Siang ini aku ke kafe Ama-G. Rasanya tidak sabar untuk bercerita ke Agni tentang calon suamiku itu. Rok panjang selutut berwarna biru tua dipadukan dengan cardigan berwarna senada membalut tubuhku yang kaku. Aku tahu jika aku bertemu dengan Gladys, dia akan mengejek penampilanku karena tidak memakai barang-barang bermerk. Apalagi dengan bentuk tubuhku yang kaku, dia pasti akan tertawa melihatnya. Tapi, toh, aku tidak akan memedulikan segala ucapan nenek sihir itu. Aku hanya ingin berpenampilan apa adanya dengan menunjukkan diriku yang memang inferior.
Meskipun Rengga memutuskan aku dan memilih wanita lain yang lebih cantik dariku, akan tetapi tidak bisa dipungkiri, hati ini masih merasa kehilangan. Perasaan wanita memang sensitif. Berusaha move on dan membangkitkan hati kembali. Aku ini akan menikah kenapa malah memikirkan pria lain?
“Masih punya muka setelah aku pecat?” Secara tiba-tiba suara Gladys membuyarkan pikiranku. Aku terkesiap. Agni masih sibuk mondar-mandir melayani pesanan.
“Aku ke sini untuk membeli bukan meminta. Harusnya kamu bisa bersikap baik pada semua pengunjung kafe tak terkecuali aku yang pernah bekerja di sini dan dipecat dengan tidak hormat.” kataku diiringi senyum jail.
“Hahaha, kamu mau pesan apa?” Gladys menarik kursi dan duduk di depanku.
“Kopi saja.”
“Aku sudah bisa menebaknya. Kamu ini hanya mau membeli minum saja, kan. Uangnya tidak cukup ya?” Dia menyeringai puas.
“Bukan, aku sudah makan dan niatku ke sini hanya mau cerita saja sama Agni.” Aku menebar pandangan. “Tentang pernikahanku.” lanjutku setengah berbisik dan hati-hati, seolah berita tentang pernikahanku adalah berita termutakhir yang perlu dirahasiakan di abad ini.
Gladys tersenyum merekah. Namun, aku masih bisa menangkap raut getir dari senyum rekahnya itu. “Wow! Berita menarik. Ngomong-ngomong siapa calonmu itu? Pasti dia seorang yang—emmm, biar kutebak, mungkin dia keturunan... Vampir?” tawanya meledak sejadi-jadinya seakan itu lelucon yang paling lucu di dunia.
Setelah tawanya mereda, Gladys berteriak, “Hei!” Gladys menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajahku. Aku terkesiap.
“Kamu kenapa? Apa kamu lagi memikirkan kata-kataku, ya?”
“Gladys. Dengarkan aku, aku merasa sedih jika mengingat suku-suku pedalaman yang akan punah. Aku hanya memikirkan bagaimana mereka bisa bertahan hidup kalau tempat tinggal mereka terus digerus oleh napsu keserakahan pengusaha yang selalu ingin menambah keuntungan.” ujarku kesal dengan nada ditekan-tekan pada kata-kata tertentu. Aku tidak tahu jawaban apa macam ini. Sangat tidak nyambung. Tapi, hanya dengan cara itulah Gladys terbengong.
Gladys menatapku heran sekaligus bingung. Matanya seolah menyiratkan, “makan apa dia tadi pagi?”
***
Aku memutuskan untuk ke rumah kontrakan Agni. Di kafe Ama-G sangat ramai. Gladys tidak memperbolehkan Agni untuk istirahat. Tidak adil bagi karyawan lemah seperti Agni. Memang lebih baik aku menunggu Agni di rumah daripada berlama-lama bertemu dan berbincang-bincang dengan nenek sihir itu.
Hal yang aku sesalkan adalah kenapa nasibku dan nasib Gladys berbeda 360% ? kami bersekolah di sekolah yang sama. Di kelas yang sama. Ya, Walaupun aku tahu dia anak yang cerdas. Lulus kuliah pun dia tidak bekerja malah membuka usaha dan membuka lapangan kerja untuk temannya; Agni, misalnya. Juga aku yang bekerja sehari langsung dipecat.
Di rumah kontrakan yang sempit ini, aku mengempaskan tubuhku di kursi reot yang terbuat dari rotan. Menaikkan kakiku ke atas meja. Sekelebat bayangan hadir di benakku. Vino. Sekilas menurutku dia mirip Rio Haryanto. Pembalap dari Indonesia. Memiliki mata sipit dan kulit putih. Apa dia tidak terlalu sempurna untuk menjadi suamiku? Aku kan sadar diri. Apa yang aku banggakan dari fisikku yang standar. Tidak ada yang menonjol meski aku sudah mencoba memanjangkan rambut hitamku sampai ke pinggang agar terlihat cantik. Wanita cantik identik dengan rambut panjang dan kulit putih. Sayang, untuk mendapatkan kulit putih susahnya minta ampun. Aku pernah memakai sabun yang mengandung whitening dan dijamin bisa memutihkan. Tapi, bukan putih yang aku dapatkan setelah memakai sabun itu, tapi gatal-gatal disekujur tubuh yang aku rasakan. Sial!
“Agni masih lama tidak ya?” gumamku setelah sekian lama menunggu Agni yang tak kunjung datang.
Kruyuuukk...
Perutku berbunyi. Aku harus cepat mengisinya sebelum maagku kambuh. Aku merogoh tas untuk mengambil ponsel yang bergetar. Sepertinya ada yang menelpon. “Nomor siapa ya?” gumamku. Masih dengan rasa lapar aku mengangkat telepon dengan malas.
“Halo,” suara laki-laki di seberang sana. Jangan-jangan ini Rengga, tebakku. Siapa lagi yang menelponku kalau bukan dia. Aku tidak memiliki gebetan ataupun teman dekat laki-laki atau apalah semacamnya.
“Ada apa lagi sih? Sudahlah, jangan ganggu aku lagi Rengga. Aku sudah berusaha melupakanmu. Aku tidak mau berurusan denganmu lagi. Jangan harap setelah kamu menelponku dan meminta balikan lalu aku mau begitu saja balikan sama kamu. Aku akui wanita itu lebih cantik dari aku, tapi aku masih punya harga diri setelah kamu memutuskan hubungan kita, mengerti?!” Aku berbicara seakan tanpa jeda dan nada lumayan tinggi. Aku yakin kalau laki-laki yang menelponku ini adalah Rengga.
Hening.
“Halo? Apa kamu sudah mati?” Seruku masih terbakar emosi.
“Ekhheemm,” terdengar suara dehaman di sana.
“Ma’af, sepertinya kamu salah orang. Ini Vino bukan Rengga. Ini Gita Andriana, kan?” suara itu terdengar santai.
“Apa?!” Dadaku terasa sesak dan napasku mulai tidak beraturan. Aku benar-benar ceroboh. Kenapa tidak bertanya dulu sebelum meluapkan emosi?! Vino...
“Ah, ya, ini Gita.” Mendadak aku merasa canggung, kaku dan malu bercampur aduk menjadi satu.
“Mamah minta aku jemput kamu. Kamu sekarang lagi di mana?” suaranya terdengar tenang. Entah apa yang dipikirkan Vino setelah mendengar luapan emosiku itu.
“Ma-af, aku kira siapa—” kataku terbata karena merasa kikuk.
Aku mendengar dia menahan tawa.
“Iya, tidak apa. Kamu sekarang di mana?” Mataku berputar, seolah memikirkan alamat rumah kontrakan Agni. Ah, lebih baik ketemuan saja.
“Aku di kafe Ama-G.” Entah kenapa aku malah menyebutkan nama kafe sialan itu sih?! Sepertinya otakku mulai lambat berpikir.
“Oke, 30 menit lagi aku akan sampai.” Tanpa mendengar balasanku, Vino langsung memutuskan sambungan teleponnya.
***
Aku menunggu Vino di parkiran mobil sambil mengunyah permen karet yang sudah hambar. Nyaliku lenyap tertelan rasa malu kalau sampai aku bertemu dengan Gladys lagi. Bahkan aku memakai masker agar wajahku tidak terlihat oleh Gladys. Mobil berwarna putih berhenti tepat di parkiran yang kosong. Aku ingat mobil Vino berwarna putih karena tadi malam dia mengantarkan aku dan Mam pulang dengan mobil warna putih. Aku membuang permen karet yang sudah pahit ke tong sampah.
Vino turun dari mobilnya, terkejut melihatku berada di tempat parkir. Aku melepaskan maskerku. “Seharusnya kamu tidak perlu turun.” Aku membuka pintu mobil dan meluncur masuk tanpa memedulikan tatapan heran sekaligus bingung dari Vino. Setelah bergeming beberapa saat Vino menyusulku duduk di depan kemudi.
“Kenapa masuk?” tanyanya.
“Bukannya kamu bilang, Mamah menyuruhmu menjemputku. Ayo kita berangkat.” kataku seenaknya. Masih dengan wajah bingung, Vino menyalakan mesin mobilnya.
***