BAB 4

1613 Kata
            Di perjalanan sesekali dia menatapku heran sekaligus bingung. Tatapannya seolah bertanya, ‘ternyata calon istriku orang aneh ya’.             “Kita mau ke rumah kamu, kan?” Dia menatapku sekilas lalu kembali menatap ke arah jalan.             “Ya. Mamah bilang, ada banyak hal yang ingin ditanyakan.” jawabnya santai.             “Tentang apa?” Aku bertanya, penasaran. Jangan-jangan Vino cerita masalah di kafe Ama-G itu.             “Mana aku tahu. Kamu tidak pakai baju kerja?” Aku terdiam             “Aku dipecat.” Kataku akhirnya, kemudian aku menunduk malu.             “Dipecat? Kenapa?”             “Sejak kecil aku punya masalah dengan emosi yang tidak bisa dikontrol. Aku bisa cepat marah dan meledak-ledak.”             Aku menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapanku. Sebenarnya, aku ini dipecat karena kamu. Coba kalau kamu tidak menabrakku saat itu. Aku tidak akan kena masalah. Kataku mengeluarkan unek-unek dalam hati.             “Aku tidak salah, ya. Walaupun aku yang menabrakmu, tapi aku bertanggung jawab menggantikan cangkir-cangkir yang pecah itu.” jawabnya santai tanpa beban.             “Hahaha.” Aku tertawa hambar.             “Ada yang lucu?” tanyanya.             “Oke, kalau menurutmu aku yang salah, aku minta ma’af.” lanjutnya santai dan tenang.             Kruyuuuk...                                            Perutku kembali berbunyi dan bunyinya membuatku malu. Terdengar cukup keras, dan Vino melihatku dengan tatapan ‘hah’.             “Aku lapar.” Aku menatap Vino dengan tatapan menyedihkan. Berharap dia membawaku ke sebuah warteg, kafe, restoran atau yang sejenis dengan itu. Intinya tempat makan. Aku benar-benar lapar.             “Bukannya kamu dari kafe Ama-G?”             “Iya, tapi aku belum makan.” ***             Aku bersendawa setelah menghabiskan dua porsi Beef Steak. Menyeruput Lemon Tea dan secara tidak sengaja aku menatap Vino yang memandangku dengan kepalan tangannya di depan mulut.             “Kenapa?”             “Kamu ini kalau makan banyak, ya? Aku hanya berpikir kalau nanti kamu jadi istriku, persediaan makanan di rumah harus selalu penuh.”             “Ih, siapa juga yang mau jadi istrimu? Dijodohkan belum tentu pernikahan itu akan ada.” Pede banget dia! Meskipun tampan tapi aku tidak semudah itu jatuh cinta kepada orang yang baru kemarin aku kenal.             “Dengar ya, Mamahku itu baru keluar dari Rumah Sakit. Dia itu punya riwayat lemah jantung. Kalau sampai aku tidak menikah denganmu, aku akan...” Vino membuat gerakan memotong lehernya sendiri.             “Peduli apa?” kataku menantang.             “Kalau posisimu itu ditukar denganku, kamu pasti akan merengek dan memohon kepadaku untuk menikah denganmu. Walaupun aku juga ingin menolak perjodohan ini, tapi, aku memikirkan Mamah. Aku tidak mau kehilangan Mamah hanya karena lebih berpihak ke ke keegoisanku saja.”             Aku diam. Bukan berarti aku merasa iba padanya karena sebenarnya aku ini korban dan sudah semestinya aku yang dikasihani. Aku mencoba mencerna perkataannya yang membuatku sedikit bingung untuk memahaminya.             Suasana di restoran mendadak sunyi.             “Apa kamu sudah cerita pekerjaanku pada Mamahmu?” tanyaku memecah kesunyian.             “Tidak. Bagaimana aku cerita kalau kamu sendiri mengaku seorang sarjana. Apa yang akan Mamah pikirkan nanti ketika aku bilang kamu bekerja sebagai pelayan di kafe. Aku tidak akan membiarkan Mamah sakit karena kebohonganmu itu?             “Kebohongan?” Aku terkejut mendengar kata ‘kebohonganmu itu?’ dari hidungku keluar asap panas, efek samping dari emosi.             “Kebohongan apa? Aku tidak berbohong!” Vino terlihat terkejut saat mendengar volume suaraku yang meninggi. Wajahnya seketika mendadak panik saat memandang ke sekeliling, puluhan pasang mata memperhatikan kami.             “Aku sudah bilang, kan, emosiku itu suka tidak terkontrol dan suka lupa diri.” Bisikku.             “Kamu lagi PMS?”             “Tidak.”             “Tidak sedang PMS saja emosinya suka meledak-ledak. Apalagi kalau lagi PMS, ya?” sindirnya seraya tersenyum angkuh.             “Terserahlah mau bilang apa. Yang jelas, aku ini bukan pembohong. Aku ini memang seorang sarjana. Apa perlu aku bawa ijazah ke hadapanmu atau kita datang kampusku agar kamu percaya.” kataku menantangnya, lalu menyesap Lemon Tea.             “Kalau kamu sarjana, kenapa bisa kerja sebagai pelayan kafe?” katanya lagi, seolah tidak mempercayai aku. Ya, aku tahu wajahku ini tidak layak untuk dipercayai.             “Tuntutan kehidupan. Aku ditolak puluhan perusahaan. Menganggur selama nyaris dua tahun dalam persaan cemas karena belum mendapatkan pekerjaan. Aku pikir meskipun aku sarjana bekerja di kafe tidak masalah. Yang penting halal, kan?”             “Itu memang tidak masalah untukmu. Tapi, masalah untukku. Kalau Mamah tahu tentang pekerjaanmu itu lalu dia kembali sakit, apa kamu bisa menyembuhkannya?”             “Kenapa mamahmu selalu mengkhawatirkan aku sih! Kami, kan, baru bertemu tadi malam. Jangan berlebihan, aku ini belum resmi menyandang status sebagai menantunya.” kataku kesal.             “Berlebihan bagaimana? Kamu tidak mengerti, ya? Kamu ini calon istriku. Aku ini pemilik perusahaan raksasa Movie Billionaire yang sering disorot wartawan.” Vino terlihat mulai kesal.             “Lalu?” tanyaku memicingkan sebelah mata.             Hening kembali. Vino tampak enggan menanggapi pertanyaanku.             “Eh, aku minta ma’af ya, waktu ditelepon itu.” kataku kemudian, setelah perbincangan ditelepon menyelinap masuk di otakku.             “Aku sudah memakluminya. Gadis sepertimu, kan, selalu banyak masalah yang—”             “Banyak masalah?!” Aku menyela kalimatnya yang belum selesai. Melihat mataku memelotot, Vino tampak kembali panik. Apa dia tidak sadar sudah membuat mataku memelotot begitu?             “Sudahlah, ayo kita ke rumah. Mamah pasti sudah menunggu.” sergahnya mengabaikan ucapanku. ***             Calon mertuaku membenarkan letak kacamatanya. Di sebelah kiri ada aku dan sebelah kanannya ada Vino. Seperti sebuah rapat resmi, dia membawa sebuah buku. Wajahnya terlihat seperti es yang di papar sinar matahari.             “Kalau Papah kemana, Mah?” tanyaku basa-basi.             “Dia sedang  berkebun di taman belakang.”             “Berkebun?” Mataku berbinar mendengar kata ‘berkebun’. Pap juga sewaktu kecil selalu mengajakku untuk berkebun. Kalau Pap suka berkebun di sembarang tempat. Bahkan pekarangan tetangga pun dijadikan tempat untuk menanam berbagai sayur. Alhasil, bukan untung yang didapat ketika tanaman itu berbuah, tetangga memonopoli semua sayur-sayuran itu.             “Jawablah pertanyaan Mamah dengan jujur.” Pinta calon mertuaku itu. Aku mengeluarkan suara, “hah” rendah. Apa-apaan ini? Aku akan diinterogasi? Memangnya aku punya salah apa? Calon mertua membuka  buku yang dipegangnya.             “Jangan berpikir macam-macam, Mamah hanya ingin kalian saling mengenal lebih dalam. Khususnya Vino.” Calon mertuaku memalingkan wajahnya, menatap Vino. Arah pandanganku mengikuti calon mertuaku. Menatap Vino.             “Apa Vino termasuk kriteria pria idamanmu?” Aku tersentak mendengar pertanyaannya. Mamah Vino bertanya, ‘apa Vino termasuk kriteria pria idamanku?’ Sesaat aku bingung lalu aku menatap Vino. Vino mengangguk cepat. Melalui anggukan kepalanya, dia menyuruhku untuk berkata ‘iya’.             “Iya, Mah.” Jawabku dengan raut bingung sekaligus enggan. Vino mau banget ya, dianggap pria idaman olehku?             “Bagus.” sahut calon mertuaku senang.                                              “Kamu bisa masak?”             Kali ini Vino tidak mengangguk. Dia hanya diam menatapku. Aku meminta jawaban lewat tatapan mata kepada Vino. Tapi dia diam saja.             “Mungkin untuk saat ini aku belum terlalu ahli dalam memasak. Tapi, nanti setelah menjadi istri Vino aku akan mencoba belajar memasak.” Entah kenapa aku merasa menyesali jawabanku itu. Jawabanku seakan-akan aku menyukai Vino dan menyetujui perjodohan ini.             “Bagus.” Dia mengatakan kata ‘bagus’ untuk kedua kalinya. Bagus apanya?             “Apa makanan kesukaanmu?” Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan calon mertuaku itu seperti pertanyaan yang ditujukan kepada rakyat biasa untuk dijadikan permaisuri raja.             “Aku suka dadar gulung warna ping, kue moci, jamur krispi dan—” sebelum aku melanjutkan kalimatku, aku melirik Vino. Dia menatapku dengan terkejut dan wajah penuh dengan kepanikan lalu mengibaskan sebelah tangannya sekilas.             “Maksudku, aku suka rendang. Ya, rendang. Mamah tahu kan kalau rendang itu dinobatkan sebagai hidangan peringkat satu dalam daftar World’s 50 Delicious Foods tahun 2011.” kataku mencoba memperbaiki jawaban.             Gita, dadar gulung warna ping, kue moci, jamur krispi itu kan jajanan anak kecil. Aku menggerutuki diriku sendiri. Apa yang terjadi dengan otakku, sih?             “Pengetahuanmu bagus juga.” Calon mertuaku tersenyum bangga. Aku mengembuskan napas lega. Berhadapan dengan calon mertuaku kenapa gugup seperti ini? Dia itu, kan, calon mertua bukan HRD suatu perusahaan, kan? ***             “Apa?!” Mata Agni mencilak begitu lebar ketika aku selesai berbicara.             “Dia salah satu pelanggan Di Kafe Ama-G dan asal kamu tahu, setahuku, Gladys menyukai calon suamimu itu.” Cerita Agni dengan mata berapi-api penuh was-was.             Wah, hebat! Ini saatnya aku balas dendam pada Gladys. Aku punya rencana yang membuat Gladys terkejut. Dia pasti akan patah hati. “Xixixi...” Aku cekikikan sendiri membayangkan Gladys yang patah hati.             “Kamu kenapa, Git?” Agni menatapku heran.             “Tidak apa-apa. Apa Gladys benar-benar menyukai Vino?” tanyaku dengan rasa penasaran setinggi tower.             “Sepertinya begitu. Setiap kali Vino datang ke kafe, Gladys akan memberikan diskon sampai 30%. Dan setiap struk untuk Vino, Gladys selalu mencatat nomor ponselnya. Tapi, sepertinya, Vino tidak tertarik dengan Gladys. Lelaki seperti Vino tidak akan tertarik dengan wanita seperti Gladys, kan?”             “Kalau si Vino tertarik sama kamu, itu lebih aneh lagi.”  Lanjut Agni dengan tatapan tak percaya. Aku menggelengkan kepala. Aku tahu bayangan Agni tentang Vino yang tertarik padaku adalah sebuah keabsurdan.             “Ya ampun, jangan asal ngomong. Kalau wanita cantik seperti Gladys saja dia tidak tertarik apalagi wanita semacam aku.” Jawabku asal.             Aku tersenyum senang. Agni yang melihat senyum mengembang di bibirku, menatapku dengan tatapan heran.             “Kenapa sih?” tanyanya dengan ekspresi heran sekaligus penasaran. “Kamu suka Vino, ya?” Godanya, menerka-nerka.             “Aku akan membuat Gladys patah hati dengan mengundangnya di acara pernikahanku nanti. Oh ya, satu lagi aku tidak menyukai Vino, begitu juga sebaliknya.”             “Kamu harusnya bersyukur dapat jodoh pria setampan Vino. Dari pada Rengga, Vino jauh lebih tampan dan lebih berkelas.” Katanya dengan mata berbinar. Aku yang akan menikah kenapa Agni yang terlihat semringah sih?             “Nah, itu dia, Vino terlalu sempurna untuk aku yang biasa. Aku hanya butuh orang yang sepadan denganku, Ni.” terdengar melankolik.             “Sekarang buatkan aku teh, bagaimanapun juga aku ini tamu.” Kataku dengan nada memerintah.             “Baiklah. Tapi, itu apa?” tanya Agni memandang rantang yang aku bawa dari rumah.             “Ini rantang.”             “Aku tahu. Maksudku isinya apa?”             “Oh, isinya rendang. Calon mertuaku itu ingin mencicipi masakanku. Dia menyuruhku memasak rendang gara-gara aku bilang suka dengan makanan ini.”             “Memangnya kamu bisa masak?”             “....”                                                                                                 *** Jangan lupa tap love ya ^^ Wattpad @finisah IG @finisah Thank You :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN