Number 21

2429 Kata
"Perly, kamu baik-baik saja?" tanyanya langsung mendekatkan diri pada Perly. Perly tak mengindahkan sentuhan periksa dari Befra, "Apa aku harus memukulmu dulu baru kau tidak merasa bersalah lagi?" Perly hanya melanjutkan ucapannya tanpa ingin menjawab pertanyaan Befra. Meski begitu, Befra tak terpengaruh. Dirinya bersungguh-sungguh jika dia sangat khawatir saat ini, "Perly, aku tidak sedang membuat lelucon. Ayo jawab, apa ada yang sakit?" ucap Befra terlihat panik. Puk! Perly memukul lengan Befra, "Aku sudah membalas perbuatanmu. Sekarang kau bisa bernafas lega," ucap Perly tersenyum lebar, senyum yang seakan memberitahu pada Befra bahwa dirinya baik-baik saja. Befra tak menjawabnya, dan malah langsung memeluk Perly dan kembali meneteskan air mata, "Maafkan aku, aku sungguh-sungguh minta maaf," ucap Befra di pelukan Perly. "Jika kamu menyalahkan dirimu lagi, mungkin hal ini akan terulang untuk yang ketiga kalinya," balas Perly membuat Befra langsung melepaskan pelukannya. Perly tersenyum, "Jadi jangan salahkan dirimu, oke?" Befra hanya mengangguk dan tersenyum membuat yang lainnya ikut tersenyum. Namun senyumnya memudar dan memutar kepala menatap sedikit canggung pada Tier. Tier yang menyadari itu dengan cepat gelengkan kepala diikuti gerakan tangan yang mendukung, "Tidak, tidak. Aku tidak marah. Itu tadi hanya candaan, hehe," ucapnya diakhiri cengiran halus. Befra langsung menegakkan kepala menatap tepat pada mata Tier. Tatapan yang lama kelamaan berubah menjadi tajam itu. Befra mendengus pelan. Dirinya sudah dibuat menangis dan ternyata itu hanya candaan. Menyebalkan sekali. "Perly ...." Befra merengek membuat Perly terkekeh. Lihat gadis yang usianya lebih tua darinya ini, tidak malu merengek padanya seolah meminta pembelaan. "Sudahlah, maafkan Tier, dia hanya bercanda," ucapnya membuat Befra semakin mengerucut sebal. Namun kerucutan itu berubah menjadi kembang kala Perly melanjutkan, "Dan kau Tier. Jangan begitu lagi, itu tidak baik," katanya membuat Befra menjulurkan lidah mengejek Tier. Perly dan yang lainnya hanya geleng-geleng kepala melihat itu, lalu mengalihkan tatapan pada pria yang tadi ditolongnya, bertanya, "Bagaimana keadaanmu?" Padanya Pria itu menggeleng pelan, "Aku tidak apa-apa. Pikirkan saja kesehatanmu dulu," ucapnya. "Aku akan keluar untuk mencari bunga kehidupan. Kalian tunggulah di sini," ucap Bupo lalu beranjak dari sana setelah mendapat anggukan dari mereka semua. Tier yang sedari tadi berdiri, kini memilih duduk di samping kiri Perly, lalu menatap pria itu, "Omong-omong, kenapa tadi kau bisa berada di sana? Kau sedang apa?" tanya Tier pada pria itu. Sebelum menjelaskan, pria itu terkekeh geli lebih dulu, merasa lucu dengan apa yang akan dia ceritakan, "Aku sudah berada di hutan sejak kemarin pagi untuk mencari buah-buahan. Dan sialnya ketika aku ingin pulang, aku tak sengaja merobek tas yang aku gunakan untuk membawa buah-buahan. Jika aku pulang mengambil tas itu akan memakan waktu yang lama. Jadi, aku mencoba untuk memanjat tebing itu agar cepat sampai," jelasnya panjang lebar. "Kenapa kamu tidak menggunakan kekuatanmu? Kamu lupa kalau kamu bisa berlari dengan cepat?" tanya Marta menatapnya bingung. "Aku hanya tidak ingin. Mungkin terdengar aneh, tapi aku ingin menyimpan kekuatanku untuk membantu seseorang," ucapnya dan tersenyum saat matanya menatap Perly, membuat semuanya semakin bingung. Pria itu tiba-tiba berdiri dan menghadap sepenuhnya ke arah Perly. Tanpa aba-aba, pria itu menundukkan kepalanya sebentar dan menarik tubuh lagi untuk kembali tegak, "Aku sudah lama menunggumu, Tuan Putri," katanya sambil tersenyum. Dan yang lainnya tentu saja sangat terkejut. Dia tau mengenai Perly? Apakah dia salah satu dari mereka? Dan melihat senyum tampan dari pemuda ini, semua pertanyaan itu terjawab bahwa, benar. Laki-laki ini memang salah satu dari mereka. Meski begitu, Tier tetap bertanya, "Kau ...." Tunjuknya, "Pangeran Lightning?" tanyanya pelan. Pria itu tersenyum dan mengangguk, "Namaku, Pangeran Blioret Zates Light. Kalian bisa memanggilku Zate," ucapnya memperkenalkan diri. Marta, Befra dan Tier yang tadinya duduk segera berdiri dan membungkuk kepada Zate, "Salam kami Pangeran," ucap mereka bersamaan. "Aku Befra, Putri Froz." Befra memperkenalkan diri. Giliran Tier, "Aku Tier, Pangeran Earth." "Aku Marta, Pengendali Earth dan penjaga Perly," ucap Marta. "Aku Perly," lanjut Perly hanya menundukkan kepalanya sedikit dan tersenyum. Tidak menyangka mereka akan bertemu dengan cara yang begini. "Aku tak menyangka jika kamu adalah salah satu dari kesatria itu Padahal seharian ini kami sudah mencarimu ke mana-mana, dan kita dipertemukan secara tidak sengaja seperti ini," ucap Marta tersenyum. Zate mengangguk, "Berarti tidak sia-sia usahaku dalam memanjat tebing itu tadi," ucapnya tertawa pelan membuat mereka mau tak mau ikut menyumbang kekehan kecil. "Tapi bagaimana kamu mengetahuinya?" tanya Befra pada Zate. Zate kembali duduk, begitupun dengan mereka. Kembali ke posisi semula. Zate menunjuk sekilas ke arah jari Perly yang memaang terpampang jelas di pandangannya, "Tadi, aku tidak sengaja melihat cahaya di jarimu. Tadinya aku ingin mengabaikannya, tapi saat melihat tanda di punggung jarimu, aku merasa lega akhirnya kita dipertemukan," jelasnya masih dengan senyum yang menyertai. Sungguh senang dirinya yang sudah lama menanti moment ini. Perly kemudian melihat punggung jarinya, dan benar saja di sana ada lambang pengendali lightning yang berwarna kuning sedikit orange. "Kenapa kami tidak menyadarinya?" gumam Marta menggaruk pipinya. Yang lain mengangguk, padahal jika benar, bukankah cahaya itu terang? Dan mereka bisa tidak menyadarinya, itu suatu keajaiban. "Mungkin karena kalian terlalu khawatir padanya. Jika tadi aku mengetahui siapa Perly pasti aku juga akan mencemaskannya," jawab Zate yang lagi membuat mereka mengangguk. Setuju dengan ucapan Zate. Berbeda dengan sang objek yang malah memasang wajah kesal saat mendengarnya. Gadis itu kemudian melipat tangannya dengan alis menukik garang, "Apa aku terlihat seperti anak kecil di mata kalian? Ayolah, aku sudah besar. Jangan perlakukan aku seakan-akan aku sangat lemah," ucap Perly kesal menatap mereka satu persatu. Bahkan tatapan itu terlihat seperti anak kecil yang kesal karena mainannya direbut. Perly tidak mempermasalahkan kalau mereka mencemaskannya, tapi pasti nanti perlakuan mereka terhadapnya sangat berlebihan. Ayolah, dirinya sudah terbiasa memimpin dan mengkoordinir sesuatu. Yaa ... meski perlakuan anggotanya hampir sama dengan mereka, yang terkesan memanjakannya hanya karena umurnya yang termuda. Tapi ... sungguh, dia sudah dewasa. "Ya, kamu adalah anak kecil yang masih perlu perlindungan kami," ucap Tier membuat Perly bertambah kesal. Bibirnya bahkan mencebik lucu di sana. Menatap garang pemuda earth itu, "Oh benarkah? Bukankah aku yang anak kecil ini yang sudah melindungi kalian? Huh! Kalian seperti kacang yang lupa kulit!" ketusnya. Bukannya tersinggung, mereka malah semakin menjadi menjahili Perly. "Sudahlah jangan dilanjutkan," ucapan Zate membuat Perly menatapnya, tersenyum lebar dengan mata berbinar. Akhirnya ada yang mengerti--- "Kebanyakan anak kecil memang suka seperti itu," lanjut Zate. Senyum Perly benar-benar luntur seketika. Tak ada yang bisa dia harapkan dari orang-orang ini. "Zate! Apa kau juga tidak mau memihakku?" tanya Perly menatap tak percaya pada Zate. Alis Zate bertaut memperlihatkan raut bingung, "Apa aku terlihat memihak mereka?" Tunjuknya pada dirinya lalu pada Marta dan yang lainnya. "Iya! Itu sangat terlihat!" jawab Perly ketus. "Lalu kenapa kau masih bertanya?" ucap Zate lagi. Perly menganga. Dan mereka berempat tertawa melihat wajah Perly yang memerah karena kesal. "Zate!" pekiknya kesal, "Kamu sangat menyebalkan! Sama seperti mereka!" "Arrghh ..! Kenapa hidupku dipenuhi oleh orang-orang menyebalkan seperti kalian!" erangnya terlihat frustasi lalu berbaring dengan memunggungi mereka semua. Mereka kembali tertawa, sedangkan Perly sudah menutup telinganya. Sangat tak ingin sedikitpun frekuensi tawa mereka merusak pendengarannya. Percayalah, ekspresi Perly saat kesal dan marah itu adalah ekspresi yang paling lucu menurut mereka. • "Kalian belum ingin tidur?" Bupo menampakkan dirinya di ambang pintu menatap ke empat remaja itu sedang memandangi langit di depan rumahnya. Mereka menoleh serentak mendapati tubuh gempal Bupo yang menghalangi jalan masuk ke dalam rumahnya. "Kami belum mengantuk, kami akan di sini sebentar," jawab Befra mewakili. "Baiklah. Jangan terlalu lama, angin malam tetap tak baik untuk kesehatan. Terutama untukmu, anak nakal. Kau harus istirahat." Bupo mengarahkan tunjuknya pada Perly yang membuat gadis itu mendengus. Lihat? Bahkan Bupo ikut-ikutan dengan yang lainnya, dia balas menatap sinis pada pria itu, "Iya iya! Sana kau masuk saja!" ketusnya membuat gestur mengusir. Bupo hanya terkekeh geli, lalu kembali masuk ke dalam dan menutup pintu rumahnya. "Dia tidak tau tentangmu?" tanya Zate pada Perly. Mengenai kejadian tadi sore, mereka sudah berbaikan. Karena itulah Perly ada di sini, kalau tidak, dia lebih memilih tidur daripada di sini. Perly menoleh sebentar sebelum kembali menatap langit di atas sana, dia menggeleng, "Tidak. Bukankah ini memang harus dirahasiakan?" ucap Perly. "Ya kamu benar. Tapi apa dia tidak melihat lambang-lambang di tanganmu?" Zate kembali bertanya. Perly mengedikkan bahunya, terlihat ragu dengan jawaban yang akan dia lontarkan, "Sepertinya tidak, karena Tier dan Marta sudah menyembunyikannya menggunakan kekuatan mereka," jawabnya di angguki Marta dan Tier. Setelahnya mereka terdiam. Entahlah, suasana malam ini membuat mereka merasa nyaman. Duduk di teras sambil memandang langit yang penuh bintang dengan bulan yang tampak malu-malu menampakkan diri di balik awan. Ah, itu indah. Perly yang pertama membuka suara, "Aku boleh bertanya?" Perly bertanya tanpa menatap salah satu dari mereka. Mereka berempat langsung mengalihkan pandangan pada Perly. Menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya. "Pertanyaanku sedikit sensitif, jadi kalian jangan tersinggung," ucapnya sebelum bertanya. Akhirnya Perly menatap mereka satu persatu, "Apa kalian pernah bertemu dengan ayah atau ibu kalian?" tanyanya. Sejenak mereka terdiam sampai Befra menjawab lebih dulu. Tersenyum miris di sana, masih ingat dirinya kala orang-orang bertanya pertanyaan yang sama padanya dulu, maka air matanya akan dengan mudah jatuh, "Aku tidak pernah. Penjagaku bilang, ayahku telah dibunuh oleh Pengendali Dark, dan ibuku ditawan para monster Pengendali Dark," ucapnya menatap ke atas langit "Begitupun dengan kami berdua, hanya saja, kami masih mempunyai ayah dan ibu kamilah yang terbunuh," ucap Tier disambut anggukan dari Zate. "Kurasa aku tidak perlu menjawab lagi." Marta berucap kemudian menunduk dan tersenyum sendu, "Kau tau persis ceritanya," lanjut Marta. "Tapi kami belum mengetahuinya," ucap Zate diangguki Befra dan Tier, "Benar. Ayo cerita. Tak adil jika hanya kau yang tau kisah kami dan kami tidak tau tentangmu," sambung Befra. Marta menghela nafas, dia kembali membuka rasa sedih itu, "Aku tinggal di laut bersama ayahku, sedangkan ibuku ada di dunia fairy. Dialah yang membesarkan aku sedari aku masih berumur 1 tahun. Aku mungkin pernah bertemu ibuku, tapi aku tidak bisa mengingat bagaimana rupanya. Entah dia masih hidup atau tidak, entah dia masih mengingatku atau tidak," jelas Marta juga menatap ke atas langit. "Kau campuran?" tanya Tier dan Marta mengangguk, "Ya, ibuku seorang Snow," jawabnya. Marta menekuk kedua kakinya, memilih untuk memeluk lutut dan meletakkan dagu di sana, "Seperti yang kalian tau, King Perlado sendiri yang memerintahkan aku dan ayahku untuk menjadi penjaga penyelamat kita. Sejak saat itulah, aku terpisah dari ibuku. Meski ayahku selalu bilang, ibu kadang kembali ke laut untuk menjengukku. Yaa ... aku tau, itu hanya hiburan semata untuk seorang anak kecil yang tak tau apa-apa. Tapi mungkin, ayah tak sadar kalau aku sudah dewasa. Cara berpikirku sudah berbeda," ujarnya tetap memasang senyum di sana. Meski mereka tau kalau itu sangatlah menyakitkan untuk diceritakan. Seketika, ada rasa sesal kala mereka terkesan memaksa pada Marta untuk bercerita. "Dan aku semakin tau, kalau nyatanya, ibu tak pernah benar-benar mengunjungiku, ibu tak pernah bertemu aku, tak pernah mengelus rambutku kala aku tidur seperti yang ayah katakan. Tapi tak apa. Aku juga semakin sadar, jika ayah saja sudah cukup untukku." Marta mengakhirinya dengan senyum lebar menatap mereka semua. Mencoba mengahalau perasaan kasihan mereka padanya. Dan satu-satunya orang yang paling tertohok dengan rasa bersalah di sana adalah Perly. Dirinya penyebab kesedihan seorang Marta, dirinya juga penyebab mereka tak merasakan lengkapnya kasih sayang orangtua, bahkan tak juga meski hanya memiliki satu orang tua. Setidaknya dirinya dapat menyimpulkan bahwa, takdir buruk ini, berawal dari dirinya. Bahkan kala dirinya masih di dalam kandungan. Sungguh miris bukan? Gadis itu tersentak kala sebuah tangan melingkar di bahunya, membawanya mendekat sampai Zate bisa merangkulnya. Perly menatap Zate, membuat pria itu dan yang lainnya tersenyum padanya, "Kau tak perlu menyalahkan dirimu. Ini bukan salahmu. Tak ada yang salah di sini, ingat, ini sudah takdir. Takdir memang kadang tak adil, tapi mau bagaimana lagi, kita harus menjalaninya bukan? Jadi, buang pikiran kotormu, dan berhenti menyalahkan diri sendiri," ucapnya tersenyum sambil mempoutkan bibir Perly dan menggoyang-goyangkannya, membuat Perly memberontak kesal. Bugh! Lengan Zate jadi sasaran pukulan_tak kuat_ Perly, "Itu sakit jika kau mau tau!" ketusnya mengelus-elus pipinya. Sedangkan Zate dan yang lainnya hanya tertawa pelan melihatnya. Kembali hening, sampai Perly kembali melontar kalimat tanya, "Apa ini juga ada di dalam buku takdir itu?" tanyanya. Befra mengangguk, "Ya, tepat sekali. Kelahiran kesatria memang sudah tertulis di sana. Termasuk kematian dari masing-masing orangtua kami," ucap Befra pelan di akhir. Terdiam sejenak, Perly terlihat mengarahkan tatapannya pada lain arah, sedikit canggung saat ingin mengucapkan pertanyaan, "Apa kalian ingin bertemu dengan mereka?" Pelan sekali Perly mengatakannya namun masih didengar jelas oleh telinga mereka. "Bukankah percuma saja jika kami katakan kami ingin bertemu? Itu tidak akan mungkin terjadi, sebelum orang tua kami bebas dari tawanan para monster itu," ucap Zate. Perly menatap mereka sedih. Walaupun sekarang dia tidak lagi bisa kembali pada dunianya dulu, tapi setidaknya dia merasakan bagaimana kasih sayang seorang ibu dan ayah. Bagaimana rasanya saat dirinya dikhawatirkan oleh orang tuanya, bagaimana rasanya jika dia sedang bermanja, bersedih, senang, ada orang tua di sampingnya. Tidak seperti mereka yang bahkan wajahnya saja mereka tidak tau. Perly semakin merasa bersalah sudah membahas orang tua dengan mereka semua. "Tapi jika aku tanya kalian ingin bertemu, seberapa besar keinginan kalian?" "Kamu tidak akan bisa membayangkan seberapa besarnya keinginan kami." Kali ini Tier yang menjawab. Namun ketika Befra berkata dengan senyum lebarnya, "Kalau aku lebih besar keinginan bertemu denganmu. Karena kamulah yang akan membawaku untuk bertemu dengan ibuku." Dan Perly hanya tersenyum canggung. "Tapi ...," Perly terlihat ragu, "Bisakah kalau kalian tidak berharap padaku? Aku tidak ingin mengecewakan kalian nantinya," gumamnya pelan. Maka dengan cepat Marta menggenggam tangan Perly membuat gadis itu mendongak menatapnya, "Kita akan tanggung rasa kecewa itu sama-sama." Dengan senyum terpatri di wajahnya. "Kenapa kamu tiba-tiba bertanya soal itu?" tanya Zate. "Entahlah. Aku hanya ingin tau saja, lagi pula kita sedang tidak punya topik untuk dibicarakan," jawabnya seadanya. Mereka kemudian terdiam dengan tatapan yang kembali sama-sama menatap langit. Langit memang pelarian paling sempurna kala keheningan melanda. Perly kemudian menatap mereka satu persatu. Dari tatapan mereka, Perly bisa melihat harapan di sana. Harapan yang sangat besar akan sesuatu. Perly kembali mengalihkan penglihatannya ke atas. "Kamu. Kamu yang menyebut dirimu adalah aku, bisakah kamu mendengarku sekarang? Jika bisa, berarti kamu juga bisa mendengar perkataan teman-temanku tadi bukan? Kamu tidak lihat ekspresi mereka? Lihatlah, mereka sangat menginginkannya. Aku tau itu. Aku bisa melihatnya. Tak bisakah kau mengabulkannya?" batin Perly masih terus menatap langit. "Aku tidak akan tau bagaimana rasanya jadi mereka, karena aku pernah merasakan yang belum pernah mereka rasakan. Tapi mereka? Tolonglah, jangan biarkan mereka berharap seperti itu. Jangan biarkan mereka menanti terlalu lama. Aku tidak akan sanggup jika nanti aku mengecewakan mereka." lanjutnya. Lama Perly menanti namun balasan tak kunjung dia dapatkan. Dan pada akhirnya, Perly hanya bisa menghembuskan nafasnya panjang, "Percuma. Sepertinya kamu memang tidak mendengarku," gumamnya pelan, sangat pelan. "Aku mendengarmu." Suara itu tiba-tiba menggema di pendengaran Perly.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN