bc

Drew & Annelise

book_age18+
85
IKUTI
1K
BACA
love after marriage
friends to lovers
drama
bxg
genius
city
like
intro-logo
Uraian

Annelise Chayton tidak bisa berhenti mencintai Edward Naraoka sejak kecil. Bahkan setelah mereka saling mengetahui perasaan masing-masing dan Edward lebih memilih hobi berpetualangnya dibanding Annelise, gadis itu masih tak mau bergerak dari posisinya. Mengabaikan siapa saja yang mencoba mendekatinya termasuk Andrew Andersen, profesor muda yang sudah menyukainya sejak remaja. Bertahun-tahun Edward pergi, bertahun-tahun pula Annelise menyalurkan segala kesal dan bencinya pada Edward dengan mengencani banyak pria sebagai pengukuhan bahwa ia mampu menaklukkan hati siapa saja.

Engkau adalah planet paling berisik di langit. Yang membuatku tak kuasa untuk tak menginginkanmu. Yang membuatku terus-menerus mempelajarimu hingga aku lupa bisa jadi engkau tak tahu bahwa aku ada. Aku memang hanya air di lautan, namun karenamu aku rela dipanggang matahari dan kepanasan. Agar aku bisa menjadi uap yang terbang ke tempatmu. Menemuimu adalah tujuanku. Memilikimu adalah yang selanjutnya. Lihatlah aku. Tak kujaminkan kelayakan untukmu, namun bisa kupastikan bahwa engkau tidak akan pernah menderita bila denganku. - Andrew Andersen

Amazing cover by: @melonijodesain

chap-preview
Pratinjau gratis
1. Giant House Giant Problem
Kalau ada manusia di dunia ini yang paling tertutup, niscaya ia adalah Annelise Chayton, anak tunggal Maxime Cahyton yang bahkan orangtuanya sendiri tidak tahu pekerjaan apa yang membuat anaknya berangkat jam dua siang dan pulang larut malam. Kadang malah baru pergi tengah malam. Kadang juga tak pergi sama sekali. Hanya di kamar. Namun menurut pengakuan pembantu Maxime, paket tanpa logo dan pengirim selalu berdatangan. Kecil dan besar. Kadang sebesar kardus kulkas satu pintu. Seringnya sebesar ukuran telapak tangan orang dewasa. Rumah dengan tanah seluas 17.975 meter persegi yang menaungi 5 pegawai khusus Maxime, 7 orang pembantu, 2 orang tukang bersih kolam renang, 5 tukang kebun, serta 12 ekor anjing itu nyatanya tak pernah memberi kenyamanan bagi penghuninya. Maxime menilai Annelise terlalu menikmati kamar yang desainnya paling berbeda dari bagian rumah yang lain yang mayoritas ber-tone warna tanah. Dinding abu-abu, jendela selebar empat meter yang lebih sering ditutupi tirai dua lapis saat siang dan tebuka kala malam, perabotan serba berwarna monokrom, lampu taman warna kuning yang entah mengapa bisa ada di salah satu sudut kamar, karpet warna putih tulang, dan yang lebih aneh lagi, kamar perempuan itu tidak dihiasi satu foto pun. Entah foto dirinya atau keluarga. Justru lukisan keluarga Obama menggantung gagah di tengah salah satu sisi dindingnya. Annelise sudah 27 tahun, tapi tak pernah sekali pun ia tahu Maxime berangkat kerja pukul berapa. Atau tidak ingat. Entahlah. Setaunya sejak kecil Daddy adalah manusia tersibuk di rumah ini. Jangankan repot-repot menyaksikan pertunjukan akhir tahun saat ia masih sekolah, Annelise sakit pun hanya Bondan, asisten pribadinya yang ia minta datang dan memastikan. Menurut Annelise, Waktu Adalah Uang seolah jargon yang ditanamkan dengan sengaja di otak Maxime saat diciptakan Tuhan. Sehingga tak ada celah untuk memikirkan rumah ini atau anaknya. Entah bagaimana dulu Bunda dan Mommy nya bisa jatuh cinta pada manusia sedingin itu. “Nanti malam Om Chris mengadakan pesta pembukaan pameran. Kamu temani Daddy.” Kalimat perintah. Bukan permintaan. Bukan pula tawaran. Dua kalimat yang tidak sampai dua detik diucapkan Maxime tapi sukses membuat Ann terbengong-bengong sampai masuk mobil. “Ke mana kita hari ini, Nona Ann?” “Meikarta.” Mobil melaju pelan. Ann kebingungan mencari tahu sebab dibalik perintah Maxime barusan. Untuk kepentingan apa dia harus hadir di acara bisnis itu? Dan sejak kapan pula dia dianggap sebagai anak gadis Daddy yang bisa diajak menemani ke pesta ala Ayah-Anak pada umumnya? Aneh. Ini tidak wajar, pikir Ann. “Ron, kamu tahu Daddy ke pesta siapa nanti malam?” “Kalau dari ceritanya Pak Sugeng sih katanya di Kupang.” “Jam berapa?” “Jam 7 take off.” “Jam 7 take off ke Kupang?” Ann berdecak, “mau pulang jam berapa lagi.” “Tuan sudah pesan dua kamar di Hotel Exotica. Kemungkinan menginap di sana.” Ann memejam. Bukan memikirkan betapa semena-mena nya Maxime semenjak ada landasan helikopter di rumahnya, tapi mengatur strategi bagaimana cara menolak perintah Daddy atau membatalkan pekerjaannya sore nanti. Ah, jangankan memikirkan penolakan, mencari alasan logis yang bisa dipakai untuk menghubungkan bisnis itu dengan dirinya saja sudah buntu. “Nona Ann sudah tahu Mbak Wulan di pecat?” Annelise mendelik. “Wulan? Dipecat? Sama Daddy?” Roni mengangguk. “Sekarang di mana?” “Masih di rumah. Baru dipecat setengah jam sebelum Nona Ann turun.” “Putar balik sekarang.” Bagi Annelise, tak penting lagi janji temunya siang ini. Pikirannya dibelokkan 180 derajat ke Wulan, sahabat yang disembunyikannya dari Maxime. Ya, sebegitu posesifinya Maxime pada Annelise sampai tak satu pun pembantu berikut anaknya di rumah itu yang diizinkan berkomunikasi dengan Ann selain untuk urusan rumah. Rumah itu kelewat canggih untuk menyembunyikan satu gerakan pun dari Maxime. Kecuali di suatu sudut di lantai tiga, pojokan dekat lift adalah area teraman yang jadi titik temu Annelise dan Wulan. Wulan adalah malaikat penyelamat saat tiga hal yang dicintainya meninggal. Pertama, Bunda ibu kandung Ann, kedua Mommy ibu tirinya, ke tiga Bong, anjing kesayangan Ann yang ditembak Bondan karena menarik ikat rambut Ann kelewat kencang. Pada Wulan Annelise sanggup jadi manusia paling cerewet di dunia. Untuk urusan apapun Wulan tidak boleh bohong pada Ann, termasuk soal perselingkuhannya dengan Bondan tempo hari. “Wulan! Wulan!” Ann memaksa masuk bagian rumah khusus pembantu dengan tergesa-gesa. Tak peduli lagi kalau langkahnya ditemukan Maxime. Baginya bertemu Wulan saat itu juga lebih penting dari resiko apapun yang nantinya ia terima. “Siapa yang berani pecat kamu?” tanya Annelise begitu Wulan membuka pintu kamarnya. Wulan yang tak menyangka akan bertemu Annelise di sana langsung panik. Antara harus membawa Ann masuk kamarnya atau keluar ke taman untuk menghindari intaian CCTV. “Nona Ann kenapa di sini? Aduh, saya bisa dipenggal Tuan.” “Kalau kamu dipenggal, saya juga harus. Lagian apa-apaan main pecat segala.” “Saya yang salah, Non. Saya ceroboh.” “Memangnya kamu kenapa? Pecahin koleksi keramik Dinasty Ming-nya Daddy? Salah kasih makan Algojo? Apa?” “Saya kelepasan bilang kalau Nona Ann belum sarapan sampai siang ini.” “Seriously? Come on! I am not baby anymore.” Wulan yang tak paham hanya berkedip kebingungan. “Kamu jangan pergi. Biar saya yang bilang Daddy.” “Jangan, Non.” Wulan membungkuk. Memohon. Wajahnya menampilkan ketakutan tak wajar. “Saya sudah diberi pesangon. Kalau sampai jam 2 saya belum pergi, Mas Jupri juga bisa dipecat.” “Apa-apaan!” Annelise buru-buru merogoh ponsel. Ditekannya nama yang paling jarang dia dengar suaranya dari telepon. Menunggu tak sabar sampai di dering ke lima barulah telpon itu diangkat si empunya. “Apa-apaan sih main pecat Wulan tanpa ngomong sama aku?” Tanpa kata pembuka, Annelise langsung menyeruduk Maxime dengan kalimat tajinya. “Kamu telpon jam segini hanya untuk ngomong itu?” “Wulan tidak boleh pergi dari rumah ini.” “Daddy sedang sibuk.” “Biarkan Wulan tetap tinggal atau aku pergi dari rumah.” “Bukannya sudah sering begitu? Pergi larut, pulang tiga hari kemudian.” Annelise terkesiap sesaat. “Atau aku tidak ikut ke Kupang.” “Oh, sudah tahu rupanya. Tapi, tidak. Kamu harus ikut.” “Kalau begitu biarkan Wulan tinggal.” “Dia harus menerima hukuman atas kesalahannya.” “Kesalahan karena aku tidak kelihatan makan pagi ini? Come on, Dad. Aku bukan bayi. Di kamarku banyak makanan. Tanpa turun seminggu pun aku masih bakal hidup.” “Sudah jadi tugasnya memastikan makananmu sesuai anjuran Dokter Siska.” “Oh ya? Lalu Daddy mengabaikan anjuran Dokter Fero untuk berusaha tidak keras denganku? Untuk mencoba lebih dekat? Kalau Wulan dihukum karena lalai, Daddy juga harusnya dihukum karena lalai menjalankan perintah dokter yang kata Daddy pakar psikologi terbaik di dunia itu.” Tak terdengar suara selain hembusan napas Max. Annelise tersenyum penuh kemenangan. Tak sia-sia dia membuka catatan di ponselnya di perjalanan pulang tadi. “Okay. Kali ini Wulan dimaafkan.” “Tidak hanya kali ini. Tapi selamanya. Mulai saat ini Wulan kerja padaku. Bukan pada Daddy lagi. Gaji, aturan yang mengikatnya, apa yang boleh dan tidak boleh dia lakukan, semua dariku.” Di depan Ann, Wulan mengigit bibirnya ketakutan. Annelise benar-benar nekat kalau sudah berhubungan dengan Wulan. “Daddy harus masuk ruang meeting sekarang.” “Jawab ‘iya’ atau aku batal ikut nanti malam.” “Minta Bondan buat surat pengalihannya.” Annelise melempar jempol ke Wulan. “Tidak perlu. Biar Roni yang urus.” “Up to you.” “Okay. Terima kasih untuk delapan menit dua puluh tiga detiknya.” Seumur hidup rasanya baru ini Max mau bicara panjang pada Ann. Saat kecil, ketika anak seusia Ann sedang senang-senangnya belajar bicara Max tidak pernah hadir sebagai seorang ayah. Sosoknya digantikan Chris, adik sekaligus direktur dari salah satu perusahaan Max di Jakarta. Bunda adalah satu-satunya manusia yang dianggapnya sebagai orang tua oleh Annelise. Maxime hanya hiasan yang sesekali datang dan lebih sering pergi. “Mulai sekarang kita bebas bicara. Kamu bebas masuk kamarku kapan saja. Nggak usah takut. Aku penanggungjawabmu,” kata Ann sembari mengusap punggung Wulan. “Saya jadi ndak enak sama tuan Max, Non. Bagaimana kalau˗” “Urusan dengan Daddy biar jadi bagianku. Yang penting kamu masih di sini.” Annelise menggenggam tangan Wulan. “Kalau kamu pergi dari sini, aku juga harus pergi.” “Non ….” “Sudah. Aku harus pergi. Nanti malam aku mau makan iga bakar buatanmu. Siapkan sebelum aku berangkat ke Kupang. Bisa?” “Baik, Non.” Annelise berlalu sembari menerima telpon dari seseorang yang sudah menunggu sejak satu jam lalu. Seseorang yang membuat Annelise harus berdandan ala buruk merak. Bulu mata lentik luar biasa, eye shadow gradasi hijau, biru, dan sedikit perak. Blush on warna peach samar-samar. Eye liner tipis di tengah, tebal meruncing di bagian ujung. Rambut ponytail dengan hiasan jepit berbulu warna hijau tua. Sungguh, kalau bukan klien penting tidak sudi Ann berdandan ala pemain lenong begini. “Jadi ke Meikarta, Non?” tanya Roni setelah Ann masuk mobil. “Pindah ke Bogor. Lokasinya sudah saya kirim ke whatsapp.” Roni mengangguk. Di persimpangan jalan Roni mengambil jalan ke kiri, arah menuju lokasi terpencil yang ditunjukkan Annelise. Setengah jam berlalu, ponsel Ann berbunyi. Telpon dengan kode area yang tak ia kenali. Tapi Ann sudah hapal, siapa orang di seberang sana yang sedang menunggu telponnya diterima. “Lama sekali telponku diterima? Ariel-ku sedang sibuk, ya?” Annelise terkekeh, “Belum sampai dering ke lima. Lagi di mana?” “Kamu nggak tahu kode area nomor telponku?” Annelise menjauhkan ponselnya, mengamati kode area mana kira-kira awalan nomor telpon itu. “Miami?” “No.” “Umm … Florida?” “Apa bedanya Miami dan Florida?” “Amerika utara atau selatan?” “Ha ha ha, kamu benar-benar payah.” “I have no idea.” Annelise terkekeh. “How was Chili?” “Great. Tapi aku batal ke Aconcagua.” “Tumben rencanamu meleset.” “Ya. Ada badai besar yang nggak mungkin diterjang. Tiga hari belum reda juga. Jadi, ya sudah. Kapan-kapan lagi saja.” “Mungkin di suruh pulang dulu.” Annelise paham itu sesuatu yang mustahil. Tapi, ya, apa salahnya mencoba. Barangkali si pangeran di seberang sana berubah pikiran. “Aku sedang di Nepal. Akhirnya …” “Wow. Tempat impianmu sejak dulu, kan?” “Ya. Mungkin akan jadi lebih sempurna seandainya ada kamu.” “Kamu tinggal minta. Aku bisa berangkat sekarang juga.” “Lalu aku mati begitu kamu sampai sini.” Laki-laki itu terkekeh. “Andai mengajakmu pergi bisa semudah mengajak kencan anak presiden. Pasti sudah kulakukan sejak dulu, Ariel.” “Apa artinya aku di sini kalau setiap hari rasanya seperti orang mati? Bawa aku. Apapun resikonya aku siap menanggung. Asal sama kamu.” Annelise menggigit bibirnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Sungguh pilu sekali situasi seperti ini. Berulang kali terjadi. Berulang kali juga selalu berakhir di jalan buntu. Ariel yang kata Edward pemberani itu nyatanya tak lebih kuat dari sebatang lidi. “Aku besok ke Kangchenjunga. Bisa tolong jangan buat pikiranku kacau? Please. Seandainya kamu tahu aku lebih dari sekadar ingin kamu ikut aku. Tapi˗” “Tapi kamu terlalu pengecut untuk itu. Iya, kan?” “Ann …” “Sudah. Selalu begitu. Ngomong sama kamu nggak pernah ketemu jalan yang nggak buntu. Aku sudah mau sampai. Kapan-kapan kita sambung lagi.” “Berhentilah bekerja seperti ini, Ann.” “I will. Kalau kamu mau pulang atau bawa aku ikut denganmu.” “Nggak mungkin.” “Pilihan pertama masih bisa.” “Tidak untuk sekarang.” “Dan kamu sudah tahu jawabanku.” “Pekerjaanmu berbahaya sekali, Ann. Kamu tahu itu, kan?” “Lalu yang kamu lakukan sekarang minim resiko?” Annelise menggeleng heran. “Hati-hati besok. Kalau kamu mati setidaknya minta burung buat kirim beritanya ke aku.” “I love you. You know that, aren’t you?” “I know.” Telepon terputus tepat ketika Porsche yang ditumpangi Ann sampai di halaman sebuah rumah yang sangat jauh dari keramaian. Rumah dua lantai dengan rooftop berpagar tinggi dipenuhi tanaman merambat. Begitu memasuki gerbang, Ann disambut oleh pelayan rumah yang sudah tua dan sedikit bungkuk. Wajahnya tersenyum sumringah. Sepertinya ini bukan tipikal rumah yang ditinggali setiap hari. Mungkin vila yang disewakan mengingat posisinya yang tak jauh dari puncak dan sedikit menjauh dari keramaian. “Annelise Chayton. Indo kesayanganku.” Laki-laki berbadan cukup atletis, berumur pertengahan 40 menghampiri Ann masih dengan kemeja dan celana kerja. Melihat laptop yang masih menyala di ruang tamu itu sepertinya kliennya kali ini sedang sibuk, tapi masih sempat-sempatnya meminta Ann datang. “Sambil kerja?” tanya Ann sambil melirik laptop di atas meja. “Sudah selesai. Mau makan atau minum dulu?” “Minum boleh. Aku perlu sesuatu yang menenangkan.” “Wine?” “Vodka.” “Wow. Seingatku kalau siang kamu jarang minum itu. Apa aku salah ingat?” “Ingatanmu sudah jompo.” Kliennya itu hanya tertawa. Ya, ketimbang yang lain, kliennya yang satu ini memang paling sering Annelise terima. Bukan hanya soal bayaran yang tak pernah ia protes, berbicara dengan laki-laki ini terkadang membuat isi kepala Ann sedikit ringan. Dan pula, pengetahuannya soal dunia pendakian, hiking dan yang berhubungan dengannya membuat Ann sedikit banyak jadi tahu seperti apa dunia yang sedang digeluti Edward, laki-laki yang membuat kepalanya berat tadi. “Aku sudah memakai jasamu lebih dari sepuluh kali, kau tidak berniat memberiku diskon atau pelayanan gratis begitu?” “Aku tidak pernah memintamu mambayarku. Kalau terasa terlalu menguras kantongmu, mungkin ada baiknya ganti yang lain saja. Aku tidak keberatan.” Sambil melepas kemeja, laki-laki yang di perutnya ada bekas luka sayatan itu mendekat. “Maunya juga begitu. Sayang, kamu terlalu membekas untuk diganti dengan siapapun.” “Kenapa pindah ke sini?” “Ah, biasa. Istriku tiba-tiba mau tilik. Masih nanti sore sih, tapi kan kalau dia tahu ada baumu di sana, wah, bisa mampus aku.” Annelise mengangguk paham. “Mandilah. Aku tidak bisa overtime hari ini. Sore nanti harus menemani daddy ke Kupang.” Sebagai orang yang tahu sepak terjang keluarga Chayton, laki-laki itu merasa aneh dengan pernyataan Annelise barusan. “Sejak kapan kamu jadi dekat dengan Mr. Max?” “Bukan urusanmu.” Dengan tawa yang belum reda, pria yang sudah menyatakan cinta lebih dari sebelas kali ke Annelise itu masuk ke kamar mandi dengan handuk menyampir di bahu. Tato naga berlidah dua yang entah maksudnya apa seolah menjulurkan lidahnya untuk mengejek Ann. Sejak kapan ia punya hubungan baik dengan Maxime? Ping! “Hai, Ann. Apa kabar?” Annelise mengernyitkan dahi. Pesan masuk dari nomor tak dikenal. Alih-alih membalas, Annelise justru mematikan ponsel dan bersiap mengganti baju. “Kenapa?” “Enggak apa-apa.” Annelise beranjak, melepas satu per satu kain yang melekat di tubuhnya. Menyugar rambut laki-laki yang masih mengenakan bathrobe perlahan. Memandangi mata laki-laki itu seolah dia jatuh cinta begitu dalam. Prosesi seperti inilah mungkin yang membuat laki-laki manapun rela merogoh kocek lebih dalam. Demi dicintai sekelebat oleh Annelise Chayton. Bidadari penakluk hati dan hasrat laki-laki mana pun. “Boleh kutanya sekali lagi, Ann?” Annelise mengecup bibir laki-laki itu dalam, dan lama. “Jangan. Kecuali kamu mau moodmu berantakan.”

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

My Secret Little Wife

read
102.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
192.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
209.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
14.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.9K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook