meluncur bebas.
"Maafkan aku ...," lirihnya dengan nada bergetar menahan tangis.
Perly, dan yang lainnya menatap datar pada Tier yang kini malah menampilkan cengiran tak berdosanya.
"Aku memang salah. Ini salahku ...," Lagi Befra melirih dengan keadaan tertunduk menyembunyikan air matanya, meski mereka semua dapat dengan jelas melihat Befra menghapus jejak air matanya dengan punggung tangan.
Perly menghembuskan nafas pelan. Memberi tatapan tajam pada Tier seakan berkata 'Ini salahmu!' lewat tatapannya. Dan Tier hanya bergumam tanpa suara, 'Maaf' katanya.
"Lalu kamu mau apa?" Dan Befra langsung mengangkat kepalanya mendengar suara Perly. Menatap dengan raut terkejut apalagi jejak air mata begitu kentara di pipinya.