Waktu terus berjalan, menghabiskan pagiku kali ini dengan Andri terasa begitu menyenangkan hingga waktu berjalan sangat tidak terasa. Kami sedang menikmati secangkir Softdrinks sambil menonton acara di televisidengan beberapa camilan yang sedari tadi telah tersedia di atas meja.
“Tok.. tok.. tok..” tiba-tiba terdengar suara pintu yang diketuk.
“Assalamu’alaikum.” Ucapnya sambil membuka pintu yang tidak terkunci.
Seorang gadis kecil yang sangat cantik dan lucu berjalan masuk ke dalam dengan senyumannya. Anak tersebut mengenakan kaos putih dengan jaket jeans dan rok pendek yang berwarna hijau tosca, ia juga memakai ransel berwarna merah muda, rambutnya yang hitam dan panjang terkuncir dengan agak berantakan dan sedikit basah.
“Wa’alaikumsalam” aku dan Andri menjawab salamnya secara bersamaan.
“Kakaaaak..!” Teriaknya dengan senyuman sambil berlari ke arah Andri yang sedang duduk bersamaku di sofa.
“Eh anak cantik udah pulang.” Balas Andri sambil memeluk dan mencium keningnya, “Gimana hari ini kursusnya?” Lanjutnya.
“Lancar seperti biasa.” Jawabnya dengan gembira.
Mochi yang berada disampingku langsung berlari menghampiri anak itu.
“Hey Mochiku...” sapanya dengan manja. “Ini siapa kak?” Tanyanya ke Andri sambil menatapku yang sedari tadi memperhatikannya.
“Ini namanya Kak Arnyn, Kak Arnyn ini teman Kakak waktu sekolah dulu.”
“Hay cantik, nama kamu siapa?” Sapaku sambil mendekatkan wajahku ke arahnya.
“Nama aku Abel, aku suka berenang, selain itu aku juga sukaaa sekali sama cokelat.”
Aku dan Andri saling bertatapan dan tertawa terbahak-bahak mendengar ucapannya yang sangat cerewet nan menggemaskan.
“Maklumin ya, Nyn, emang kayak gitu anaknya.” Ucap Andri sambil tertawa.
“Nama yang cantik, kayak orangnya. Abel suka cokelat? Nanti kalau Kak Arnyn main kesini lagi, Kak Arnyn bawain cokelat ya untuk Abel.”
“Yang benar, Kak? Asyiiik, yang banyak ya kak.”
Aku tertawa sambil menganggukan kepala.
“Abel, gak boleh kayak gitu ah.” Ucap Andri yang memandangnya dengan tatapan tajam.
“Gapapa kok, Ndri, namanya juga anak-anak.”
“Kamu mau ikut Kakak sama Kak Arnyn pergi ke taman gak?” Tanya Andri ke Abel yang sedang mengelus Mochi dengan lembut.
“Mauuuu” jawabnya dengan semangat.
“Yaudah, minta bantu salin dulu gih sama Bibi, Kakak sama Kak Arnyn tunggu di luar ya.”
“Bibiiiii... cariin Abel baju yang bagus, Abel mau ke taman sama Kak Andri dan Kak Arnyn.” Teriaknya sambil berlari melupakan Mochi dan pergi ke arah pembantunya yang sedang berada di dapur.
Aku dan Andri tertawa sambil berjalan keluar menuju mobil. Kurang lebih sekitar 10 menit, Abel berlari keluar ke arah kami yang sudah berada di dalam mobil, ia masuk dan duduk di kursi belakang, kali ini rambut lurusnya terkuncir dua di kanan dan di kiri yang membuatnya semakin terlihat menggemaskan.
“Are you ready?” Ucap Andri sambil menoleh ke arah Abel yang berada di belakang.
“Yeeees!!!” Abel mengangkat tangan kanannya dengan semangat.
Kami berjalan menuju taman yang Andri bilang tidak jauh dari rumahnya, dan benar saja, hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit, kami sudah sampai di sebuah taman yang cukup luas.
Kami pun turun dari mobil, aku menggandeng tangan Abel untuk mencari tempat duduk.
Setelah berhasil mendapatkan tempat duduk, kami bersantai sejenak sambil menikmati pemandangan di taman ini.
“Mau eskrim gak?” Tanya Andri ke aku dan Abel.
“Mau, Kak.”
“Yaudah tunggu sini ya, Kakak mau samperin tukang eskrimnya dulu.” Andri berlari meninggalkan aku dan Abel menuju tukang eskrim yang berada lumayan jauh dari tempat kami duduk.
Suasana taman hari ini tidak begitu ramai, hanya ada beberapa sepasang suami istri yang membawa anak-anaknya.
Anak-anak itu berlari sambil tertawa dengan riang, ada yang meluncur di perosotan, ada juga yang main jungkat-jungkit sambil menikmati es krim di genggaman. Di ujung sana ada seorang laki-laki paruh baya, umurnya sekitar 45 tahun ke atas yang sedang mengayun anaknya yang terduduk di ayunan dengan perlahan, anak itu tertawa gembira sekali, begitu juga sang Ayah.
“Gimana ya rasanya main bareng sama Papa.” Ucap Abel sambil melihat ke arah mereka.
Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan yang ia lontarkan, sepertinya, Papanya Andri meninggal saat Abel masih sangat kecil, atau mungkin saat Tante Jo sedang dalam keadaan mengandung Abel.
“Aku gak pernah main sama Papa, aku juga gak pernah ngeliat Papa tersenyum bahagia kayak gitu, aku juga pingin bercanda sambil peluk Papa.”
Lagi-lagi aku hanya terdiam, memandang wajahnya yang masih fokus melihat ke arah seorang Ayah dan anaknya yang sedang bermain ayunan di ujung sana, wajahnya terlihat sedih meskipun ia tidak meneteskan air mata, dari ucapannya, ia seperti benar-benar menginginkan sosok seorang ayah di hidupnya. Anak sekecil Abel memang seharusnya sedang mendapatkan kasih sayang yang penuh dari kedua orang tuanya, sayangnya Abel hanya mendapatkan kasih sayang itu dari Mamanya, dan juga Kakaknya.
“Kak, Surga itu jauh gak sih?” Abel menoleh ke arahku dengan wajah polosnya. “Kata Mama, Papa sekarang tinggalnya di Surga, kenapa Papa gak mau tinggal disini aja sama Abel, Mama dan Kak Andri? Apa Papa gak sayang kami?” Lanjutnya.
“Abel sayang, Abel gak boleh ngomong kayak gitu, ya? Papa pasti sayangggg banget sama Abel, Papa juga pasti sayang sama Mama, sayang Kak Andri juga.” Aku mengusap kepalanya sambil merapikan poninya yang tidak beraturan karena tertiup angin.
“Terus kenapa Papa gak tinggal disini aja, Kak? Atau enggak, kenapa Papa gak ajak Abel, Mama, sama Kak Andri ke Surga juga?”
“Abel kangen sama Papa?” Tanyaku.
Ia mengangguk.
“Kalau Abel kangen sama Papa, Abel baca Al Fatihah, ya?”
“Iya, Kak. Kak Andri juga selalu bilang kayak gitu, setiap Abel kangen Papa, Abel selalu baca doa, setelah itu, rasa kangen Abel hilang.”
Kemudian ia terdiam sambil menutup matanya beberapa saat hingga akhirnya kembali membukanya dan tersenyum ke arahku.
“Abel udah baca Al Fatihah, semoga Papa dengar dan mau nemuin Abel biar Abel sama Papa bisa main bareng, biar Abel bisa peluk Papa juga.” Lanjutnya
Aku hanya tersenyum memandangnya yang masih terlalu polos untuk mengerti ini semua, ku peluk ia dengan erat, ia kembali memelukku dengan tak kalah eratnya, sebuah pelukan tulus dari seorang anak kecil yang begitu menginginkan kehadiran seorang Ayah di hidupnya. Tak terasa, air mata jatuh mengalir di pipiku, Abel yang telah melepaskan pelukannya kemudian terheran melihatku yang menangis.
“Kak Arnyn kenapa nangis?”
“Gapapa, Sayang. Kak Arnyn cuma seneng aja bisa peluk Abel.” Jawabku sambil mengusap air mata yang jatuh.
“Abel juga seneng banget bisa peluk Kakak, Abel sayang sama kak Arnyn kayak Abel sayang ke Kak Andri.” Ia kembali memelukku dengan erat, aku membalas pelukannya sambil mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang.
“Ya ampun, romantis banget sih kalian. Ada apaan nih kok main peluk-pelukan sih? Kak Andri gak diajak, nih?” Andri datang dengan kantong pelastik transparan yang berisi 3 buah es krim di dalamnya.
Abel yang menyadari Andri datang langsung melepaskan pelukanku lalu kemudian memeluk dirinya.
“Euumm... gitu dong Kak Andri dipeluk juga.” Balas Andri dengan memeluknya lebih erat. “Nih eskrimnya, Abel mau yang rasa apa?” Lanjutnya.
“Vanillaaaa...” jawabannya penuh semangat sambil merogoh pelastik yang Andri bawa untuk mengambil es krim vanilla yang dipilihnya.
Kami pun menikmati es krim itu bersama-sama, sesekali aku dan Andri mengajak Abel dan menemaninya untuk bermain perosotan atau ayunan.
Abel terlihat sangat bahagia sekali hari ini, seperti ia telah melupakan kesedihannya saat ia menanyakan tentang sosok seorang ayah kepadaku beberapa menit yang lalu, begitu juga Andri, ia terlihat begitu menyayangi dan menjaga Abel dengan baik. Hilangnya sosok seorang Ayah di hidup Abel telah digantikan oleh sosok seorang Kakak laki-laki yang amat sangat menyayanginya. Kelak, ketika Abel dewasa, aku bertaruh bahwa Abel akan sangat bersyukur atas apa yang ia dapatkan dibandingkan harus selalu bersedih atas apa yang telah hilang dari hidupnya.
“Kak, ayun lebih keras lagiiii.” Teriak Abel ke arah Andri yang sedang mengayun ayunan yang ia duduki. Andri pun tertawa dan mengikuti kemauan adik tersayangnya.
Tawa dari keduanya membuat taman ini lebih ramai dari sebelumnya. Abel pun sudah tidak begitu memperhatikan pemandangan seorang Ayah yang juga sedang bermain dengan anaknya, iya telah terfokus pada tawanya saat di ayun dengan kencang sambil sesekali m******t eskrim vanillanya yang semakin lama semakin mencair.
Melihat mereka tertawa bahagia, membuatku ikut merasakan apa yang mereka rasakan, rasanya ingin sekali setiap hari berada di dekat mereka seperti ini, itu benar-benar membuatku terobati secara perlahan, melupakan segala perasaan yang tidak ingin aku rasakan, dan melupakan segala hal yang sama sekali tidak ingin aku ingat.
“Udah dulu ya, Kakak capek.” Hosh, hosh, hosh, ucap Andri yang kelelahan karena mengayun Abel dengan semangat penuhnya, Andri terduduk di rumput dengan merenggangkan kedua kakinya sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Abel tetap di ayunannya sambil tertawa melihat Kakaknya yang duduk kelelahan.
“Anaknya umur berapa, Mas?” Tiba-tiba sepasang keluarga dengan satu anak yang tadi awal-awal Abel perhatikan menghampiri kami.
Aku dan Andri saling bertatapan sejenak sebelum akhirnya tertawa mendengar pertanyaan tersebut.
“Oh, ini Adik saya, Pak.” Jawab Andri sambil tertawa ke arahnya.
“Oh maaf, Mas. Saya kira itu anaknya dan ini istrinya.” Bapak itu tersenyum melihat ke arahku yang juga tertawa karena pertanyaannya.
“Doain aja, Pak. Siapa tahu nanti jadi sepasang suami istri sungguhan.” Andri kembali tertawa sambil melirik ke arahku yang sedari tadi sudah memerah karena tersipu malu.
“Haha semoga saja ya, Mas. Cocok kok lagian.” Ditepuknya pundak Andri seakan ia setuju dengan apa yang Andri katakan. “Kami duluan ya, Mas, Mbak. Sudah hampir petang. Sampai bertemu lagi.”
“Iya, Pak. Hati-hati ya di jalan.” Andri berdiri lalu tersenyum ke arah mereka. Tidak lama kemudian pun mereka perlahan pergi meninggalkan taman ini.
Aku dan Andri saling bertatapan satu sama lain, tatapannya kala itu membuatku salah tingkah, dan ia yang menyadarinya hanya tertawa sambil mengalihkan pandangannya ke Abel. Entah sudah berapa lama aku baru merasakannya lagi, setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas, aku sudah tidak pernah tahu kabarnya lagi, dan sudah hampir lupa rasanya bahagia serta salah tingkah berada di dekatnya, di hari ini, semesta mengizinkanku untuk merasakannya kembali. Perasaan yang telah lama ku nanti-nanti, kini ditakdirkan untukku lagi.
Kami yang juga menyadari hari sudah hampir petang langsung bergegas menuju pulang ke rumah, Abel pun sudah terlihat sedikit mengantuk. Andri menggendongnya menuju mobil, sesampainya di mobil, ia merebahkan tubuh Abel di kursi belakang agar Abel bisa tertidur, akupun ikut duduk di kursi belakang untuk menemaninya. Dan benar saja di tengah perjalanan kami menuju rumah Andri, Abel tertidur pulas di atas pangkuanku. Wajahnya terlihat begitu lelah, lelah karena terlalu bahagia, ku usap rambutnya dengan perlahan, bahkan saat tertidur pun ia tetap terlihat begitu menggemaskan. Selamat tidur, Sayang. Dunia berhak memberikan kebahagiaan untuk hidupmu. Dan kamu pun berhak memilih untuk tetap tersenyum atau menangis sesekali.
*Tiiiiin*
Saat kami tiba di depan gerbang rumah Andri, si bibi langsung berlari membukakan gerbang saat Andri membunyikan klakson mobilnya. Setelah mobil berhasil masuk dan berhenti, Andri keluar terlebih dahulu untuk menggendong Abel yang masih tertidur. Saat hendak masuk ke dalam rumah, kami berpapasan dengan Tante Jo yang hendak keluar menghampiri kami.
“Ya ampun, Abel tidur? Langsung bawa ke kamarnya aja ya, Sayang.”
Andri mengangguk dan langsung membawa Abel ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Tante Jo mempersilakan aku untuk masuk dan duduk sambil menunggu Andri kembali turun.
“Terima kasih loh, Nyn, udah mau ajak Abel main, maaf ya kalau Abel ngerepotin kamu. Abel emang suka gitu, kalau habis main gampang tidurnya.”
“Gak kok, Tante, Arnyn malah senang bisa main sama Abel, Abel anak yang baik, pintar pula. Kapan-kapan boleh Arnyn main sama Abel lagi?”
“Tentu dong, Sayang. Kapanpun Arnyn mau main sama Abel, datang aja kesini, pasti dibukain pintu kok, haha.”
“Nyn, kamu mau makan lagi? Mau makan disini atau cari makan di luar?” Tanya Andri sambil turun menghampiriku yang sedang duduk menunggunya bersama Tante Jo.
“Gak usah, aku udah kenyang. Aku langsung pulang aja ya?”
“Eh kok langsung sih? Sini, makan dulu ya? Kamu pasti capek abis jagain Abel” Ajak Tante Jo yang menahanku untuk pulang.
“Gapapa kok, Tante. Arnyn langsung pulang aja, udah sore juga lagian, Arnyn pamit dulu ya, Tante.”
“Ya sudah. Hati-hati ya, Sayang. Kapan-kapan main lagi, nanti Tante buatin masakan Tante yang paling enak.”
“Wah, boleh Tante, terima kasih.”
“Andri izin antar Arnyn pulang dulu ya, Ma.”
“Iya, Sayang. Hati-hati di jalan!”
Setelah berpamitan dan bersalaman dengan Tante Jo, kami beranjak ke luar.
“Naik motor, ya?”
Aku mengangguk, Andri memakaikanku helm lalu mempersilakan aku untuk naik ke motornya. Kami pun melaju perlahan meninggalkan rumahnya.
Suasana Jakarta hari ini begitu cerah, langit telah berubah warna menjadi oranye, suara burung-burung bersautan sambil berterbangan kesana kemari. Sesekali Andri melirikku melalui kaca spion sebelah kirinya yang memang sengaja ia hadapkan ke arahku, aku pun memandang balik wajahnya sambil tersenyum malu-malu. Ia meraih tangan kiriku dan melingkarkannya dipinggangnya, begitu juga tangan kananku.
“Kalau gak nyaman, kamu boleh lepas pelukannya.” Katanya yang lagi-lagi sambil memandangku melalui kaca spion.
Aku mengangguk, tidak merasa keberatan aku malah mempererat pelukanku, setelah aku melihatnya tersenyum, aku merebahkan wajahku di pundak kirinya.
Jalanan tidak begitu ramai kala itu, cukup nyaman untuk kami tempuh dengan posisi yang seperti ini. Andri juga memperlambat kecepatan motornya agar kami tidak begitu cepat sampai di rumahku.
Ndri, kau ingin berapa lama lagi berada di atas motor seperti ini denganku? Jika ada kata yang artinya lebih dari kata “Sangat lama” aku akan memakainya untuk menjawab pertanyaan ini.
Beberapa lama kemudian akhirnya kami sampai di depan rumahku, Andri kembali membantuku melepaskan helmnya yang melekat di kepalaku saat aku turun dari motornya.
“Makasih ya udah mau bantuin aku ajak anak kita main ke taman.”
“Ih apaan, sih?” Aku memukul pundaknya pelan sambil tersipu malu.
“Haha, yaudah sana masuk. Selamat istirahat, ya?”
Aku tersenyum lalu mengangguk sambil perlahan masuk ke dalam dan meninggalkannya.
“Nyn?” Tanyanya saat langkahku belum terlalu jauh dari tempatnya berdiri.
“Iya?” Tanyaku seraya menoleh ke arahnya.
“Apa kamu bisa jatuh cinta pada orang yang sama setiap harinya?”
Aku menaikan kedua alisku, menatap ke arahnya dengan ekspresi wajah yang bingung.
“Lupain aja. Aku pamit ya? Salam buat orang rumah.”
“Daaah, hati-hati.”
Andri menyalakan motornya dan melaju dengan perlahan meninggalkan rumahku, suara motornya semakin lama semakin samar, sementara aku tanpa sadar tetap melihat ke arahnya dengan ekspresi bingung atas pertanyaannya tadi, setelah sadar karena telah berdiam diri cukup lama di depan gerbang, aku bergegas masuk karena langit sudah hampir gelap dan adzan maghrib pun sepertinya akan berkumandang.