Jinora 6

1255 Kata
Sudah satu bulan berlalu, Jinora masih bekerja seperti biasa. Namun, ia kini jarang berkunjung ke rumah John karena Naira selalu mengusirnya. John juga sudah mulai bekerja kembali di Taman Safari, meski begitu John selalu menghindari kontak langsung dengan Jinora. Pria itu sungguh ingin mengakhiri hubungan dirinya dengan Jinora.  "Nora, disuruh cek ke kandang Inara," ujar Anita. "Ada apa?" tanya Jinora. "Gak tau, katanya anak Inara kakinya agak pincang," jelas Anita. Jinora segera bergegas menuju kandang harimau Sumatera itu, ia memantau dari luar kandang terlebih dahulu. Karena Inara sangat sensitif jika ada yang menyentuh anaknya. Jinora melihat harimau kecil yang berjalan pincang, karena kaki belakangnya seperti terkena benda tajam. Nampak dari darah yang keluar dari telapak kakinya, dan luka itu berada di kaki sisi kanan. "Dimana John? seharusnya dia bantu kita buat ambil anaknya," tanya Jinora. "Hmmm, kayaknya dia sengaja pergi deh, soalnya tadi ada di sini," ujar Anita. "Panggil Ebit, dia juga keeper harimau kan?" tanya Jinora memastikan. "Iya, sebentar." Anita mencari Ebit ke seluruh kandang harimau dan singa. Dan akhirnya Anita menemukan Ebit yang sedang berada di kantin.  "Ebit, bantu di kandang harimau dong, Nora mau ngobatin anak Inara," ujar Anita. Ebit segera mengikuti Anita menuju kandang Inara. Ia membantu Jinora untuk mengalihkan perhatian Inara, sementara dirinya mengobati anak harimau itu. Setelah selesai, Jinora mengembalikan anak Inara ke dalam kandang bersama induknya. Hari ini Jinora pulang lebih awal, ia merasa sedikit kurang enak badan, dan memutuskan untuk kembali ke rumah. Saat sedang membuka pintu rumah, Jinora melihat sebuah mobil sedan berhenti di depan halaman. Seorang wanita keluar dari mobil itu lalu menghampiri Jinora. "Tante, tumben ... ada apa?" tanya Jinora. Wanita itu terlihat memberikan selembar undangan pernikahan pada Jinora. Jinora menutup mulutnya saat melihat nama yang tertera pada undangan tersebut. Ia menggelengkan kepalanya dengan keras, air matanya keluar tanpa permisi. "Maafkan ,Tante. Semua ini keputusan John, Tante tidak bisa mencegahnya," jelas wanita yang ternyata ibu John. "La-lalu ... bagaimana dengan Jinora ,Tante?" "Sekali lagi, Tante minta maaf. Tante berharap kamu bisa menemukan lelaki lain yang lebih baik dari John," ujar wanita itu. Wanita itu beranjak dari sana, meninggalkan Jinora yang tengah menangis di depan pintu rumah. Beberapa saat kemudian, Jinora masuk ke dalam rumah dan meninggalkan undangan pernikahan itu di depan rumah. Ia melempar tasnya ke atas ranjang lalu menangis hingga kelelahan. *** Giselle merasa sangat khawatir dengan kondisi Jinora, sudah satu minggu lamanya ia tidak keluar dari kamar. Giselle menghubungi Anita untuk membujuk Jinora, hanya Anita sahabat Jinora yang bisa menasehati keponakannya itu. Tok Tok Tok Ceklek Anita datang ke rumah Giselle dengan membawa beberapa makanan. Ia masuk ke dalam rumah ,dan langsung menghampiri sahabatnya di dalam kamar. "Nora," panggil Anita. Kamar Jinora terasa sangat lembab, Anita masuk dan menghampiri Jinora yang berada di atas ranjang. Ia duduk di tepi ranjang, lalu menyentuh Jinora perlahan. "Lebih baik kamu pulang aja," ujar Jinora dengan suara yang terdengar serak. "Nora, mau sampai kapan kamu seperti ini?" "Entahlah," jawab Jinora singkat. "Setidaknya pikirkan nasib satwa yang sedang menunggu untuk kamu obati," ujar Anita. Jinora berbalik badan, ia menatap ketulusan Anita yang datang hanya untuk membuat dirinya bisa keluar dari belenggu itu. Jinora akhirnya merespon Anita dengan duduk di sampingnya. Merasa bahwa sahabatnya merespon, Anita tersenyum lalu mengusap air mata yang masih membasahi wajah cantik wanita itu. "Aku kembali, tapi besok ya? Jangan sekarang, aku malu kalau wajahku masih terlihat kacau," ujar Jinora. "Iya ... aku bawa nasi padang kesukaan kamu tuh di bawah, mau makan bareng gak?" Jinora mengangguk, akhirnya mereka turun dari lantai dua menuju ruang makan. Di sana Giselle sudah menyiapkan tiga piring berisi masakan padang yang dibawa oleh Anita. Mereka duduk bersama di satu meja makan, lalu menikmati hidangan yang ada di atas meja hingga habis tak tersisa. "Tante, maaf ya?" ucap Jinora. "Iya, sayang. Jangan sedih lagi ya?" "Iya." *** Hari ini Jinora kembali bekerja, meski wajahnya masih sedikit sembab. Ia datang dengan tersenyum pada setiap orang yang merasakan kesedihannya. Mereka juga tidak menyangka jika pasangan yang biasa terlihat serasi itu, kini harus berpisah. Jinora terlihat sedang memeriksa beberapa satwa di klinik, ia di bantu dengan Anita di sana. Kali ini mereka tengah memeriksa burung kakak tua Maluku, sayap burung itu terluka karena saat terbang menabrak ranting pohon. Sedikit informasi tentang burung ini. Kakatua maluku atau dalam nama ilmiahnya Cacatua moluccensis adalah burung berukuran sedang, dengan panjang sekitar 52cm, dari genus Cacatua. Burung ini mempunyai bulu putih bercampur warna merah-jambu. Di kepalanya terdapat jambul besar berwarna merah-jambu yang dapat ditegakkan. Bulu-bulu terbang dan ekornya berwarna jingga kekuningan. Burung betina serupa, dan biasanya berukuran lebih besar dari burung jantan. Endemik Indonesia, daerah sebaran kakatua maluku adalah di Maluku Selatan. Spesies ini hanya terdapat di hutan primer dan sekunder Pulau Seram, Ambon, Pulau Haruku dan Saparua. Sejumlah populasi kakatua Maluku dilindungi di Taman Nasional Manusela, yang merupakan salah satu tempat terakhir untuk menemukan burung ini di habitat liar. Pakan kakatua Maluku terdiri dari biji-bijian, kacang dan aneka buah-buahan. Dan di Taman Safari hanya ada beberapa spesies ini. Setelah memastikan kondisi burung itu, Anita memasukkannya ke dalam sangkar khusus untuk pasien jenis burung yang terluka. Selesai dengan tugasnya, tiba-tiba saja John masuk ke dlaam klinik membawa bayi jerapah yang terluka pada bagian kaki kanan karena terperosok saat berlari. "Tolong anak jerapah ini, dia tadi terperosok lalu entah patah atau hanya terkilir, jalannya menjadi pincang dan terlihat seperti kesakitan," jelas John. "Anita, bantu jerapah itu. Aku mau ke kamar mandi sebentar," ujar Jinora. Wanita itu melepaskan jas putihnya ,lalu keluar dari klinik menuju kamar mandi. John menatap Jinora dengan tatapan tidak suka. Lalu ia kembali fokus pada Anita yang kini sedang menangani anak jerapah itu. "Kakinya hanya terkilir, dalam beberapa waktu jalannya akan pincang, tetapi selama tidak terluka lagi, dia akan baik-baik saja," jelas Anita. "Baiklah. Titip pesan untuk kepala klinik itu. Seharusnya ia tidak memilih pasien untuk di periksa," celetuk John. Pria itu membawa anak jerapah kembali ke kandangnya. Sementara Anita menahan emosi untuk tidak berseteru dengan John. Setelah beberapa saat kepergian John. Akhirnya Jinora kembali ke klinik ,dan duduk mengerjakan laporan. "Maaf ya, gimana tadi?" tanya Jinora saat melihat Anita duduk di hadapannya. "Gak apa-apa kok, cuma terkilir aja," jelas Anita sembari tersenyum. "Makan siang bareng yuk, aku mau makan di Macdi." "Oke, ajak Kiki ya?"  "Boleh." Kiki adalah pegawai Taman Safari yang berada di posisi kebersihan. Kiki memiliki tugas untuk membersihkan kandang setiap harinya. Tentu tidak semua kandang harus ia sendiri yang membersihkan, tetapi Kiki adalah kepala kebersihan di sana.  Setelah memastikan jika Kiki juga ikut bergabung dengan mereka untuk makan siang. Ketiga orang itu berangkat menggunakan mobil milik Jinora.  "Enak gak sih jadi dokter itu?" tanya Kiki. "Hmm ... semua profesi pasti memiliki plus dan minus, tergantung bagaimana kita menyikapi hal itu," jelas Jinora. "Aku dulu sempat mau jadi dokter, tetapi karena biaya yang serba kurang, akhirnya aku cuma jadi seperti ini," jelas Kiki. "Kalau mau belajar tentang beberapa ilmu kedokteran hewan. Kiki bisa tanya-tanya ke anita kalau pas ada waktu luang," ujar Jinora. "Beneran?" "Iya, Kiki. Beneran," jawab Anita mengulang. Kiki tersenyum bahagia mendengar ucapan kedua orang di hadapannya itu. Setelah menghabiskan makanannya, mereka kembali lagi ke Taman Safari untuk melanjutkan pekerjaan masing-masing. Jinora terlihat sedang duduk di meja kerjanya, ia sedang memikirkan sesuatu saat ini. Entah apa itu, tetapi Anita yang melihat Jinora ikut merasa sedih. "Nora," panggil Anita. "Eh, iya ... ada apa?" tanya Jinora. "Gak apa-apa, manggil aja. Habisnya kamu serius banget liatin laporan bulanan," goda Anita. Jinora tersenyum mendengar ucapan sahabatnya itu. Ia melemaskan badannya untuk beberapa saat, lalu kembali melihat berkas di hadapannya. "An, aku mau kembali ke Bandung," celetuk Anita. "Hah! Kenapa gitu sih!" "Aku udah memikirkannya sejak beberapa hari lalu. Aku gak akan bisa kalau seperti ini terus menerus, apa lagi kita satu tempat kerja dan pasti akan sering ketemu," ujar Jinora. Anita mengatur napasnya, sebelum ia semakin emosi dengan ucapan Jinora. Lalu, Anita mulai berkata, "apapun keputusan yang akan kamu ambil, aku harap kamu bisa hidup lebih baik lagi dari hari ini dan kemarin," ujar Anita. "Terima kasih."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN