Di setiap weekend seperti saat ini biasanya aku selalu menyempatkan diri untuk ke toko buku, tapi kali ini, seperti apa yang Airin katakan, aku harus pergi menemui Aldy. Aku membawakan ia beberapa macam buah-buahan, dan karena kali ini aku lumayan membawa banyak tentengan, aku pun memutuskan untuk pesan Taksi online.
Sesampainya di Rumah Sakit, aku langsung menuju ruangan dimana Aldy di rawat, namun saat aku telah sampai di sana, ruangan tersebut telah berganti di isi oleh orang lain, aku pun kembali turun ke bawah menuju Resepsionis untuk menanyakan apa Aldy sudah diizinkan pulang atau ia hanya sekadar pindah ruangan.
“Selamat pagi, pasien atas nama Aldy Prasetya apa sudah diizinkan pulang?”
“Pagi, tunggu sebentar ya, saya cek dulu.” Ia mulai mengecek daftar pasien yang ada di atas meja.
“Oh, iya Kak, pasien sudah pulang sejak tadi malam sekitar pukul 22:00.” Lanjutnya.
“Baik, terima kasih, ya?”
Aku pun bergegas pergi ke rumahnya, syukurlah Aldy sudah diperbolehkan pulang, batinku. Itu tandanya sakit yang ia derita kemarin tidak terlalu parah, kan? Semoga saja ia hanya kelelahan bekerja.
Sekitar hampir 20 menit di perjalanan, aku sampai di sebelah rumah Aldy, aku sengaja tidak berhenti tepat di depan pagar rumahnya karena aku tidak ingin dia tahu jika aku datang.
Aku merapikan rambut dan bajuku agar terlihat benar-benar rapi, aku melangkahkan kaki ku dengan sedikit helaan napas agar tidak nervous dan sedikit tenang. Kini aku berada tepat di depan pagar rumah Aldy, pagarnya terbuka lebar, aku melihat ia dan perempuan itu hendak menyirami tanaman-tanaman yang ada di depan halaman rumahnya. Mereka berdua melihatku, lalu perempuan itu sedikit berbisik dan kemudian masuk ke dalam rumah, aku pun masuk perlahan menghampiri Aldy yang sekarang berdiri seorang diri.
“Arnyn?” Sapanya, ia tersenyum dengan ekspresi wajah yang tidak percaya jika saat ini aku datang menghampirinya.
Mendengar sapaannya, aku merasa seperti ia sudah tidak menjadi Aldy yang ku kenal, panggilan sayang yang biasa ia panggil tidak berhasil ku dengar di pertemuan kali ini. Baru kali ini aku kecewa mendengar seseorang memanggil namaku.
“Hey.” Jawabku sedikit canggung.
“Kamu gimana kabarnya?” Tanyanya masih dengan ekspresi tidak percaya.
“Baik, kamu?”
“Baik juga.” Ia kembali tersenyum dan terus menatapku.
“Ini.” Aku menyerahkan parcel buah yang sudah ku siapkan untuknya. “Aku tahu kemarin kamu di rawat di Rumah Sakit, Bella ngabarin aku karena dia mutualan sama salah satu temen kamu di Sosmed, dan dia liat insta story temen kamu, maaf ya aku gak bisa jenguk kamu, soalnya kemarin aku lagi banyak kerjaan.”
Ia menerima parcel yang ku berikan dengan raut wajah yang senang, dan lagi-lagi, ia tersenyum. Senyuman yang sudah lama tidak ku lihat, di pagi hari kali ini, aku berhasil melihatnya lagi, rasanya tidak berubah, senyuman itu tetap hangat dan menawan, garis senyuman yang tergambar di sekitar bibirnya benar-benar indah, sepertinya Tuhan menyiptakannya dengan amat sangat baik, tidak heran jika banyak sekali perempuan di luar sana yang berusaha mengganggu hubungan kami agar kami berpisah.
“It’s okay, Nyn. I’m fine, udah mendingan kok, hehe.”
Di sela-sela percakapan kami, tiba-tiba mataku tertuju pada jendela kamar depan rumah Aldy, perempuan itu, dia mengintip kami dari balik gorden kamar, dan ia pun menyadari jika aku melihatnya, dengan tergesa-gesa ia menutup kembali gordennya.
“Nyn? Ada apa?” Aldy bertanya dan melihat ke arah yang aku lihat.
“Eh, enggak, bukan apa-apa. Yaudah kalau gitu, aku pamit ya, Al? Salam buat orang rumah. Bye.”
“Bye.” jawabnya dengan nada pelan.
Aku pun melangkahkan kaki keluar dari rumah Aldy, banyak sekali yang ingin ku tanyakan, tapi aku rasa, semua itu sudah terjawab tanpa aku menanyakannya, perempuan itu sepertinya memang pacar baru Aldy. Dan ia terlihat sangat cemburu waktu memperhatian kami dari luar.
Aku sangat berharap kamu mengejarku saat ini, Al. Menghalangiku untuk tidak pergi secepat ini dari rumahmu, kejar aku, Al, kejar. Katakan jika kamu juga rindu.
“Nyn?” Teriaknya.
Aku menoleh perlahan.
“Makasih ya? Hati-hati di jalan.” Ucapnya sambil tersenyum.
Aku pun membalas senyumannya sambil mengangguk dan melanjutkan langkah kaki ku dengan harapan jika ia benar-benar berlari menghampiri ku yang sedang berjalan keluar. Namun, aku sama sekali tidak mendengar langkah kaki mu yang mendekat. Apa kau takut pacarmu itu cemburu? Al, kenapa bisa dengan cepatnya kamu melupakan seseorang yang dulu kau anggap sebagai rumahmu? Apa kebahagiaan yang ia tawarkan lebih banyak dibandingkan di sini? Di tempatku? Rumahmu sekarang jauh lebih baik, ya? Ia pasti tidak akan mengecewakan dan menuntut sesuatu yang belum bisa kamu penuhi, bukan? Apa ia lebih bisa mengertimu dibanding aku? Harusnya aku bahagia, saat aku tahu bahwa kamu telah ditemukan oleh orang yang tepat. Sekarang, beritahu aku, bagaimana aku bisa menemukan rumah sepertimu? Karena aku belum menemukan kebahagiaan seperti yang pernah aku temukan ketika aku bersamamu.
“Loh, Arnyn?” Sapa seorang wanita yang hendak masuk namun melihatku melamun di sebelah rumah Aldy.
“Eh, Tante Lidya?.” Sapaannya membuatku tersadar dari lamunan, wanita itu adalah Mama Aldy. Kami mengenal satu sama lain dengan sangat baik, karena Aldy sering membawaku kerumahnya, begitupun sebaliknya. Keluargaku dan keluarganya sudah sangat dekat sekali, dan keduanya sangat merestui hubungan yang kami jalani, namun orang tuaku maupun orang tua Aldy, tidak tahu jika kami telah selesai, tapi mungkin, orang tua Aldy tahu, karena sekarang ada perempuan lain yang datang kerumahnya selain aku.
“Kamu ngapain disini? Ayo masuk.” Ia menarik tanganku untuk masuk ke dalam.
“Gak usah Tante, tadi Arnyn cuma mampir sebentar jenguk Aldy. Arnyn masih ada yang harus dikerjain soalnya, jadi buru-buru gak bisa mampir lama.”
“Yah, sayang banget. Padahal tante kangen sama kamu, udah lama kita gak cerita-cerita.”
“Lain kali ya, Tante. Kalau ada waktu nanti Arnyn kesini lagi buat temui Tante. Arnyn titip salam buat om Ardi ya, Tante.”
Taksi online yang aku pesan pun telah sampai, aku pamit ke Tante Lidya setelah ia memelukku dengan erat.
“Nyn?” Tanyanya saat aku hendak masuk ke dalam mobil. “Kamu sama Aldy baik-baik saja kan? Kalian gak bertengkar kan?” Tanyanya dengan raut wajah yang terlihat sedih.
Aku yang menoleh ke arahnya mencoba tersenyum dan meyakinkan jika tidak ada sesuatu yang terjadi antara aku dengan Aldy.
“Kami baik-baik saja kok, Tante.”
Tante Lidya menghela napas, tersenyum tipis lalu mengangguk. “Kamu hati-hati di jalan, ya? Salam buat Mama sama Papa.”
Akupun mengangguk dan langsung masuk ke dalam mobil. Mobil melaju, aku menoleh ke belakang dan melihat Tante Lidya masih di sana memperhatikan mobil yang aku tumpangi sampai jarak yang cukup jauh. Aku bisa melihat kesedihan yang tergambar dengan jelas di raut wajahnya, Tante Lidya sudah menyayangiku sebagaimana ia menyayangi Aldy. Aldy adalah anak semata wayang di keluarganya, Aldy juga pernah bercerita jika Tante Lidya sangat ingin mempunyai anak perempuan, itu sebabnya kenapa dia begitu menyayangiku seperti anaknya sendiri.
Waktu pertama kali Aldy mengajakku kerumahnya untuk mengenalkanku kepada kedua orang tuanya, Mama dan Papanya (Ardi Putra Prasetya) langsung menyambutku dengan hangat, tanpa sekat, kami sudah seperti orang yang telah lama saling mengenal satu sama lain. Jika aku berkunjung kesana, Tante Lidya selalu membuatkan makanan kesukaanku, cumi oseng rica. Kadang aku dan Tante Lidya pun memasak bersama.
Aku dan keluarga Aldy juga sering pergi bersama, makan di Mall, belanja pakaian, ada ratusan foto bersama kami di dalam gallery handphoneku, itu adalah bukti bahwa kami memang sangat dekat. Pun dengan keluargaku, keluargaku memperlakukan Aldy sama seperti keluarga Aldy memperlakukanku, keluarga kami juga pernah berlibur bersama beberapa kali.
Kini, saat aku dan Aldy tidak lagi bersama, apa rasa sayang Tante Lidya berpindah untuk perempuan itu? Sekarang perempuan itu yang akan Tante buatkan makan, ia juga yang Tante ajak pergi makan bersama di Mall, berbelanja dan liburan. Gallery di handphone Tante Lidya pun akan berganti menjadi foto kalian, kan? Aku ingin selalu jadi bagian dari keluarga Prasetya, tapi mungkin mau Tuhan bukan lah mau ku. Tuhan punya rencana lain untuk hidupku. Setidaknya, aku bahagia pernah menjadi bagian dari keluarga Prasetya.
Niatku untuk pergi ke toko buku sehabis dari rumah Aldy pun ku batalkan, hari itu aku benar-benar tidak bersemangat, mood ku berantakan, aku hanya menghabiskan weekend ku di dalam kamar, mengurung diri dengan mendengarkan lagu sambil menangis.
Chat dari Andri yang mengajakku untuk jalan keluar juga aku abaikan, aku benar-benar kehilangan selera atas diriku sendiri.
Apa yang kau sesali, Nyn? Ini keputusanmu, bukan? Harusnya kau menikmatinya, segala sesuatu yang terjadi saat ini adalah karena keegoisanmu sendiri. Lagi-lagi, egomu berhasil mengalahkanmu, Nyn. Kau payah. Sangat payah.
***
Aku bangun dengan headset masih tersangkut di telingaku dan lagu yang masih terputar di handphone. Sisa-sisa air mata yang mengering di wajahku masih lumayan jelas tergambar saat aku berkaca, rambut yang berantakan, hidung yang merah, mata yang sembab, malamku di hari itu benar-benar kacau.
Udara pagi kali ini mengandung rindu, entah kenapa, di pertemuan aku dengan Aldy kemarin malah membuat aku semakin merindukannya. Sorotan mata bulat berwarna cokelat yang biasa menatapku dengan teduh, kemarin berhasil menikamku dengan kenangan. Aku terluka atas keputusanku sendiri.
Keadaan seperti ini sangat membuatku malas untuk berangkat ke kantor, rasanya, aku ingin Aldy yang mengantarku berangkat kerja agar kondisiku menjadi membaik, aku ingin dia kembali datang lagi di setiap pagiku, menyapaku dengan senyuman hangatnya, membukakan pintu mobil untukku, menggenggam tanganku dengan tangan kirinya di saat tangan kanannya ia pergunakan untuk menyetir. Aldy selalu memujiku cantik setiap pagi saat ia mengantarkanku, meskipun sempat beberapa kali aku lupa menyisir rambut karena sudah kesiangan, dia bilang, aku tetap yang tercantik walau bagaimanapun kondisinya.
“Nyn, jangan melamun. Cepat makan rotinya, nanti kamu kesiangan.” Ucap Mama membuyarkanku dari lamunan. “Kamu jadi berangkat naik motor hari ini?” Lanjutnya.
“Iya, udah lama gak ngendarain motor sendiri ke kantor. Yaudah kalo gitu Arnyn berangkat ya, Ma. Daaaah, muah.” Ku kecup keningnya sambil bergegas pergi mengambil kunci motor.
“Heyyy, sarapannya belum kamu habiskan!” Teriak Mama yang melihat aku keluar rumah dengan terburu-buru.
Aku telah sampai di parkiran kantor, rasanya seperti sudah lama sekali tidak mengendarai motor sendiri seperti ini, karena Aldy tidak pernah mengizinkanku untuk mengendarai motor ataupun mobil sendirian, seperti yang pernah aku katakan, ia selalu siap mengantarku kemanapun dan kapanpun.
Seperti biasa aku langsung mengeluarkan dokumen-dokumen dari dalam tas untuk ku kerjakan hari ini, mood ku masih belum membaik, bisa-bisanya aku dibuat kacau oleh keputusanku sendiri, harusnya kau belajar dari yang sudah-sudah. Nyn, jangan pernah biarkan ego menguasai dirimu. Ucapku dalam hati.
Airin yang berjalan dari arah toilet pun langsung menuju kursi dan menghampiri ku.
“Gimana kemarin? Perempuan itu bukan pacarnya, kan?” Tanyanya penasaran.
“Perempuan itu memang pacarnya.” Jelasku.
“Hah?” Airin tecengang. “Aldy ngomong sendiri ke lo? Atau dia ngenalin lo ke perempuan itu?” Lanjutnya.
“Kemarin waktu gue kesana, perempuan itu ada disana, mereka lagi siap-siap mau nyiram tanaman, itu udah meyakinkan gue kalo perempuan itu memang pacarnya Aldy.”
“Astaga, gak, itu belum jelas. Kenapa gak jadi tanya langsung, sih?” Jawab Airin kesal.
“Gue gak bisa melontarkan semua pertanyaan yang udah gue siapin, Rin, gak bisa. Apalagi gue tahu kalau perempuan itu ngintipin gue sama Aldy dari dalam kaca kamar depan. Itu tandanya dia cemburu kan? Mungkin aja sebelumnya Aldy pernah cerita kalo gue dulu pacarnya. Soalnya waktu gue datang pun, perempuan itu langsung ngomong sesuatu ke Aldy dan pergi masuk ke dalam.” Tegasku.
Airin terdiam beberapa saat, “Nyn, are you okay?” Hingga akhirnya kembali bertanya.
“Entah, tapi gue akan berusaha untuk baik-baik aja kok.” Aku tersenyum ke arahnya lalu mencoba memulai mengerjakan pekerjaanku.
“Pulang kerja nanti, makan ramen, yuk?” Ajaknya dengan semangat.
“Tumben?” Ku tatap ia dengan curiga.
“Kebetulan ada ramen yang baru buka di sekitaran sini, mau ya? Gue traktir! Itung-itung ini sebagai obat dari gue biar mood lo membaik.” Airin tersenyum sumringah sambil mengangguk ke arahku.
“Oke, ajakan diterima, haha.” Balasku tertawa.