Pagi ini, rasanya menjadi pagi yang paling membuatku bersemangat di bandingkan pagi di hari-hari biasanya. Karena pagi ini, aku diantar oleh Andri ke kantor. Aku berdandan agar terlihat secantik mungkin kali kini.
Aku menuruni anak tangga lalu duduk di depan meja makan sambil menyantap sarapan yang sudah Mama sediakan, tak lama kemudian, suara klakson mobil terdengar dan Andri mengirimi pesan singkat yang mengabarkan jika ia telah sampai. Aku mempercepat kunyahanku dan segera pergi menghampirinya.
“Udah siap, Tuan Putri?” Tanyanya sambil tersenyum.
“Siap dong, yuk.” Balasku tersenyum sambil berjalan masuk ke dalam mobil.
Sesampainya di kantorku, Andri langsung pamit pergi karena ia juga harus berangkat ke kantornya.
Aku berjalan menuju meja kerjaku, disana, Airin sudah duduk di mejanya. Aku duduk dan tidak ada percakapan yang terjadi diantara kami. Suasana menjadi sangat canggung kala itu, ingin sekali aku menyapanya, mengucapkan selamat pagi seperti hari-hari biasanya, tetapi aku masih cukup kesal atas ucapannya kemarin. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku sambil membunuh situasi yang canggung ini.
“Nyn?” Tiba-tiba, Airin membuka percakapan.
“Hmm” jawabku singkat tanpa menoleh ke arahnya.
“Gue... minta maaf ya soal kemarin. Gue gak bermaksud kayak gitu, Nyn. Gue cuma sedih ngeliat lo sama Aldy kayak gini keadaannya. Jangan marah lagi, ya? Kita kan sahabatan udah lama? Berantem kayak gini gak enak banget, Nyn.” Ia menatapku yang masih enggan menoleh ke arahnya.
Aku menghela napas sebelum kemudian menoleh dan menatapnya “Maafin gue juga ya, Rin. Guenya aja yang terlalu egois, lo gak salah kok. Kita baikan yaaa!”
Iya menggeser kursinya mendekat ke kursiku dan memelukku dengan erat.
“Akhirnyaaaa! Sehari aja gue gak bisa diem-dieman kayak gini sama lo. Sepi banget rasanya.”
Aku hanya tersenyum dan kembali memeluknya dengan tak kalah eratnya.
***
Sebelum pulang ke rumah masing-masing, aku mengajak Airin untuk makan di luar.
“Rin, ada yang mau gue ceritain.” Ucapku kepada Airin yang sedang menyantap makanan yang baru saja kami pesan di cafe ini.
“Soal Aldy?” Jawabnya sambil mengunyah.
“Bukaaan. Andri, Rin, Andri. Dia balik, Andri ada disini, di Jakarta.” Aku tersenyum dengan wajah sumringah ke arahnya.
“Ah, serius? Dari kapan?”
“Belum lama. Tadi juga gue berangkat dia yang antar.”
“Jangan bilang kalian berduaaaa?” Ucapnya sambil menunjukku dengan garpu yang ada di tangan kirinya.
“Apa? Pacaran maksud lo?”
Airin pun mengangguk.
“Enggak lah, baru juga ketemu lagi.”
“Apa lo masih ada perasaan ke Andri?” Tanyanya serius.
“Gimana, ya? Yang gue rasain sekarang, hidup gue gak kosong lagi semenjak Andri balik tanpa gue bisa memastikan apa rasa ini masih ada atau udah hilang.”
“Aldy tahu soal ini?”
“Enggak, gue aja udah gak pernah ketemu dia lagi.”
“Nyn, jangan terlalu acuh ke Aldy, ya? Gue tahu banget kalian itu saling menyayangi, dan gue yakin banget gak cuma lo yang terpukul berada di posisi kayak gini, Aldy pasti juga. Ada baiknya lo coba melihat dari cara pandang Aldy menanggapi persoalan ini, pahami dia seperti bagaimana dia memahami lo.” Ia tersenyum sambil mengusapkan tangannya ke pundakku.
“Thank you ya, Rin. Emang kayaknya cuma lo yang bisa buat gue lega di saat gue cerita soal masalah-masalah yang terjadi di hidup gue. Thanks juga atas sarannya, kayaknya, gue emang egois deh.”
“Enggak, gak perlu terlalu menyalahkan diri lo sendiri, namanya juga hubungan, pasti ada aja konfliknya. Dan kalau gue di posisi lo juga mungkin gue bakal bertindak sama kayak lo sekarang. Yang penting sekarang, saling memahami dan memaafkan satu sama lain aja, ya? Semoga dengan begitu, kalian bisa bersatu lagi.”
“Huaaaa, thanks banget loh, Rin. Lo emang paling-paling deh.” Aku memeluk Airin sebelum kami memutuskan untuk menyelesaikan makanan masing-masing dan kembali ke rumah karena hari sudah semakin gelap.
Siapa yang bisa menyangka jika aku akan memiliki sahabat sebaik Airin? Sewaktu sekolah, banyak sekali orang yang mengagumi persahabatan kami, bagaimana tidak? Kalian bisa lihat sendiri betapa Airin menyayangiku tanpa tetapi. Mereka mengira bahwa Airin sangat beruntung mempunyai sahabat sepertiku, yang bagi mereka aku adalah anak yang paling populer di sekolah. Mereka tidak tahu, nyatanya akulah yang beruntung mempunyai Airin. Si keras kepala yang tetap mencintaiku unconditionally, tidak perduli seberapa menyebalkan apa aku ke padanya, ia tetap mau berada disampingku, menemaniku di setiap situasi.
Sesampainya di rumah, aku duduk di sofa ruang tamu sambil menonton tv bersama Mama.
“Ma, kalau Mama jadi Arnyn, apa Mama bakalan marah ke Aldy karena gak bisa nikahin aku sebelum Irgi nikahin Bella?” Tanyaku.
“Enggak. Kalau persoalannya di dana, Mama malah akan ngedukung dia buat lebih giat lagi mencari uang untuk acara pernikahan kami nanti.”
“Apa Mama gak takut sama omongan dari orang-orang di luar sana? Tentang pertanyaan-pertanyaan mereka yang memuakkan, tentang omongan mereka tentang mitos yang semua orang hampir tahu?”
“Nyn, benar atau salahnya tindakanmu, akan selalu ada orang yang tidak menyukainya. Sekalipun kamu yang menikah lebih dulu dibanding Bella, mereka akan tetap memberimu jutaan pertanyaan yang tidak kamu sukai. Seperti kapan kamu memiliki anak? Kapan kamu program anak kedua? Menyuruh agar ulang tahun anak pertama mu harus semeriah mungkin. Padahal, itu semua bukan urusan mereka, tetapi beberapa diantara mereka akan tetap melakukannya.” Mama menatapku dengan serius, akupun tak kalah serius mendengarkannya. Suara di televisi pun tidak lagi aku dengarkan.
“Perkara mitos, itu hanya soal kamu percaya dengan Tuhanmu atau tidak. Yang tahu takdir seseorang itu hanya Tuhan. Jika kamu melihat beberapa kejadian terjadi sesuai mitos yang dipercayai oleh sebagian orang, bisa saja itu sebuah kebetulan, bukan? Jika kamu percaya dengan kendali Tuhan atas hidupmu, kamu tidak akan pernah takut akan masa depanmu sendiri, Sayang.” Mama melanjutkannya dengan senyuman yang seakan memberitahuku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Aku tersenyum, ku peluk ia dengan erat. Hangat, tidak ada yang sehangat pelukan seorang Ibu. Ibu telah menjadi cinta pertama ku di saat aku pertama kali membuka mata di dunia ini. Terima kasih, Tuhan. Kau menghadiahi Mama sebagai Ibu ku.
Aku pamit untuk pergi tidur ke kamar. Saat melewati kamar Bella, aku melihat pintunya sedikit terbuka dan aku mecoba masuk.
Aku melihat ia sedang rebahan di atas kasurnya, dan akupun ikut merebahkan diri ku di sebelahnya.
“Kak? Ada apa? Lo baik-baik aja, kan?”
Aku mengangguk.
“Maafin gue ya kak yang udah ngeduluin lo, gue cuma bisa berharap secepatnya lo bakalan ngerasain hal yang sama.” Ucapnya sambil memainkan rambutku yang terurai di atas kasurnya.
“It’s okay, Bell. Gue uda ikhlasin kok. Kebahagiaan lo, kebahagiaan gue juga, kan?” Aku tersenyum memandangnya yang juga kemudian tersenyum ke arahku.
“Kak Aldy apa kabarnya?” Tanyanya.
Aku terdiam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaannya. “Baik.”
“Gue tahu kok, kalian lagi gak baik-baik aja. Kalian mau kayak gini sampai kapan?”
“Lo tahu dari mana?” Aku menatapnya dengan tajam.
“Kalian itu setiap hari selalu bareng, aneh kalau tiba-tiba gak pernah ketemu. Dan tadi pagi juga yang jemput lo bukan kak Aldy kan?”
Aku hanya terdiam sambil memalingkan pandanganku ke arah langit-langit kamar.
“Kak, kalau emang lo bener udah ikhlas, harusnya lo udah baik-baik aja sama kak Aldy. Itu sebabnya kenapa setiap kita lagi berdua kayak gini, gue selalu ngucap kata maaf meskipun lo selalu bilang kalau lo baik-baik aja. Kak Aldy sayang banget sama lo, setiap pagi dia selalu datang kesini buat jemput lo, meskipun lo ternyata udah berangkat ke kantor. Setiap sore dia selalu chat gue nanyain apa lo udah di rumah atau belum.”
“Lo serius, Bell?” Aku membangunkan tubuhku dan terduduk menghadapnya.
“Kenapa? Lo gak nyangka kan dia sebegininya?” Bella pun mengikuti posisi ku yang terduduk di atas kasurnya.
“Kak, baikan, ya? Kasian kak Aldy, dia sayang banget sama lo. Dia takut kehilangan lo, Kak. Apa namanya bukan cinta kalau dia mampu bertahan sama lo yang keras kepala ini selama bertahun-tahun?” Bella menatapku penuh harap, seakan di hidupnya sumber kebahagiaannya adalah melihat aku dan Aldy bersama selamanya.
“Thanks ya, Bell, udah mau kasih tahu gue semuanya. Tidur, ya? Udah malam. Good night.” Ku usap kepalanya dan memandang wajahnya yang terlihat berharap aku mengiyakan ucapannya. Aku beranjak keluar dari kamarnya menuju kamarku.
“Kak?”
Aku menoleh ke arahnya sebelum benar-benar keluar dari kamarnya.
“Semua gak akan baik-baik aja kalau lo masih bohongin perasaan lo sendiri.” Ucapnya yang melihatku tersenyum karena mendengar perkataannya sambil melanjutkan langkah keluar dari kamarnya.
Airin, Mama, Bella. Mereka semua punya harapan yang sama atas hubunganku dengan Aldy. Kini aku tersadar, ternyata aku memang seegois ini. Aku telah menyakiti Aldy tanpa aku sadari. Keadaan yang seharusnya baik-baik saja menjadi tidak baik karena ulahku. Al, jika aku datang menghampirimu dan meminta maaf, apa kau akan memberikannya padaku? Si keras kepala yang terlanjur bergantung padamu ini benar-benar ingin selalu bergantung padamu di setiap kondisi sesuai apa yang kamu mau. Kita perbaiki semuanya, ya?