Jinora 7

1254 Kata
Pagi ini, Jinora sudah berada di terminal bus. Ia akan menuju bandung meninggalkan semua yang ada di Bogor. Wajahnya sudah terlihat jauh lebih baik, meski hatinya masih sakit. Giselle harus merelakan keputusan Jinora untuk kembali ke rumah orang tuanya dulu. Jinora meninggalkan mobilnya untuk digunakan Giselle, ia pergi dengan membawa beberapa barang saja, karena di Bandung masih ada banyak barang-barang miliknya dulu. "Jinora pulang dulu ya ,Tante? Kalau mau ke Bandung, telepon Nora dulu ya?" pamit Jinora. "Iya ,sayang. Tante pasti jenguk kamu kalau ada waktu. Tante cuma bisa berdoa semoga Nora selalu bahagia, jangan lupa telepon Tante kalau sudah sampai ," ujar Giselle. "Iya ,pasti." Jinora melangkah masuk ke dalam bus, ia melambaikan tangan pada Giselle dengan tersenyum. Jinora tidak ingin memperlihatkan kesedihan yang tengah ia rasakan saat ini, begitu juga dengan Giselle yang ingin melihat keponakannya itu tidak perlu khawatir pada dirinya. Tidak lama setelah itu, bus pun melaju perlahan meninggalkan terminal. Giselle akhirnya pergi dari sana menuju Taman Safari untuk membuka stand makanannya.  Sementara itu di dalam bus. Jinora mengenakan earphone untuk mendengarkan musik dari ponselnya. mencoba untuk tetap tenang dan tidak memikirkan kenangan yang ada di Bogor, adalah hal yang saat ini Jinora coba lakukan. Selama perjalanan itu, Jinora merasa jika suatu saat John mengingatnya ,maka di saat itu juga dia tidak akan mau kembali lagi. Beberapa saat kemudian ,ponsel Jinora berdering. Anita tengah menghubungi dirinya. "Hmm, ada apa?" tanya Jinora. "Kamu beneran pergi? Jahat banget gak pamitan sama aku?" protes Anita. "Maaf, sampai ketemu lagi ya?" "Kamu tinggal di Bnadung sebelah mana? Nanti kalau libur aku ke sana ya?" "Iya, aku di Bandung daerah Lembang ,An." "Oke." Setelah selesai ,Jinora kembali mendengarkan musik dari ponsel miliknya. Ia duduk dengan menyandarkan kepalanya, lalu matanya terpejam dengan perlahan. empat jam menempuh perjalanan, akhirnya Jinora sampai di Bandung. Ia turun di terminal lalu mencari seseorang yang menjemputnya di sana. Jinora mengambil ponsel dari dalam saku celananya, lalu melihat ada pesan masuk. 'Non, Mang Ujang ada di pintu masuk.' Jinora tersenyum lalu menarik koper miliknya menuju pintu masuk. Ia melihat seorang pria paruh baya sedang berdiri dengan melambaikan tangan ke arah Jinora. Jinora semakin bersemangat untuk melangkah mendekati orang itu. "Mang Ujang ... gimana kabarnya?" tanya Jinora. "Sae ,Non. Non Nora sendiri bagaimana? Kenapa pulangnya mendadak sekali?" "Iya ,Mang. Maaf ya ... udah ngerepotin Mamang," ujar Jinora. "Ish ... naon atuh Non ini, jangan begitu sama Mamang." Jinora tersenyum lalu membiarkan Mang Ujang mambawa barang-barangnya. Akhirnya mereka menuju rumah Jinora dengan menggunakan mobil peninggalan kedua orang tua Jinora. Jarak antara terminal ke rumah Jinora cukup jauh, karena letak rumah orang tua Jinora dekat dengan perkebunan teh. "Mang, Bik Ijah ada di rumah kan?" tanya Jinora. "Ada dong, setelah tahu kalau Non Nora mau pulang, Mang Ujang sama Bik Ijah bersih-bersih rumah dan menyiapkan semuanya untuk Non Nora," ujar Mang Ujang. Mobil bermerek Pajero Sport itu masuk ke dalam halaman rumah. Di sana sudah berdiri seorang wanita tua yang biasa dipanggil Bik Ijah. Jinora turun dari dalam mobil lalu berlari menghampiri wanita itu. Ia memeluk Bik Ijah dan menciumnya seperti seorang cucu yang bertemu dengan neneknya. "Bik Ijah ,kumaha damang?"  "Sae, Non." "Mang Ujang bawa barang Non Nora ke dalam dulu ya? Bik, ajak Non Nora makan, pasti lapar itu," ujar Mang Ujang. "Hehehe, Mang Ujang tahu saja." Akhirnya Jinora masuk ke dalam rumah bersama Bik Ijah, mereka langsung menuju ruang makan untuk segera mengisi perut Jinora yang sudah terasa lapar itu.  Bik Ijah dan Mang Ujang adalah dua pekerja yang menjaga rumah peninggalan kedua orang Tua Jinora. Mereka sudah bekerja di sana sejak sepuluh tahun lalu, dan Jinora sangat dekat dengan mereka. Kedua orang ini tetap bekerja dan menjaga rumah itu karena keinginan Jinora yang tetap mempertahankan rumah untuk tidak di jual.  Mang ujang seorang pria dengan badan yang kurus ,dan kulit sawo matang yang terlihat mulai keriput. Dengan tinggi badan 155 cm, dan memiliki ciri khas selalu mengenakan batik dimanapun ia berada. Mang Ujang tidak memiliki keluarga lain, karena ia ditinggalkan oleh anaknya di Bandung sendirian. Pria itu juga memiliki sebuah peternakan kambing yang didapat dari orang tua Jinora. Sementara itu, Bik Ijah adalah asisten rumah yang selalu siap untuk membersihkan bagian dalam rumah, dan juga memasak untuk keluarga besar Mullins. Bik Ijah memiliki satu orang anak laki-laki yang kini bekerja di Jakarta. Meski anaknya sudah sukses, tetapi Bik Ijah tetap ingin bekerja di rumah itu. Ia beralasan jika kebaikan keluarga Jinora membuat anaknya menjadi sukses seperti saat ini. Maka dari itu, Bik Ijah tidak ingin dikatakan kacang lupa kulitnya. Jinora tengah menikmati makanan yang sudah di hidangkan oleh Bik Ijah. Jinora melahap makanan itu hingga habis tak tersisa.  "Bik, di sini sudah ramai ya? Banyak orang yang lalu lalang. Tidak seperti dulu saat Nora masih kecil, sepi dan sunyi. Bahkan Nora sampai takut untuk keluar dari rumah." "Iya, Non. Apalagi di sebelah timur sana. Sekarang sudah ada villa besar yang di huni banyak satwa , dan pemiliknya sering datang untuk melihat dan berlibur jika akhir pekasn," jelas Bik Ijah. "Oh ya? Boleh masuk liat satwanya gak ,Bik?" tanya Jinora yang penasaran. "Hmm, Bibik kurang tahu atuh ,Non. Villa itu selalu ramai jika akhir pekan, dan sepi jika hari kerja," terang Bik Ijah. Jinora mengangguk mengerti, kini setelah selesai dengan makanannya Jinora beranjak dari sana untuk berkeliling di sekitar rumah. "Nora keliling sebentar ya Bik?"  "Iya ,Non." Jinora pergi dengan perasaan yang lebih baik. Ia menghirup udara sejuk di sana dengan merentangkan kedua tangannya.  "Permisi ,Teh." Suara seorang wanita membuat Jinora terkejut. "Iya, ada apa?" "Teteh ... apa benar Teh Nora?" tanya wanita itu. "Iya benar, maaf siapa ya?" "Saya Erlis, adik kelas Teteh waktu SMP," ujarnya. Jinora tersenyum, tetapi dia tidak mengingat sama sekali tentang orang bernama Erlis di ingatannya. Raut wajah Jinora terlihat jika ia sedang mengingat nama Erlis. "Maaf ,Teh. Pasti Teteh tidak ingat, tidak apa-apa ... saya tadi diberitahu Mang Ujang, katanya pemilik rumah keluarga Mullins kembali," ujar Erlis. "Iya, Maaf ya ... aku memang tidak bisa mengingat, tapi kalau mau ... kamu bisa main ke rumah kalau ada waktu, kebetulan aku sudah menetap di sini," ujar Jinora. "Wah ... beneran ,Teh? Hatur nuhun atuh, Teteh masih saja baik sama orang. Sama seperti orang tuanya yang suka membantu dulu," celetuk Erlis. "Terima kasih, aku kembali ke rumah dulu ya, Erlis?" pamit Jinora. "Iya,Teh." Jinora berbalik badan lalu melangkah kembali ke rumahnya.  *** Pagi ini, Jinora bangun dengan wajah yang terlihat sembab. Semalaman wanita itu menangis karena seseorang mengirim foto pernikahan John dengan pilihannya. Sakit hati itu kembali muncul dan menyerang dirinya. Hingga akhirnya untuk hari ini, Jinora hanya berdiam diri di dalam rumah. "Non, makan dulu atuh ... nanti sakit kalau tidak mau makan," ujar Bik Ijah. "Iya, Bik." Jinora beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan malas menuju ruang makan. Jinora melihat hidangan yang ada di hadapannya dengan wajah malas. Sungguh saat ini tidak ada gairah untuk makan dalam diri Jinora.  "Non, makan atuh. Mana bisa nasinya berkurang kalau tidak di makan," celetuk Bik Ijah. Jinora tersenyum lalu akhirnya mulai menyendok makanan sedikit demi sedikit. Hingga makanan itu habis dan tidak tersisa. Jinora kembali berjalan menuju kamarnya ,ia juga mengunci pintu kamar agar tidak ada yang mengganggu dirinya di dalam sana. "Mang, si Non Nora naon? Bibik teh khawatir," ujar Bik Ijah pada Mang ujang. "Biarkan saja dulu, mungkin masih trauma, karena calon suaminya menikah dengan orang lain," jelas Mang Ujang. Bik Ijah mengangguk mengerti, lalu ia kembali dengan kegiatannya di dapur. Sementara Mang Ujang pergi ke peternakan kambing miliknya, Hari ini ia sudah mencari rumput, jadi pekerjaannya tidak terlalu banyak. "Mang Ujang, Teh Nora kemana? Kok gak kelihatan?" tanya Erlis yang baru saja datang. "Non Nora lagi istirahat, katanya capek," jelas Mang Ujang. "Hmmm, begitu ... Erlis mau ajak Teh Nora ke cafe baru yang ada di kota," ujar Erlis. "Iya, nanti saja. lagi pula Non Nora masih capek," tambah Mang Ujang. mengerti dengan perkataan Mang Ujang, akhirnya Erlis pergi dari sana, lalu kembali ke rumahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN