1. Penyelamat Selina
[10 tahun yang lalu]
Rumah besar yang selama ini dia tempati selalu ramai, banyak suara langkah, obrolan kecil, pintu terbuka-tutup, maupun telepon berdering, tapi bagi Kalselina Rilley kecil, semuanya terdengar kosong.
Pukul lima sore, langit berwarna jingga muda, dan aroma masakan dari dapur seharusnya membuat rumah terasa hangat. Nyatanya, justru sebaliknya.
Selina berada di teras belakang—duduk di kolong meja, memeluk lutut, memperhatikan retakan kecil di lantai marmer. Teras belakang adalah tempat favoritnya untuk bersembunyi setiap kali hari terasa terlalu berat, yang sayangnya berarti hampir setiap hari.
Neneknya baru saja memarahinya karena alasan paling sepele, pita rambut Selina miring.
"Kamu ini perempuan atau apa? Bahkan memakai pita saja tidak bisa benar!" bentak neneknya sambil menarik rambut Selina kasar sampai mata anak kecil itu berkaca-kaca. "Tidak heran papamu sibuk kerja, dia malu punya anak perempuan seperti ini."
Tidak ada satu pun kata yang lebih menyakitkan daripada kalimat anak perempuan. Karena Selina tahu, itu akar semua perlakuan buruk neneknya.
Neneknya ingin cucu laki-laki—calon penerus, kebanggaan keluarga, dan harapan besar. Tetapi yang lahir adalah Selina, gadis kecil lembut, sensitif, dan terlalu mudah menangis.
Neneknya membenci itu, karena Selina selalu mengingatkan beliau pada "kegagalan".
Dan papa Selina tidak tahu jika dia menangis hari ini. Atau kemarin. Atau minggu lalu. Pria itu sibuk bekerja di perusahaan keluarga mereka, pulang larut malam, dan kadang hanya menyempatkan mengusap kepala Selina sambil berkata, "Papa sayang kamu, ya." Sebelum bergegas masuk mobil untuk berangkat kerja.
Selina percaya papanya menyayanginya, tapi sayang itu terlalu jauh untuk dia raih.
Selina menahan isak agar tidak terdengar. Dia benci membuat neneknya semakin marah. Dia benci terlihat lemah. Tapi dia tetap saja menangis—pelan, tertahan, gemetar. Sampai akhirnya suara langkah berat seseorang terdengar mendekat ke arahnya.
Selina buru-buru menghapus air mata dengan punggung tangan.
Dari kejauhan, Selina bisa melihat seorang pria muda memasuki halaman belakang dan sedang berbincang dengan Pak Tono—supir pribadi papanya. Tingginya menjulang, bahunya lebar, dan wajahnya seperti sesuatu yang belum pernah Selina lihat pada pria lain.
Tegas. Dingin. Tampan.
Pria itu berbicara singkat, suaranya dalam dan lembut terkontrol, membuat Selina terdiam seperti tertarik magnet. Dia baru pertama kali melihat seseorang yang begitu menarik perhatiannya.
Pak Tono membuka suara, "Mas Kayden bisa tunggu sebentar, Tuan Alley masih dalam perjalanan. Mas Kayden mau kopi?"
Kayden.
Nama itu langsung mencantol di kepala Selina.
Pria itu menggeleng ramah, merapikan lipatan kemejanya, dan duduk di sebuah gazebo untuk merokok. Namun, di saat itulah dia tak sengaja melihat Selina yang sedang bersembunyi di kolong meja.
Mata mereka bertemu.
Selina menegang, jantungnya tiba-tiba berdetak terlalu keras. Dia merasa pipinya panas, padahal udara sore ini sejuk.
Kayden mengerutkan kening sedikit. "Kamu siapa? Ngapain di kolong meja?"
Nada suaranya datar, tapi tidak marah. Selina menggeleng singkat.
"Saya ke sana?" tanyanya sambil memberi aba-aba.
Selina buru-buru menolak, menyuruh Kayden tetap di sana saja.
Karena penasaran, Kayden tetap menghampiri Selina. Dia berjongkok, hingga akhirnya mereka saling menatap dalam jarak sangat dekat. Mata Selina masih basah dan rambutnya sedikit berantakan, membuat Kayden paham bahwa anak itu habis menangis.
"Umur kamu berapa?"
Dengan polos dan sikapnya yang lucu, Selina menjawab dengan menunjukkan sepuluh jari tangannya. Kayden hanya ber-oh-ria, paham.
"Ayo, keluar. Ngapain di kolong meja, nanti kebentur."
"Jangan ke sini, nanti Nenek makin marah." Selina was-was, takut kalau neneknya tiba-tiba datang dan memukulnya. Selina tidak boleh keluar dari kolong meja, kecuali langit berubah gelap atau saat papanya tiba-tiba pulang cepat.
Alis Kayden terangkat sebelah, mencoba memahami ucapan Selina.
"Ada saya, kamu aman."
Kalimat itu semacam hipnotis bagi Selina. Semua ketakutannya hilang entah ke mana. Dia merasa diselamatkan, dilindungi.
Kayden memandangi gadis kecil itu lama sekali, tatapannya yang tidak bisa dibaca.
"K—kamu mau nolongin aku?" tanya Selina polos, matanya mengerjap beberapa kali.
Kayden mengangguk, mengulurkan tangannya.
Baru saja akan keluar dari kolong meja, suara langkah neneknya terdengar dari kejauhan. Tergesa, keras, seperti selalu membawa badai. Selina berjengkit panik dan kembali masuk ke kolong meja hingga kepalanya terbentur.
"Astaga. Kamu kenapa?"
"Nenek datang!" bisik Selina tegas sambil menempelkan jari telunjuk pada bibirnya. Dia menyuruh Kayden segera meninggalkannya dengan raut ketakutan.
Saat neneknya datang, Kayden masih berada di dekat meja tempat Selina bersembunyi. Dia tidak pergi karena ingin tahu kenapa Selina sampai benar-benar ketakutan.
Kenapa anak sekecil ini seperti memiliki banyak luka yang dia tanggung sendirian—pikir Kayden.
Wanita yang kelihatan modis dan cantik itu tampak buru-buru menghampiri Selina, wajahnya kelihatan menahan amarah dengan lipstik merah merona, tetapi dipaksa tersenyum saat melihat Kayden di sana.
"Loh, kamu di sini, Nak? Alley baru saja tiba, silakan langsung ke ruang kerjanya, ya."
Kayden mengangguk, tapi tidak lupa mengulurkan tangannya lagi pada Selina di bawah sana. "Ayo!" ajaknya singkat, tetapi sangat berarti untuk keselamatan Selina.
Keluar dari kolong meja, Selina tidak berani menoleh pada neneknya. Dia langsung mengikuti langkah kaki Kayden yang membawanya pergi dari teras belakang.
Sepanjang langkah mereka, Selina melihat ke arah tangan besar yang menggenggam tangan kecilnya dengan erat. Untuk pertama kalinya, Selina diselamatkan dan diajak kabur dari amukan neneknya. Senyum kecil muncul dengan binar penuh harap.
"Kamu ikut ke dalam?" Suara Kayden memecah keheningan di antara mereka.
Selina tersadar, lantas menggeleng. Genggaman mereka terlepas, Selina langsung berlarian kecil menuju lantai dua.
Dari ujung tangga paling atas, Selina kembali menoleh pada Kayden yang sudah menuju ruang kerja papanya. Hanya punggung lebar pria itu yang terlihat, sebelum menghilang ditelan pintu yang ditutup.
"Namanya Kayden."