Aku mengeluarkan ponselku, jam menunjukan pukul 06:25. Seperti yang Bella katakan, Aldy selalu datang setiap hari meski aku sudah berangkat terlebih dahulu, jadi, di pagi ini aku sengaja menunggu ia datang menjemput. Aku menatap keluar jendela, melihat langit yang hari ini terlihat sedikit mendung, kemudian langsung berlari ke arah dapur untuk mengambil payung kecil untuk berjaga-jaga jika hujan benar-benar turun, aku kembali menatap keluar jendela yang sampai saat ini tidak ada tanda-tanda mobil Aldy akan datang.
Jam sudah menujukan pukul 06:32, Aldy tetap tidak kunjung datang. Aku memutuskan untuk memesan ojek online karena khawatir akan terlambat apabila aku tetap menunggu Aldy datang. Baru saja membuka aplikasi, tidak lama kemudian mobil berwarna hitam berhenti di depan gerbang rumahku, aku berlari kesana menghampirinya, tapi, tak kutemukan goresan kecil di dekat pintu belakang, itu jelas bukan mobil Aldy.
Tak lama sesosok laki-laki keluar dari mobil dan menghampiriku, sosok yang ku kenali, siapa lagi jika bukan Andri.
“Aku kelamaan ya jemputnya? Maaf ya tadi agak kesiangan soalnya, hehe.” Ucapnya sambil tertawa kecil.
“Loh, Ndri? Kamu ganti mobil?” Tanyaku.
“Oh, ini mobil Papa, tukeran. Yuk? Nanti kamu kesiangan.” Ia menarik tanganku dan membukakan pintu agar aku masuk terlebih dahulu.
“Gak perlu repot-repot loh, Ndri, antar aku terus kayak gini.”
“Gak kok, aku malah senang. Kamu keberatan ya aku antar?” Tanyanya sambil fokus menyetir.
“Eh, nggak kok. Aku cuma takut ngerepotin kamu aja.”
Ia hanya menoleh sebentar ke arahku sambil menggeleng dan tersenyum yang menandakan jika ia tidak merasa keberatan sama sekali.
Setelah sampai, aku langsung pamit untuk masuk kantor.
“Nyn?” Ucapnya dari dalam mobil saat aku hendak masuk ke dalam kantor.
“Iya, Ndri?” Aku berjalan kembali menghampirinya.
“Payungmu, ketinggalan.” Ia menyerahkan payungku yang tadi aku letakan dekat persneling.
“Haha, hampir lupa kalau bawa payung. Thanks ya? Take care, Ndri.” Akupun mengambil payungnya dan melambaikan tangan sambil berlari menuju mesin absen karena sudah hampir terlambat masuk.
“Loh, Nyn. Tumben banget datengnya bener-bener siang?” Tanya Airin yang berpapasan denganku saat ia keluar dari pintu toilet.
“Iya nih, untung masih kurang 3 menit.” Jawabku dengan terengah-engah karena habis berlari.
“Diantar Andri lagi?” Tanyanya sambil mengambil posisi duduk di kursi meja kerjanya.
“Iya, sebenernya tadi gue nunggu Aldy. Bella bilang, setiap pagi Aldy kerumah buat jemput gue meskipun gue menghindar dan selalu berangkat lebih dulu. Tapi, tadi ternyata dia gak dateng.” Jawabku sambil mengeluarkan berkas dari dalam tas.
“Mungkin dia lagi ada urusan, jadi gak sempat ke tempat lo.”
“Rin? Apa Aldy masih sayang gue? Aldy gak berhenti perjuangin gue, kan?” Tanyaku sambil memutar kursinya agar menghadap ke arahku.
Ia menghela napas sambil memegang kedua pundakku. “Percaya sama gue, dia masih sayang banget sama lo sampai kapanpun dan akan selalu memperjuangkan lo, Nyn.” Lanjutnya tersenyum.
Aku hanya menatapnya dan membalas senyumannya dengan sedikit anggukan lalu kembali menatap layar komputerku.
Hujan akhirnya turun di pagi ini, lebat sekali, hingga membuat udara Air Conditioner di ruangan ini menjadi lebih dingin dibandingkan biasanya. Aku berjalan menuju Pantry untuk membuat teh hangat, aku melihat ke arah jendela, hujan benar-benar deras saat itu. Di saat-saat seperti ini, aku selalu teringat Aldy, dia selalu khawatir jika hujan turun, takut aku kehujanan, takut aku terserang flu dan sakit kepala. Ocehan cerewetnya terngiang di kepalaku, tidak ada yang mengalahkan kecerewetannya saat ia sedang khawatir. Kini, ingin rasanya aku mendengar ocehannya lagi, menjemputku dengan sigap jika tiba-tiba turun hujan, mengantarkanku kemana pun meski dia sedang tidak enak badan atau bahkan sedang sibuk, meminjamiku hoodienya agar aku tidak kedinginan. Al, apa aku salah jika telah benar-benar bergantung padamu?
Di pagi sedingin ini, tanpa kamu tahu aku juga selalu menghawatirkanmu, ketakutan yang kau punya adalah ketakutanku juga, bedanya, aku hanya tidak terlalu menunjukannya padamu, karena khawatirku kepadamu selalu kalah oleh besarnya khawatirmu kepadaku. Jika kau tahu bahwa tadi aku menunggumu untuk datang menjemput, apa kau akan bahagia?
Aku rindu melihat sebuah mobil berwarna hitam berhenti di hadapanku dengan goresan kecil di bagian belakangnya, lalu kamu keluar dari sana melemparkan senyuman hangatmu di setiap pagiku, mengucapkan selamat pagi dengan nada khasmu yang sedikit manja, aku rindu usapan tanganmu di kepalaku, yang menurutku adalah yang paling hangat dibandingkan usapan tangan Andri setelah aku merasakannya darimu. Aku rindu segala tentangmu, Al. Termasuk wajah cemberutmu saat aku memaksamu memakai kacamata yang menurutmu aneh jika kau pakai tapi justru terlihat makin tampan di mataku. Tolong beritahu aku, Al, jika rindu ini bukan hanya aku yang merasakannya.
“Woy!” Ucap seorang perempuan sambil menepuk pundakku hingga membuatku terkejut karena melamun.
“Airin! Gue kirain siapa, kaget tahu!” Jawabku sinis.
“Lagian lo ngapain sih ngelamun lama gini? Dari gue datang ikut bikin teh di sebelah lo sampai teh gue udah selesai siap minum, lo masih aja ngelamun. Mikirin Aldy, ya?” Ledeknya sambil mencolek daguku dengan jari telunjuknya.
“Udah yuk ah, balik ke meja.” Jawabku sambil berjalan melewatinya.
Di sela-sela menyeruput teh, aku mengecek ponselku yang ternyata terdapat satu pesan dari Bella.
“Kak, lo tahu kak Aldy masuk Rumah Sakit?”
Saking paniknya, aku langsung menelepon Bella tanpa membalas pesannya.
“Hallo?” Ucapku dengan khawatir saat aku mendengar nada telepon telah tersambung.
“Bell, Aldy kenapa? Lo tahu dari mana beritanya?” Tanyaku lagi.
“Gue kan mutualan di Social Media sama salah satu temannya kak Aldy, gue liat dia update insta story foto kak Aldy lagi terbaring di Rumah Sakit, dia ngucapin Get Well Soon dan ngetag kak Aldy juga.”
“Dia sakit apa?”
“Gak tahu, gue gak nanya.”
“Sekarang lo dm temannya, terus tanyain dia di rawat di Rumah Sakit mana, ya? Nanti lo langsung kabarin gue via chat.”
Aku mengakhiri panggilan dan kembali menghadap komputer, mencoba fokus dengan pekerjaan tapi nyatanya aku sangat khawatir memikirkan Aldy.
“Kenapa, Nyn? Aldy kenapa?” Tanya Airin yang mendengar percakapanku dengan Bella di telepon.
“Aldy masuk Rumah Sakit, Rin. Dan gue gak tahu karena apa.”
“Hah? Dan lo udah tau alamat rumah Sakitnya dimana?” Tanyanya ikut khawatir.
“Masih nunggu kabar dari Bella.”
Beberapa menit kemudian, Bella memberikan alamat Rumah Sakitnya melalui chat.
“Eh ini, Bella udah kirimin alamatnya. Nanti lo antar gue ya, Rin? Mau kan?” Bujukku.
“Iya, pasti gue antar. Lo sekarang tenang ya, jangan terlalu dipikirin, berdoa aja semoga Aldy gak kenapa-kenapa.” Dan aku hanya mengangguk.
Al, apa yang terjadi? Apa itu alasan kenapa kamu tidak datang kerumahku? Kau kenapa? Apa kau telat makan? Kenapa bisa-bisanya hingga jatuh sakit? Jika keadaan kita masih baik-baik saja, mungkin aku akan menghampiri dan memarahimu sambil menangis karena tidak mampu melihatmu terbaring lemah. Gemuruh hujan menyatu dengan ke khawatiranku, isi kepalaku benar-benar berisik saat itu, ia terus bertanya-tanya apakah Aldy akan selalu baik-baik saja? Bagaimana caranya aku bisa berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaanku di hari ini jika aku sedang bertengkar dengan pertanyaan-pertanyaan dalam isi kepalaku sendiri?
***
“Rin, lo beneran gak keberatan kan nemenin gue jenguk Aldy?” Tanyaku di motor saat perjalanan menuju Rumah sakit.
“Ya ampun, Nyn. Kayak sama siapa aja. Lagian juga gue lagi gak ada keperluan lain kok jadi bisa nemenin lo.” Jawabnya.
Sekitar 15 menit dari kantor, kami telah sampai di salah satu Rumah Sakit daerah Jakarta tempat dimana Aldy dirawat, kami pun langsung menuju ruangan yang telah Bella beritahu melalui chat tadi pagi.
Aku berjalan lebih dulu dengan cepat, Airin di belakang mengikuti, aku pun sampai di depan ruangan tempat Aldy dirawat, sebelum ketika aku hendak masuk, aku tidak sengaja melihat dari jendela kecil yang menempel di pintu dan melihat Aldy sedang berada di dalam sana bersama seorang perempuan seumuran kami yang tidak ku kenal sebelumnya, perempuan itu sedang menyuapi Aldy bubur yang diberikan oleh pihak Rumah Sakit untuk pasien, aku terdiam cukup lama memandangi mereka dari luar.
“Nyn, kenapa? Kok gak masuk?” Tanya Airin menghampiriku yang telah sampai lebih dulu di depan ruangan Aldy dirawat.
“Kita balik aja, Rin. Harusnya gue emang gak perlu kesini.” Jawabku sambil melangkah pergi menuju pintu keluar Rumah sakit.
Airin yang sempat melihat ruangan Aldy dari kaca pun mengikutiku melangkah keluar tanpa bertanya satu kata pun.
Aku menangis di sepanjang jalan menuju parkiran, aku teringat perkataanku yang mengizinkan ia boleh memilih wanita lain jika di pertengahan jalan kami yang sendiri-sendiri ini dia telah menemukan seseorang baru yang dapat menggantikan posisiku di hidupnya. Apakah perkataanku saat itu telah berlaku untukmu sekarang? Kau bahkan telah melupakanku di saat aku tidak pernah mencoba melupakanmu, kau bahkan telah berhasil menerima seseorang baru di hidupmu di saat kakiku masih melangkah untukmu tanpa kamu tahu. Al, harusnya aku yang ada disana saat ini, bukan? Menyuapi bubur dan memaksamu minum obat agar kau lekas sembuh, bukan perempuan itu.
Tangisku semakin pecah saat aku telah sampai di parkiran, Airin hanya terdiam memelukku lalu mengantarkanku pulang ke rumah.
“Nyn, terkadang, segala sesuatu yang kita lihat itu belum tentu kenyataanya seperti itu. Lo mungkin bisa beranggapan atau berpikir kalau perempuan yang ada di ruangan Aldy tadi adalah pacar barunya, tapi siapa tau mereka cuma teman? Atau mungkin saudaranya, kan?” Ucap Airin ketika aku hendak turun dari motornya karena kami telah sampai di rumahku.
“Siapapun perempuan itu harusnya gue gak perlu sedih kan, Rin? Lagi pula, ini keputusan gue, di saat break pun gue ngasih kebebasan itu buat Aldy. Dan kalau sekarang Aldy bahagia sama perempuan itu, harusnya gue juga bahagia.” Jawabku dengan nada yang masih sedikit terisak.
Airin tahu saat itu aku berbohong, tak banyak yang bisa ia lakukan kecuali tetap berada di sampingku di saat aku sedih seperti ini.
“Nyn, lo bisa bohongin siapapun kecuali diri lo sendiri. Kalau lo emang beneran masih sayang sama Aldy, cepat temui dia ya? Perbaiki sebelum semuanya semakin dekat sama kata terlambat.”
“Tapi... perempuan itu?”
“Lo akan tahu siapa dia saat lo tanya langsung ke Aldy, kan? Mumpung besok weekend, lo bisa samperin Aldy kerumahnya, lo berhak bahagia, Nyn. Jangan pernah hukum diri lo sendiri dengan ego lo, ya? Dan lo hanya perlu berdamai dengan diri lo sendiri.” Airin pun pamit untuk pulang setelah ia memberitahu apa yang harus aku lakukan.
Tangisku telah mengering meskipun mataku masih sembab. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur sambil memikirkan apakah aku harus benar-benar kesana? Jika memang perempuan itu adalah pacar baru Aldy, aku harus apa? Aku mencoba menenangkan pikiranku, menarik napas lalu menghembuskannya secara perlahan, dan menganggap semuanya baik-baik saja, tubuhku yang lelah akibat terlalu banyak pikiran pun terasa semakin membaik, kepala ku yang sempat pusing karena telalu sedih menangis pun telah membaik, Airin benar, sekarang aku tahu caranya; kita hanya perlu berdamai dengan diri sendiri.