Jinora 8

1213 Kata
Sudah satu minggu Jinora berada di Bandung. Ia sangat nyaman saat berada di rumah orang tuanya, karena udara yang sejuk juga pemandangan indah setiap harinya. Pagi ini, Jinora sedang berkeliling menggunakan sepeda, ia mengayuh sepeda hingga sampai di pasar. Di sana ada banyak sekali jajanan yang disukai Jinora. Wanita itu selalu membeli sendiri tanpa menyuruh Bik Ijah. "Neng, batagor heula!" "Batagor sepuluh ribu ya ,Bang," ujar Jinora. Wanita itu sedang membeli batagor ,mengantri bersama beberapa anak kecil yang juga ingin didahulukan. "Ini ,Neng," ujar penjual batagor sembari memberikan bungkusannya. "Nuhun atuh ,Bang." Jinora kembali mengayuh sepedanya, kali ini ia berhenti pada penjual cilok dan cireng. Setelah itu, ia memutar haluan untuk kembali ke rumahnya, dan menikmati jajanan yang sudah ia beli baru saja. "Neng, ngeborong apa ngerampok itu tadi, masya Allah," seru Bik Ijah saat melihat banyaknya makanan yang dibawa Jinora. "Ngerampok, Bik. Di pasar barusan rame banget," ujar Jinora. "Habis itu nanti?" tanya Bik Ijah memastikan. "Habis ,dong! Kan Nora lagi laper pake banget," ujar Jinora. "Yasalam ...." Jinora terkekeh mendengar ucapan Bik Ijah, ia kini sibuk membuka satu persatu bungkusan makanan yang didapat dari pasar.  Setelah selesai, Jinora menyantap satu persatu jajanan itu hingga habis tak tersisa. Sembari melihat sosial media di ponsel miliknya, Jinora menyuapkan batagor ke dalam mulutnya sedikit demi sedikit.  "Huwa ... pedes ... Bik, minum dong!" Bik Ijah dengan cepat memberikan segelas air pada Jinora. "Pelan-pelan atu ,Non." "Iya, Bik." Wajah Jinora memerah karena makanan itu terlalu pedas untuknya. Jinora memiliki penyakit magg dan asam lambungnya mudah sekali naik. Sehingga jika Jinora memakan sesuatu yang terlalu pedas atau asam, ia akan merasakan nyeri pada perutnya. Seperti saat ini, Jinora berlari ke kamar untuk mengambil obatnya. "Non, mau ke dokter?" tawar Bik Ijah. Jinora menggelengkan kepalanya dengan keras, lalu ia meminum obat itu dengan perlahan. Setelah itu, Jinora memilih berbaring di atas ranjangnya. Sedangkan Bik Ijah kembali ke dapur untuk membereskan sisa makanan Jinora. "Dasar si Neng Nora, udah tau punya sakit magg, masih aja jajan beginian," gerutu Bik Ijah. "Naon ngacapruk wae?" celetuk Mang Ujang. "Itu si Neng Nora, Kagak bisa makan pedes, eh ... masih aja makan, sakit perut sekarang," ujar Bik Ijah. "Kenapa gak dibawa ke rumah sakit atuh ,bik?" "Kagak mau, Mang. Sok! Mang Ujang ajakin neng Nora gih," ujar Bik Ijah. Mang Ujang berjalan menuju kamar Jinora. Perlahan ia membuka pintu kamar Jinora, dan melihat wanita itu sedang meringkuk menahan sakit. "Neng, ke rumah sakit sekarang hayuk!" ajak Mang Ujang. "Mang, sakit," rintih Jinora. Mang Ujang mendekati Jinora, wajah Jinora sudah memucat dan mengeluarkan keringat dingin. Mang Ujang meraih tubuh Jinora dan memapahnya hingga depan rumah. "Bik! Ke sini sebentar, bantu Neng Nora dulu!" teriak Mang Ujang. Bik Ijah yang mendengar suara Mang Ujang segera berlari menghampirinya. Bik Ijah menggantikan Mang Ujang untuk menopang tubuh Jinora. Tak lama kemudian, Mang Ujang sudah siap dengan mobil Pajero Sport di halaman depan. "Mari ,Neng. Pelan-pelan aja ," ujar Bik Ijah sembari membantu Jinora untuk masuk ke dalam mobil. Mang Ujang melajukan mobil itu menuju rumah sakit terdekat.  Setelah sampai, Mang Ujang meminta bantuan perawat untuk membantunya menurunkan Jinora dari mobil. Mereka segera membawa Jinora menuju UGD untuk diperiksa.  Mang Ujang menunggu Jinora di depan ruang UGD. Pria itu tidak begitu mengerti tentang bahasa kedokteran maupun penyakit yang sedang di derita Jinora. Ia hanya menyampaikan pada perawat di sana, jika Jinora merasa sakit perut saat memakan makanan pedas. "Punya magg akut kok masih bandel makan yang pedes-pedes sih, Neng!" celoteh dokter. "Enak sih, dok. Hehehe," jawab Jinora dengan terkekeh. "Kamu kapan dateng?" tanya dokter itu. "Baru satu mingguan," jawab Jinora. "Main ke rumah atuh, Ra! Udah lama gak ketemu juga," ujar dokter itu. "Kamunya sibuk di rumah sakit terus, gimana mau main," celetuk Jinora. "Hahaha, kalau kamu gak sakit begini, kita juga gak akan ketemu kali ,Ra." "Hehe, iya. Udah nikah belum?" tanya Jinora. "Belum ,Ra. Kali aja kamu mau jadi calonnya, hahaha." Jinora terdiam saat temannya itu mengucapkan kalimat terakhirnya. Ia merasa seperti de javu saat ini. "Ra, maaf kalo aku salah bicara," ujar dokter itu menyesal. "Gak apa-apa kok, aku aja yang lagi sensitif," ujar Jinora. Dokter yang memeriksa Jinora adalah teman masa kuliah dulu. Dokter itu bernama Trisakti Hermawan, pria dengan tinggi 175 cm, berkulit kuning langsat, dan terlihat tampan bagi kaum hawa. Pria itu biasa di panggil dengan nama Tri oleh Jinora, karena Trisakti terlalu panjang menurutnya. "Di anterin Mang Ujang?" tanya Tri. "Iya, ini aku udah bisa pulang kan?" tanya Jinora. "Iya, obatnya jangan lupa diminum. Jangan makan pedes dulu!" ujar Tri. "Hehehe, lagi pengen tadi itu. Kamu masih inget aja kalo aku gak bisa makan pedes." "Kan kamu masuk ke dalam daftar pasien yang istimewa ,Ra." "Bisa aja ih." Perlahan Jinora turun dari atas tempat tidur, lalu ia melangkah untuk keluar menghampiri Mang Ujang. Tri membantu Jinora karena kondisinya masih sedikit lemas. "Mang, hayuk pulang," ujar Jinora. "Neng, udah selesai? Udah gak sakit lagi?" tanya Mang Ujang memastikan. "Masih sedikit sakit, Mang. Tri udah kasih obat tadi, sekarang ke apotek dulu ambil obat ya?" Mang Ujang mengangguk mengerti, ia membantu Jinora untuk duduk dan menunggu antrian obatnya. Sementara Tri memilih untuk melanjutkan pekerjaannya, karena hari ini ia harus menjadi dokter jaga di UGD. Setelah selesai mengantri obat, Jinora dan Mang Ujang segera kembali ke rumah. Jinora tidak ingin membuat Bik Ijah semakin khawatir karena terlalu lama menunggu.  "Mang, beliin bubur ayam ya nanti!" "Baik, Non." "Ih ... Mang Ujang labil, panggilnya Neng apa Non?" goda Jinora. "Suka-suka mulut Mamang aja deh," jawab Mang Ujar yang akhirnya membuat keduanya tertawa. Mobil berwarna hitam itu memasuki halaman depan rumah, lalu Bik Ijah yang melihat ,segera membuka pintu mobil dan membantu Jinora untuk turun dari sana. "Nora bisa sendiri ,Bik." "Udah gapapa, Bibik emang mau bantu." Jinora tersenyum. Masih banyak orang-orang yang menyayangi dirinya, meski salah satunya kini sudah tidak lagi peduli padanya. Bik Ijah mengantarkan Jinora hingga sampai di dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuh wanita itu di atas ranjang, lalu menutup setengah bagian tubuh itu dengan selimut tebal. Bik Ijah menatap Jinora, di dalam pikirannya saat ini seakan ia sedang merawat anaknya sendiri. "Mau makan apa, Neng?" tanya Bik Ijah. "Tadi Nora udah minta Mang Ujang buat beli bubur ayam, Bik Ijah gak perlu repot masak dulu ya?" "Ya udah, kalau begitu Bik Ijah ke belakang dulu, mau bersihin halaman belakang," ujar Bik Ijah. "Oke." Setelah kepergian Bik Ijah, Jinora meraih ponsel miliknya yang berada di atas nakas. Ia melihat ada pesan masuk dari Tante Giselle. Dengan cepat ia menekan tombol untuk membuka pesan itu. 'Lagi apa ,sayang?' Jinora tersenyum membaca pesan itu. Tidak ingin membuat Giselle khawatir, Jinora hanya menjawab dengan seadanya. 'Di kamar, rebahan. Nora lagi hibernasi,Tan.' 'Dasar kamu itu ya! Gak mau cari kerja di sana?' 'Gak dulu ,Tan. Nora mau liburan bentar, kerja mah gampang.' 'Hmm, ya udah.' Read. Jinora beralih melihat pesan lainnya, kini pesan dari Anita yang mengirimkan foto dirinya bersama beberapa satwa yang ada di Taman Safari. 'Simon lagi sakit, kangen kamu.' 'Duh lucunya anak mamih. Udah ada pengganti aku kan?' 'Iya, tapi galak banget, Ra.' 'Yang sabar ya?' 'Always.' Read. Jinora kembali memikirkan satwa-satwa yang ia tinggal. Beberapa satwa memang sudah terbiasa dengan Jinora, sehingga membuat beberapa satwa itu selalu jahat pada orang baru.  "Andai hidup aku gak sesial ini, pasti aku lagi main sama kalian," gumam Jinora. Ceklek ... Mang Ujang datang dengan membawa semangkuk bubur ayam yang ia beli di pasar. "Makan dulu atuh, Neng," ujar Mang Ujang. "Iya ,Mang." Mang Ujang meletakkan nampan itu di atas pangkuan Jinora. Lalu dengan lahap Jinora memakannya hingga tak tersisa. Melihat Jinora yang makan dengan berantakan, membuat Mang Ujang terkekeh.  "Kenapa ,Mang?" tanya Jinora yang terheran melihat Mang Ujang. "Non udah gede, tapi kalo makan masih aja belepotan begitu," ujar Mang Ujang. Jinora segera membersihkan mulutnya, lalu meminum segelas air yang ada di atas nakas. Setelah selesai, Mang Ujang membawa kembali nampan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN