"Good morning" seulas senyum tersungging di bibir Reyno, si pembicara seminar hari ini. Entah jimat apa yang pria itu miliki, nyatanya hampir seluruh kaum hawa di dalam sana terhipnotis oleh pesona seorang Reyno.
"Pendengaranku masih bagus kan? Saya ulangi" Reyno mengetuk pelan micnya. "Good morning ladies and gentleman!" Bukan Reyno namanya apabila ia tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan sempurna. Dia bahkan tetap bersikap profesional meski sebenarnya sejak tadi ada pemandangan yang sangat mengganggu penglihatannya.
Please Kalina, kamu membuat saya cemas. Batin Sammy menatap gusar Kalina dari kejauhan.
Sejak tadi yang Kalina lakukan adalah berusaha menggeser jauh kepala Alvin yang terus menyender padanya. Oh tuhan, dia sadar kalau saat ini dirinya sedang membuat masalah baru.
"Tidak ada orang malas yang sukses, mulai lakukan kebiasaan itu melalui hal-hal kecil. Maka kalian akan terbiasa" kata Reyno yang duduk di sofa besar berwarna merah. Kemudian host membuka sesi tanya jawab untuk semua yang ada dalam ruangan.
"Sesi tanya jawab dibuka, silahkan bertanya apa saja asal sopan" kata host wanita itu. Beberapa mahasiswa mulai bertanya seputar pekerjaan dan masadepan.
"Kenapa artikel selalu memberitakan kalau pak Reyno ini penggila kerja yang selalu rela melakukan apapun demi One Star Company?" Tanya salah seorang gadis yang Reyno kenali sebagai putri dari kolega bisnisnya. "Dan, apa alasan pak Reyno melakukan itu semua?"
Reyno menarik sudut bibirnya, beberapa detik diam kemudian langsung menjawabnya dengan kepercayaan penuh "Karena OSC adalah saya, kalau saya lemah maka OSC akan lumpuh dan ratusan ribu kepala keluarga akan kehilangan pekerjaannya" Riuh tepuk tangan menghujani jawaban brilian Reyno yang sangat ingin didengar mereka sejak tadi. Reyno memang idaman.
"Silahkan" kata host wanita setelah melihat seorang pria berdiri dengan gagahnya. Dia memegang mic dan langsung menatap Reyno tanpa rasa canggung sedikitpun.
"Saya mau bertanya" katanya, membuat para hadirin berbisik-bisik dibelakangnya. Kalina mulai cemas, dia benar-benar ingin pergi dari tempat itu sekarang juga. Reynopun mengangguk cepat.
"Apa.. hubungan yang pak Reyno miliki dengan Kalina? Seperti apa dia dimata pak Reyno?" Hening. Beberapa orang nampak tercengang dengan pertanyaan Alvin barusan. Kalina membungkuk sambil menutup wajahnya, dia beringsut mundur sambil setengah berjongkok. Reyno memperhatikan.
"Ehm maaf, pak Reyno tidak diharuskan menjawab pertanyaan pribadi seperti tadi.. silahkan diganti" celetuk host yang merasakan perubahan wajah Reyno dalam sekejap.
"Kami ingin tahu, apa benar Kalina itu simpanan om om.. open BO dannnnn.." seorang wanita ikut menimpali, merebut mic yang tadi masih Alvin pegangi. Alvin terbelalak tak percaya, perempuan bar-bar penyebar gosip itu berani-beraninya mempertanyakan hal setabu itu di depan umum. Apalagi di acara seminar kampus. Reyno segera bangkit mengangkat tangannya yang tergenggam sampai ke atas. Membuat kegaduhan itu berakhir, semua orang diam memperhatikan Reyno kembali.
"Cukup, saya akan menjawab pertanyaan kalian satu persatu." Kalina tertegun, ia menghentikan langkahnya usai menabrak kaki panjang yang menghadangnya. Dia adalah Dave, dengan segera ia memasukan wajah Kalina ke dalam Jaketnya, menuntunnya duduk disamping kekasihnya, Maura.
"Kamu diam disini, jangan tunjukan wajahmu" bisik Maura.
"Kalina adalah gadis baik-baik. Saya tidak suka cara berpikir kalian yang buruk" Reyno menyeringai "Dia berada dalam lingkup pribadi saya, siapapun yang berani mengusiknya seperti tadi akan berurusan langsung dengan saya. Perihal hubungan saya dengan Kalina, saya rasa itu tidak perlu menjadi konsumsi publik" Kalina terdiam dengan mata membulat sempurna. Secara tidak langsung tuannya baru saja membuat pengumuman tentang kepemilikannya perihal diri Kalina bukan? Entah itu sebagai apa.
Semua orang terdiam, Reyno kembali duduk "Saya rasa cukup untuk pertanyaan pribadinya, ada pesan-pesan yang pak Reyno ingin sampaikan pada semuanya?"
Dari kejauhan Reyno melihat Kalina yang bangkit dari kursi entah sejak kapan, dan lagi dia bersama pria yang mengantarnya tempo hari.
"Sudah yuk, kita makan di kantin saja" ajak Dave menggandeng tangan Maura. Kalina mengekorinya dengan pikiran yang berantakan, sejak ia mendengar pengumuman Reyno.
"Kakak bukannya nggak ada kelas hari ini?" Tanya Kalina tiba-tiba.
"Iya, harusnya tadi kita kencan. Tapi ada yang laporan kalo kamu di gangguin anak basket, Davenya langsung puter balik ke kampus" cemberut, Maura kecewa rupanya. Dave mencubit keras hidung mancung Maura sampai empunya mengaduh. Kalina hanya dibuat senyum-senyum dengan pemandangan manis di sebelahnya.
"Aku minta maaf ya kak, seharusnya hal kayak gini kak Dave nggak perlu lakuin. Aku nggak mau ngrepotin kalian terus" ucap Kalina penuh sesal. Maura segera menggenggam tangan Kalina.
"It's ok, aku juga nggak suka kalau kamu dekat-dekat dengan Alvin" kata Maura.
"Setelah ini kamu akan tahu seberapa besar pengaruh ucapan bos kamu itu sama anak-anak" Dave berujar datar. Kalina mengernyit bingung.
"Maksud Dave itu, kamu jangan sembarangan bergaul" terang Maura. Kalina mengangguk.
Benar saja setelah kejadian itu berlalu beberapa jam, sudah ada beberapa geng yang seakan-akan hendak merekrut Kalina dengan cara mengajaknya ke mall sepulang kuliah. Kalina langsung menolaknya dengan alasan banyak pekerjaan rumah yang menantinya. Sontak membuat asumsi baru pada anak-anak tersebut. Siapa Kalina ini?
Kalina segera pulang setelah Sammy menelfon dan memberitahunya bahwa dia sedang menungguinya di parkiran bersama sang tuan.
"Kak kalian lanjutkan, aku harus kembali sekarang juga"
"Pak Reyno ya?" Kalina langsung menggeleng cepat. "Lalu?" Lanjut Maura
"Bukan, ini sekertarisnya" Kalina menunjukan ponselnya yang masih terpampang jelas foto sang penelfon. Menolak Dave untuk mengantarnya, Kalina tidak ingin lagi membuat masalah baru.
.
.
.
"Duduk di belakang" titahnya, Kalina menggeram kemudian pindah ke kursi penumpang. Reyno meminta Sammy untuk menutup sekat antara kursi depan dan belakang, mobil yang sudah di desain khusus untuk bisa melakukan percakapan pribadi. "Kenapa sampai ada gosip seperti itu?" Kalina langsung menggedikan bahunya
"Aku juga bingung"
"Semua orang sekaan-akan menghakimimu, atau jangan-jangan kau.."
"Apa? Aku menjual diri?" Jawab Kalina ketus "Lagipula siapa yang sudi membeli perempuan tidak berkelas sepertiku? Jelas saja semua orang mengira bahwa aku adalah gundik. Tuan saja selalu sembunyi-sembunyi menjemputku seperti ini" tutur Kalina lagi, Reyno menahan senyum.
"Oh jadi kau ingin aku datang menjemputmu secara terang-terangan, begitu?" Bukan, bukan begitu maksud Kalina! Dasar pria dingin kepedean!
"Lalu apa? Kau ingin aku bagaimana?"
Pertanyaan Reyno tidak mendapatkan jawaban. Sampai malam tiba mereka berdua masih diam tanpa bicara.
Tengah malam, bukan perempuan bayaran yang datang ke ruangan kerja Reyno. Melainkan kepala pelayan, dia mondar mandir naik ke lantai dua kemudian turun. Entah apa yang di kerjakannya, Kalina penasaran namun ia rasanya enggan untuk bertanya.
Kalina memilih menonton drama korea di ponselnya, ia duduk di ruang tamu sambil memangku setoples camilan.
"Nona, tuan memanggil" kata kepala pelayan, membuat dahi Kalina bertaut. Kemudian ia memakai sandal bulunya dan bergegas menuju ruang kerja Reyno.
Gelap. Kalina tak berani masuk lebih jauh, takut-takut bila ia menemukan hal yang tidak diinginkannya seperti biasa. Namun dugaannya salah, Reyno muncul dari sudut gelap lain dengan wajah pucat dan keringat dimana-mana. Kalina tidak tahu apa yang terjadi, melihat langkah Reyno yang sedikit tak beraturan dia langsung sigap memapahnya hingga pria itu berbaring di kamar.
"Apa yang terjadi?" Kalina memijat pelipis Reyno, sebenarnya tidak tahu apa pengaruhnya yang jelas Kalina hanya ingin melakukan hal baik untuk Reyno. Itu saja. Reyno menggeleng lemah atas pertanyaan Kalina.
"Tuan butuh sesuatu?"
"Berhenti memanggilku tuan" suaranya serak dan berat. Kalina memilih diam tidak membantah ataupun menyahut.
"Bagaimana kalau aku mati tapi belum sempat menemukan dalang dibalik kasus pembunuhan Arina?" Kalina menggigit bibir bawahnya, pria yang selama ini ia kenal tegas dan berwibawa. Kali ini pria itu tampak rapuh.
"Jangan bicara apapun, aku tidak suka. Tuan.. emmm kau tidak pandai bicara" kata Kalina gugup sebab Reyno menatapnya dengan tatapan lain.
"Kalina, aku.."
"Diamlah dan istirahat, aku akan menelfon doktermu itu" Kalina meraih telefon kabel yang menggantung di dinding kamar Reyno, kemudian menekan angka yang akhirnya menghubungkannya dengan dokter pribadi Reyno. Gilsha.
Sekitar setengah jam, Kalina menunggui Reyno di kamarnya. Pria itu tak melepas pegangannya dari tangan Kalina, seakan ia takut kalau Kalina pergi darinya.
"Sepertinya itu dokter Gilsha, lepas dulu nanti aku kembali" Kalina memaksa Reyno mengurai genggamannya.
"Ya tuhan, ada apa ini?" Gilsha terlihat panik, menyampirkan blazernya sembarangan. Kalina hanya berdiri mematung disisi pintu membiarkan dokter melakukan tugasnya.
"Apa yang dia makan hari ini?" Tanyanya pada Kalina.
"Aku hanya mimpi buruk" bantah Reyno.
"Aku sedang tidak bertanya denganmu" Gilsha mendelik, kemudian ia meraih jarum suntik dari tasnya. "Ini sudah yang ke tiga kalinya, kapan kamu mau check up? Aku temani" tawar Gilsha. Keduanya tampak sedang bernegoisasi mengenai sesuatu.
"Kalina kemari" Gilsha memintanya duduk di sisi ranjang bersamanya. "Paksa dia, minta dia untuk memeriksakan kesehatannya. Aku yakin kamu punya seribu cara untuk melakukan itu" Gilsha memegang tangan Kalina. Bodoh! Kalina langsung mengangguk meski ia belum tahu bagaimana cara membujuk tuannya yang keras kepala itu.
Gilsha pergi, menyisakan Kalina dengan Reyno yang masih terbaring lemah. "Kemari, aku ingin memelukmu" Kalina tak mengindahkan keinginan Reyno. Dia diam saja tanpa menoleh padanya.
"Cepatlah Kalina, aku ingin tidur"
"Tidak ! sampai tuan setuju untuk memeriksakan diri ke rumah sakit" jawab Kalina asal.
"Apa yang akan ku dapatkan?" Tanya Reyno menengadahkan kepalanya.
"Jawaban atas semua rasa sakitmu, dan aku bersedia merawatmu" ucap Kalina lagi.
"Jika sakitku mematikan, apa kau akan tetap bersedia merawatku?" Kalina tertawa sumbang, ada raut kesedihan di dalamnya.
"Apalagi yang kumiliki lagi jika kamu sampai meninggal? Aku akan jadi gelandangan tuan.. Aku akan tetap merawatmu" Kalina menyodorkan kelingkingnya, ia berjanji. Kemudian gadis itu merangkak ke atas ranjang yang sama dengan Reyno dan membiarkan pria itu memeluknya hingga terlelap.